TERHIMPIT GELOMBANG



TERHIMPIT GELOMBANG

Pagi itu, dalam kalut dan kabut. Remaja itu akan kembali menginjak tanah halaman. Di sana lah ia terlahirkan, tempat mengeja kata demi kata. Juga, tempat ia mengenal cinta. Ya, sebentang tanah titipan Tuhan, karena ia yakin semuanya bakal kembali kepada Tuhan. Kampung itu terhampar di ujung Pesisir Selatan, tepatnya di garis perbatasan dua propinsi. Perkampungan yang masih hijau dengan budaya dan pepohonan. Anak sungainya pun masih mengalir dalam peredaran.
Ia masih ingat, dulu tanah titipan Tuhan ini juga kawasan kerajaan Ranah Minang. Bahkan sampai sekarang, tepat di taman kota daerahnya masih berdiri kokoh Rumah Gadang, rumah adat Minangkabau. Hanya saja ia tidak begitu ingat kapan tanah kelahirannya terpecah dari Sumatera Barat. Sudahlah. Baginya, dimana pun ia melangkah, ia tetap bangga tanah kelahirannya, bangga dengan Indonesia. Ia bangga pada negeri ini. Dan kini, ini kali pertama ia tinggal di Minang, menginjak tahun pertama menyandang gelar mahasiswa.
“Dek, Maaf. Ado ndak yang duduk di sini?” Seorang perempuan paruh baya menyapa dengan senyum mengambang. Bahasanya campuran; Indonesia-Minang.
“Eh...ti.. ti..tidak, silahkan” ia menjawab kikuk. Kembali ia melemparkan muka ke jendela. Ia terlihat tenang melihat lautan lepas di Teluk Bayur. Sungguh indah. Perahu kecil melintasi deretan kapal-kapal pengangkut barang. Ia diam dalam-dalam, menikmati pesona keindahan alam ciptaan-Nya. Lambat-lambat, wajah kapal kian menghilang dari pandangan. Lautan pun semakin menjauh dari sorotan mata, kini hanya tampak rerimbunan pohon yang menghijau. Jauh, semakin jauh dan menghilang.
Sesekali matanya ia lemparkan ke depan. Kadang mata terpejam. Dan sekali-kali pula ekor matanya melirik ke samping kiri. Wanita paruh baya itu terlihat beberapa kali menguap, dan mulai terkantuk-kantuk. Bus semakin melaju meninggalkan Ranah Minang. Kini semakin jauh. Suasana mulai terasa sepi. Hanya deru angin berbisik berisik. Kiri-kanan tertidur pulas, begitu pula dengan wanita paruh baya itu. Hanya satu-dua orang saja yang bertahan. Bahas ini dan itu. Entah apa topiknya. Ia tak perduli, bagai bungkam alam sepi. Ia mengeluh.
.......................
Oh...mato balinangan takana kampung, tabayang sayang
Iyo indak tatahan, taragak kama dikadukan.
Oh...tinggalah dulu kampuang halaman, tinggalah tapian
Iyo antah pabilo nan den sayang yo dapek den jalan
Iyo denai rilakan cinto kok lapeh yo dari ganggaman
...................
Lagu minang terdengar. Ya, persis yang ia rasakan. Rindu. Kangen yang semakin dalam pada  kampung halaman. Meninggalkan orang tua. Terlebih lagi pada kekasih yang ia cintai dua tahun lalu. Adik kelas SMA-nya.
“Ah, tahu betul Bang Sopir ini lagu kesukaanku”, gumamnya dalam hati. “Mungkin juga dia merasakan hal yang sama. Aku yakin dia juga hidup di perantauan. Faktanya, nggak ada. Tapi ini Bus Antar Propinsi, yang sering keluar kota meninggalkan ranjang. Boleh jadi ia sedang rindu kampung halaman. Terdera sibuk keluar daerah mencari nafkah. Atau mungkin, hanya iseng-iseng saja memainkan lagu sendu, penghilang kantuk.” Ia terus meracau dengan pikirannya sendiri. Mencari teka-teki.
