Ayo Gemakan Budaya Menulis untuk Indonesia


Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Pramoedya Ananta Toer.

Agaknya kita perlu melihat para orang-orang "besar" di tanah air ini tempo silam. Mereka berjuang bukan hanya memiliki semangat juang dengan bambu runjing, tapi lebih dari itu, mereka juga semangat berjuang dengan tulisan. Menurut mereka mempertahankan negara tidak cukup hanya dengan modal angkat senjata, tapi juga perlunya membentuk ideologi melalui tulisan. Senjata menulis lebih mampu membunuh musuh, dan penulis pun akan terus hidup sepanjang zaman.

Sebut saja Bapak Proklamator kita, Bung Karno (Ir. Soekarno) ketika ditahan di Sukamiskin Bandung yang cukup lama. Presiden pertama Indonesia ini menulis sebuah buku fenomenal dengan judul “Di Bawah Bendera Revolusi”. Buku ini memiliki nilai perjuangan, yang mampu menginspirasi generasi muda di tanah air. Begitu pula Bung Hatta (M. Hatta), Wakil Presiden pertama kita ketika ditahan penjajah Belanda di penjara Boven Digul Irian (Papua) juga dalam waktu yang relatif lama. Ia pun menulis sebuah buku dengan judul “Mendayung Antara Dua Karang”. Buku ini pun menjadi “basic” untuk politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.

Motivasi “Founding Fathers” ini dalam menulis yang kemudian menjadi warisan (legacy) bersejarah tersebut adalah  agar bangsa Indonesia ke depannya menjadi lebih baik. Selanjutnya, begitu juga Hamka, seorang ulama besar ketika menjadi tahanan pemerintah, juga aktif menulis buku di penjara, dan menghasilkan buku “Tafsir Al-Azhar”  yang  sangat mendalam. Selanjutnya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, ketika menjadi tahanan di Pulau Buru juga aktif menulis, dan menghasilkan novel “Bumi Manusia” yang fenomenal.

Begitulah kira-kira orang-orang "besar" zaman dahulu mempertahankan Indonesia dengan tinta. Mereka sangat kritis dan mempunyai wawasan yang luas, sehingga mampu membuat dunia “tercengang” seketika. Tulisan-tulisan mereka masih hidup sampai sekarang meskipun mereka sebagai penulis sudah hilang dari peredaran dunia nyata. Tapi bagaimana dengan kita, yang masih berdiri kokoh tapi belum menghasilkan apa-apa, dan bahkan enggan untuk memulai untuk menggores tinta pada secarik kertas. Apakah sudah hilang rasa malu? Padahal menulis adalah satu jalan mengaktualisasi diri, dengan membawa idealisme untuk masa depan tanah air ini.

Baiklah, mungkin jika diartikan menulis untuk membawa perubahan Indonesia ke lebih baik terasa terlalu lebay dan muluk-muluk. Namun setidaknya dengan menulis kita merasa bebas berekspresi. Kebebasan ekspresi kita dalam menulis itu akan membentuk pribadi kita yang lebih kokoh sesuai gender tulisan yang kita buat. Setelah menulis kita akan merasa lebih lega, bahwa kita di dunia ini ada. Selain itu, kita bisa sharing melalui tulisan, yang tentunya akan membawa manfaat bagi orang lain.

Perlu juga rasanya kita yang digadang-gadangkan sebagai generasi muda, menimbang-nimbang tentang pentingnya menulis. Jangan sampai kita hanya sibuk menghabiskan waktu oleh canggihnya teknologi, terutama dengan hadirnya smartphone atau gadget di genggaman. Tidak ada yang melarang mengikuti zaman, dan bahkan dianjurkan bisa mengikuti arus zaman kekinian. Namun tentu harus pandai-pandai memilah yang patut dan membawa manfaat. Maksudnya, setidaknya mampu memanfaatkan smartphone atau gadget untuk menduniakan budaya menulis lebih aktif, kreatif, lebih mudah dan cepat.

