UN: Demi Mutu Atau Malu?


Ketika melihat para SMA atau sederajatnya yang sedang melaksanakan Ujian Nasional (UN) dan persiapan SMP untuk menghadapi UN pada minggu berikutnya, mengingatkan aku pada empat tahun silam. Berperang, berlomba dalam mengerjakan soal-soal ujian demi masa depan. Perjuangan dalam empat hari untuk mempertahankan waktu yang ditempuh selama kurang lebih tiga tahun. Tidak heran jika bermacam cara ditempuh, bukan saja oleh para siswa namun para guru juga ikut berperan, demi mencapai kata “lulus”.
            Anehnya, para siswa kebanyakan kalang kabut mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian hanya seminggu sebelum ujian atau semalam sebelum ujian dimulai. Padahal waktu yang tersedia untuk benar-benar mempersiapkan diri sebelum ujian sangatlah panjang. Tetapi yang namanya siswa dalam usia remaja, tentu sangatlah banyak godaan yang tidak bisa mereka elakkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan siswa yang bersangkutan.
Apalagi lingkungan masa sekarang sudah memasuki dunia serba modern, serba memanjakan. Semuanya ibarat pisau bermata dua, ketika siswa tersebut bisa memanfaatkan dan mengendalikannya, sungguhlah membawa ke hal yang lebih baik. Namun ketika siswa tersebut dikendalikan oleh dunia modern tadi, tentu sangat membawa dampak yang bisa merusak masa depan siswa itu sendiri. Sehingga waktu yang berlalu selama tiga tahun tersebut hanya terbuang sia-sia saja. Memang tidak heran rasanya ketika ada pemberitaan berbagai kecurangan siswa ketika ujian. Ada siswa tertangkap gara-gara menyontek, membawa HP, dan sebagainya, bahkan ada yang harus berurusan dengan pihak berwajib.
Tapi yang jelas, kebanyakan persiapan yang matang dipersiapkan hanya sebulan sebelum ujian. Baik dari kalangan guru maupun dari siswa yang bersangkutan. Berbagai strategi disusun agar memperoleh predikat “lulus” 100% tadi. Jika diinok-inok-an boleh dikatakan para guru yang mati-matian, berlomba untuk meluluskan anaknya. Apalagi guru yang bertanggung jawab pada mata pelajaran yang bakal diuji ketika UN. Bayangkan saja, banyak siswa yang nilainya dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), tetap mendapat nilai tinggi karena didongkrak oleh guru yang bersangkutan agar bisa lulus.  
Selain itu, seminggu sebelum ujian berbagai do’a dikumandangkan. Para ustadz, kiyai, bahkan ulama ternama mendadak sibuk. Mesjid ramai dikunjungi, sekolah mulai menampakkan nilai religiusnya. Guru dengan guru, orang tua dengan guru, siswa dengan guru dan orang tua, siswa dengan siswa mulai saling merangkul, saling memaafkan satu sama lain. Dahulunya banyak yang tidak kenal bahkan ada yang bermusuhan, kini menyatu agar bisa menjadi pemenang. Semua masa lalu selama tiga tahun hilang begitu saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Namun dibalik semua itu, banyak siasat dilakukan guru yang bisa dikatakan salah. Agar siswanya bisa mengikuti ujian dan bisa mendapat jawaban dari soal ujian guru masih melakukan kecurangan. Intinya melalukan kontak terselubung antara guru dan siswa dengan memanfaatkan peluang ketika ujian berlangsung, alias “main belakang”. Itu semua mereka lakukan hanya takut malu ketika sekolah yang bersangkutan banyak siswanya yang tidak lulus. Agar sekolah yang bersangkutan tidak tercemar nama baiknya. Jadi sangat jelas ini demi nama baik guru dan nama baik sekolah, bukan untuk mutu pendidikan. Walaupun sebenarnya tidak semua sekolah berprinsip seperti itu.
Seharusnya, mulai dari sekaranglah kita merubah fenomena yang sering terjadi tersebut. Guru sudah seharusnya menunjukkan benar-benar sebagai seorang pendidik, dan siswa juga harus membuktikan sebagai intelektual yang terdidik. Bukan demi kelulusan saja, tapi ada hal yang lebih penting, demi mutu pendidikan dan demi masa depan bangsa ini. Jangan jadikan kata “jujur” yang terpajang di spanduk sebagai slogan belaka, namun benar-benar diresapi dan merasakan kejujuran pada setiap langkah yang kita ayunkan.
                                                      Wahyu Saputra
Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNP.

0 Comments