“Ah, sudahlah”, Ia berusaha menghilangkan tentang itu. Dan, terus memori otaknya mengingat kata-kata sibuk yang sering menghantuinya selama ini. Sibuk. Benar, akhir-akhir ini ia sering menerima balasan SMS di Handpone buntutnya; Maaf, sedang sibuk. Ia bahkan, juga telah bosan mendengar nasihat operator Handpone ketika melakukan panggilan; Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi. “Sesibuk itukah Dia?”, ia mengeluh. Sibuk! Begitu gampangnya. Ya, atau mungkin hanya alasan. Entahlah. Ia terdiam.
***
“Ayo, yang mau makan silahkan turun!”, Sopir itu bersuara keras bagai speaker di mengetuk gendang telinga. Ia terjaga dan terlihat kusut. Perjalanan itu membuat ia tertidur sekitar dua jam. Ia tahu setelah melihat handpone-nya. Di luar sana, terlihat sebuah Ampera. Kiri-kanan, rumah masih terlihat jarang, tak sepadat kota Padang, atau kota metropolitan. Di belakang, suara ombak menghempas, mengejar pasir putih dengan girang.
“Mbak, Mbak, gak makan? Maaf, numpang lewat Mbak?” Wanita itu memberi sedikit rongga. Ia berlalu meninggalkan wanita paruh baya yang sedari tadi tidur di samping tempat duduknya. Ia cuek, tidak perduli. Lalu menuju kamar mandi untuk mencuci muka kusamnya. Berulang kali wajahnya disiram. Sejuk, ketika air mengaliri pori-pori kulit sawo matangnya. Wajahnya kembali segar. Lama-lama ia pandang pada kaca yang terpajang di dinding papan. Ya, kaca itu nampaknya sudah lama retak. Ia takut, kalau retak itu juga berlaku pada dirinya. Lihatlah, kini ia juga takut hatinya dipetak-petak seperti kotak. Tidak mungkin.....
“Sudah belum?” suara dari luar. Gontai ia buka pintu kamar mandi itu. Melangkah menuju bus yang terparkir di halaman Ampera.
“Eh...Buyung. Nggak makan?” tanya Sopir. Ia menggeleng pelan. “Tadi saya sudah makan roti”, sahutnya.
“Yakin, perjalanan kita masih jauh,” kata Sopir.
“Insyaallah Bang”, sahutnya. Kini giliran Sopir menggeleng-geleng. Sambil mengempal suapan bertubi-tubi. Di atas Bus itu, ia menghempaskan pantatnya di tempat semula, tepat di bangku deretan ketika dari depan. Sambil meneguk air mineral, matanya mengamati suasana daerah di Ampera itu, masih tampak asri.
“Buyung, serius kenyang makan roti?” Sopir itu menyapa dengan pukulan ringan di bahu. Ia terkejut, dan memberi jawaban anggukan.
 “Maaf. Bye the way, karena uang habis?” Sopir itu memukulnya dengan pertanyaan, dan mulai menstarter mobil, dan melaju perlahan-lahan. Ia mulai menunduk, tanpa jawaban. Pertanyaan sederhana, dan sok ke-Inggris-an itu bagai peluru menembus telak jantungnya. Dadanya nyesak, berdegup kencang. Ada sesuatu yang mengirisnya. Pedih. Tanpa dipaksa matanya memerah, tapi ia berusaha tegar. Sopir itu benar, ia memang tidak mempunyai sisa uang untuk makan. Adanya, hanya bisa membeli cemilan roti ringan dan sebotol air mineral. Ia masih bersyukur, karena masih ada yang bisa disalurkan dalam lambungnya yang kering. Maklum saja, ia anak kuliahan. Orang tuanya, tidak lebih dari petani biasa. Lama ia tertegun ditembak pertanyaan itu.
