Baromban Karya Iyut Fitra Sarat Makna Keminangkabauan

FOTO BERSAMA- Iyut Fitra pengarang “Baromban” foto bersama Dekan FBS UNP, pemateri, wakil dekan, beserta dosen FBS UNP usai acara bedah buku, Selasa (25/10) di Teater Mursal Ensten FBS UNP. 
Jangan ucapkan apa-apa, kalau hanya berarti selamat malam” – potongan sala satu puisi karya Iyut Fitra.” 
PADANG- Puisi sarat dengan makna, sekaligus juga kaya dengan bahasa, termasuk bahasa ibu. Pernyataan itu disampaikan oleh Prof. Dr. Hasanuddin WS, M.Hum., selaku pemateri dalam seminar bedah buku kumpulan puisi “Baromban” karya Iyut Fitra, di Teater Mursal Ensten Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas NegeriPadang (UNP), Selasa (25/10) kemarin.

Dosen, Guru Besar Sastra, sekaligus selaku Ketua Pusat Kajian Humaniora (PKH) UNP ini juga mengatakan bahwa dalam puisi “Baromban” banyak sisipan kosa kata dan idiom bahasa Minangkabau. Selain itu, setiap puisi dalam buku “Baromban” karya sastrawan Iyut Fitra ini banyak mengandung nilai-nilai tradisi minang.

““Baromban” ini sangat unik, sekaligus sangat bagus, karena puisinya banyak mangandung unsur-unsur minang. Semuanya sarat makna, dan sangat sulit dipahami, kecuali bagi pembaca dari minang. Bahkan, makna judulnya saja banyak yang tidak tahu,” katanya.

Ia pun menambahkan bahwa “Baromban” ini diciptakan oleh Iyut Fitra dengan sangat apik, sekaligus salah satu cara menjaga marwah keminangan dalam dunia sastra. Ia pun berpendapat bahwa “Baromban” ini sebagai satu bentuk kegelisahan pengarang terhadap budaya Minangkabau selama ini. Kegelisahan pengarang ini terutama tentang tergerusnya serta berubahnya nilai-nilai tradisi minang.

Selain itu, ia juga berpendapat pengarang mampu menjerat “Minangkabau” sekaligus juga terjerat oleh “Minangkabau” dalam “Baromban”. Hal ini menjadikan “Baromban” terasa keunikan tersendiri dengan “rasa” keminangannya. Menurutnya karya sastra yang sarat warna lokal seperti perlu digali lebih jauh, dan ditingkatkan agar warna lokal tersebut terasa lebih hidup.

“Dulu para sastrawan dari minang ini banyak terjerat sekaligus menjerat “Minangkabau’ dalam karyanya, seperti Gus Tf Sakai, Hamid Jabbar, Leon Agusta, bahkan Chairil Anwar. Sebenarnya karya sastra warna lokal ini sangat bagus, selama ini jarang yang fokus ke sana,” jelasnya dalam bedah buku yang dimoderatori oleh Hermawan, selaku dosen Universitas Bung Hatta (UBH) Padang.

Sementara, Dr. Ivan Adilla, M.Hum., selaku pemateri sekaligus juga dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand) menyatakan “Baromban” mengungkapkan kecemasan terhadap perubahan. Ia juga menyatakan bahwa “Baromban” merupakan sebuah karya lompatan tematik dari pengarangnya. Ia berpendapat pengarang “Baromban” bertolak keluar dari persoalan, baik tentang kekasih, rindu, cinta, kehilangan, dan kesepian.

Ia berpendapat bahwa dalam “Baromban” pengarang tentang dunia sosial dalam Minangkabau. Adapun masa;ah sosial itu seperti lepau tentang perjudian, angkutan kota, wanita pendendang, truk sampah, penggali pasir, lingkungan, transportasi, kencir angin, dan lainnya. Kemudian perubahan sosial disampaikan oleh pengarang tentang kecemasan tentang sikap warga yang mulai tidak menghargai masa lalu.

“Payakumbuh sangat banyak melahirkan sastrawan ternama sejak dahulu dengan berbagai persoalan di Minangkabau. Sekarang pengarang “Baromban” mulai memasuki ranah minang dalam karyanya dibanding karya-karya sebelumnya, meskipun masih ada rasa takut,” ungkapnya.

Sementara, pengarang “Baromban” Iyut Fitra mengatakan kumpulan puisi ini berisi berbagai persoalan hidup di Minangkabau, terutama di daerah Limopuluh Kota. Menurutnya “Baromban’ mengisahkan tentang segala segi kehidupan dan budaya di daerah Kampung Beringin Limopuluh Kota.

“Kata “Baromban” itu saya dapatkan ketika berkunjung ke suatu daerah di Limopuluh Kota. Di sana ada kegiatan penggalian pasir dengan sebutan “Baromban”. “Baromban” ini mulai dari kata kerja, berubah ke kata benda, kemudian menjadi kata tempat. Proses perubahan kata “Baromban” tersebut sebagai bentuk perjuangan hidup, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya. Makanya “Baromban” sesuatu yang unik dan mengainspirasi bagi saya,” jelasnya di hadapan ratusan peserta.

Seminar dan bedah buku “Baromban” tersebut dibuka secara resmi oleh Dekan FBS UNP, Prof. Dr. M. Zaim, M.Hum., yang dihadiri oleh Wakil Dekan I, Prof. Dr. Ermanto, S.Pd., M.Hum., Wakil Dekan III Drs. Esy Maestro, M.Sn., sastrawan Sumatera Barat (Sumbar), dosen civitas akademika FBS UNP, dan ratusan mahasiswa S1 dan S2 UNP, serta mahasiswa dari perguruan tinggi lainnya di Sumbar. (why)


0 Comments