“Yung, sekali lagi maaf.” Kata Sopir. Ia menatap ke jendela kaca, “Ya, nggak apa-apa Bang”, sambutnya lirih. Bagai air di atas sehelai daun, kemudian pelan-pelan jatuh berderai. Sekali lagi tanpa dipaksa. Menjalar mengikuti pori-pori, semakin membasah. Buru-buru ia menghentikannya, menyeka dengan tangan. Tentang air mata itu, sama sekali bukan karena pertanyaan Sopir, tapi rasa bersalahnya yang mendera. “Aku memang anak durhaka, yang tidak pernah berterima kasih pada orang tua. Selama ini, yang mereka lakukan demi aku. Tapi kini, aku telah menyia-nyiakannya. Aku lebih memilih cinta. Bodoh! Kenapa tidak memilih Surga di bawah telapak kaki Emak.” Ia memaki-maki dirinya sendiri dalam hati. Dadanya sesak. Perih.
***
Lama suasana hening. Hanya lagu-lagu galau 90-an masih berdendang kencang. Ia, yang di pojok sana masih terdiam bisu. Ia teringat masa lalu. Derita anak petani, yang pernah putus sekolah setelah Madrasah Tsanawiyah. Kini, ia mahasiswa yang baru menginjak tanah kota, demi menjemput asa. Dan, terlalu telah jatuh hati pada setangkai bunga bermahkota. Bus tetap melaju. Ia masih tetap diam, bermain dengan hatinya sendiri. Keluarga di kampung, orang tua, kakak, dan juga adiknya. Perasaan bersalah itu yang selalu datang menghantuinya.
Ia masih ingat betul, pesan Emaknya enam bulan yang lalu. Ketika ia pulang dengan buah tangan. Ia melangkah pelan, melihat rumah dari kejauhan. Ia dapati senyum sumringah keluarga di halaman. Sungguh, adik-adiknya begitu senang. Semuanya happy. Kini, ia tidak membawa apa-apa, sekedar tangan hampa. Memang, ia di Padang bukan mencari uang, tapi ilmu. Tentu, setidaknya oleh-oleh ilmulah yang bakal ia berikan. Bukan luka. Mereka tidak butuh itu.  
Ia tahu. “Sudahlah, Sabar. Adikmu pasti mengerti, mereka bukan mengharapkan oleh buah tangan, tapi kehadiranmu. Mereka rindu.” Kata Mak-nya di telepon seminggu yang lalu. Pandai betul Mak-nya menghibur. Tapi, tetap saja ia sedih. Ia tidak sampai hati, namun sudah terjadi. Selama puluhan tahun, Mak-nya hafal benar menu kesukaannya; tumis bayam, atau sambal berulam pucuk ubi. Sedang soal cinta, ia tidak pernah cerita sama sekali. Ia takut.
Tapi waktu itu; enam bulan yang lalu. Selepas magrib. Sesudah makan bersama dalam satu meja. Seusai bersenda gurau dengan keluarga. Ia ingin meminjam motor, mohon izin untuk keluar mencari angin. Ia dipatahkan dengan kata-kata. Bahasa lembut Mak-nya; “Mak tahu. Kami semua di rumah ini tahu. Kamu sangat mencintainya kan?  Adik kelasmu ketika SMA dulu. Menurut Mak, ada baiknya tidak usah. Mak takut kamu menangisi cinta. Cinta itu bagai api dalam sekam; baranya membakar, asapnya menciptakan air mata. Di kampung ini, siapa yang tidak tahu? Dia hanya cocok dengan tetangga sebelah. Kita miskin. Jauh panggang dari api untukmu, Nak!” Mak-nya berjelas-jelas penuh hati-hati.
Ia terkejut, bagai diledak sebongkah granat teroris di pengasingan. Dari mana Mak-nya bisa tahu. Ia tidak pernah sama sekali bercerita, keluh-kesah kisah cinta. Kemudia ia tertunduk malu, kecewa, sedih, bersatu-padu menyerang jiwanya. Terlebih lagi, pernyataan larangan itu. Tentang ketidakcocokkan itu. Memang, Mak-nya benar. Sedikit ada rasa sesal. Sungguh malang, ia tidak ditakdirkan dalam keluarga berada. Nafasnya tertarik dalam-dalam, dan ia lepas dengan  rasa syukur. Hatinya masih bertanya. Apakah cinta hanya memandang satu sudut? Entahlah! Ia terdiam, hening.
“Saya ini Mak-mu. Naluri ibu pada seorang anak, bagai daun diujung ranting. Kuat. Ia tidak akan terlepas begitu saja, meski dihempas badai. Denyut jantungmu, jantungnya Mak. Nadimu, juga nadi Mak. Nak, kamu tahu? Dia mengaku nggak pernah jadi pacarmu. Dan, tidak lebih dari sebatas teman. Sudahlah. Cinta itu jangan dikejar, karena ia akan terbang setinggi mungkin. Bersabarlah Nak, seperti namamu, esok ia akan datang. Mak yakin, pasti ada yang lebih baik. Itu janji Tuhan kita.
Ingat, kita ini bukan orang miskin. Tapi takdir yang memutarbalikkan nasib. Memang kita bukan seperti keluarga sebelah, tetangga kita. Itu juga atas takdir. Bangunlah Nak, jangan mimpi terlalu tinggi soal cinta. Namun mimpilah cita-cita setinggi mungkin. Yakinlah, suatu saat cinta pasti mendekat. Sekarang lebih baik kamu istirahat. Besok, biar bisa membantu Abah-mu ke kebun untuk biaya kuliahmu.” Penuh hati-hati Mak-nya memberi nasihat.
Kini, dalam perjalanan hijrah ke kampung, ia bingung. Bekas-bekas nasihat itu masih tertanam dalam ingatannya. Jejak-jejak cinta dan rindu masih membayang dalam hati pencari cinta. Dadanya terasa sesak, bagai ruangan tanpa udara. Telinganya ngilu mendengar kata-kata Mak-nya, tentang penghianatan Dia yang di sana. Ia merasa aneh, kemana hadiah-hadiah itu. Kemana pula buku, boneka, jilbab putih, hitam, dan berwarna ungu itu. Bukankah semua itu untuk hadiah ulang tahun dan Happy New Year tahun lalu? Ah! ia kesal.
Matanya menengadah di awang-awang. Melihat sarang laba-laba di pasak rumah. “Kenapa begitu bodoh! Kenapa aku terlalu percaya kepada tetanggaku. Ternyata bukan dongeng, dan ini jelas bukan dongeng. Tukang pos juga manusia, yang bisa merebut cinta.”  Dalam hati, ia menyesali sikapnya sendiri. Tetap, di mata Mak-nya, ia berusaha tegar, tak tampak kesedihan. Ia tidak ingin terlihat lemah, ia takut menyakiti hati Mak-nya.
Roda bus masih berputar, mengitari lika-liku tikungan tajam. Naik-turun. Perjalanan masih panjang. Butuh dua jam lagi untuk sampai tujuan. Kemudian bus mendadak berhenti. “Semangat! Tetaplah tersenyum dalam meraih cita-cita dan cinta.” Suara wanita paruh baya yang sejak tadi di sampingnya berlalu. Menuruni pintu bus. Ia telah sampai, di Tapan Basa Ampek Balai.  
Ia heran. Siapa wanita itu, kenapa ia tahu? Ia merasa ada keganjilan. Ia pejamkan mata erat-erat, menghilangkan ke anehan itu. Ketika matanya terbuka tabir surya telah ditutup senja. Bibir pantai mencumbu dengan langit warna jingga. Matahari hilang ke peraduan, dan diganti dengan bulan dan bintang. Perjalanan itu masih panjang. Bersabar menjemput asa. Dalam bimbang, ia terlelap bersama malam. Bunga rampai bertabur di atas pekuburan.
Padang, 24 September 2013
(Pernah dimuat di Koran Singgalang-Minggu 2013)
Penulis: Wahyu Amuk

0 Comments