Minat Baca Rendah
Berdasarkan informasi dari ugm.ac.id menunjukkan minat menulis jurnal ilmiah di Indonesa masih rendah. Data itu dari Scientific American Survey (1994) menyatakan kontribusi tahunan Scientist dan Scholars Indonesia pada pengetahuan (knowledge), sains, dan teknologi hanya 0,012 persen, sangat jauh di bawah kontribusi Singapura 0,179 persen. Begitu pula survei yang dilakukan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO), pada tahun 2012 indeks minat membaca di Indonesia hanya 0,001, Padahal di negara maju indeks minat bacanya bekisar 0,45 hingga 0,62.

Indeks 0,001 itu sama dengan 1 dibanding 1000. Artinya dari 1000 orang, hanya satu orang suka membaca, sedangkan 999 orang enggan membaca. Berdasarkan hal itu berarti 255 juta jiwa penduduk Indonesia, hanya 255 ribu orang yang suka membaca. Selebihnya 252, 45 juta jiwa tidak berminat untuk membaca. Jumlah angka ini sungguh sangat memperhatinkan. Bagaimana Indonesia mencetak intelektual, dan yang bisa menghasilkan tulisan berkualitas, jika membaca saja sudah enggan. Padahal di negara maju sangat menggiatkan budaya membaca, sehingga juga mempu menulis dengan baik.

Begitu pula informasi di republika.co.id, hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 menyatakan budaya literasi masyarakat Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara, dan kalah oleh Vietnam yang menempati posisi ke 20. Sementara khusus minat bisa siswa, PISA menyatakan minat baca siswa Indonesia hanya menempati urutan ke 57 dari 65 negara.

Selain itu, United Nations Development Programme (UNDP) juga menyebutkan angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,2 persen, sedangkan Malaysia mencapai 86,4 persen. Informasi terbaru pun dari www.dpr.go.id menyatakan hasil riset Universitas Connecticut Amerika Serikat 2016 menyatakan budaya literasi Indonesia masih pada angka 60 dari 61 negara yang di survei. Wajar saja rasanya jika Indonesia dinobatkan sebagai negara yang masyarakatnya dengan minat baca paling rendah di tingkat negara ASEAN.

Terbilang memalukan, sebab Indonesia salah satu negara yang memiliki penduduk paling banyak di dunia, tapi minat bacanya saja belum ada peningkatan. Rendahnya minat baca ini sangat mempengaruhi kemampuan menulis. Banyak survei yang mengatakan bahwa jika seseorang ingin bisa menulis, harus banyak membaca. Memang tanpa harus membaca pun sebenarnya juga bisa menulis, misalnya dengan menulis dari hasil pengamatan, pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Tapi paling tidak, jika kemampuan membaca tinggi kualitas tulisan yang dihasilkan pun sangat berbeda dengan orang yang tidak suka membaca, salah satunya diksi yang digunakannya.

Sesuai pernyataan Eka Kurniawan, seorang sastrawan yang ternama di Indonesia pada seminar Nasional 13 Agustus 2016 lalu, bahwa membaca itu suatu kebutuhan. Ibaratnya dalam bidang olahraga, jika ingin sehat seseorang harus berolahraga. Meskipun tanpa olahraga seseorang juga bisa sehat, tapi sehatnya orang yang berolahraga sangat jauh berbeda dengan orang yang enggan untuk berolahraga. Namun hal yang harus dipahami, olahraga tidak harus menjadi atlit. Begitu pula dengan membaca, tidak harus menjadi seorang penulis, namun setidaknya wawasan kita bertambah, dan sekaligus juga akan bisa menulis dengan suka membaca.

Analogi olahraga itu sinkron dengan kondisi sekarang. Indonesia saat ini memang sedangan membutuhkan orang-orang sehat, bugar, kuat, dan bermentalkan pejuang. Saat ini salah satu bentuk perjuangan yang harus dilakukan oleh generasi muda ialah dalam bentuk menulis. Berjuang untuk menggapai semua mimpi para pemimpin atau pejuang pendahulu kita, menjemput ketertinggalan Indonesia selama ini oleh negara lain. Para generasi harus bisa mengaktualisasi diri dengan berbagai karya dalam bentuk tulisan, baik tentang seni, sastra, budaya, kuliner, pendidikan, agama, bahkan politik. Lahirnya penulis-penulis muda di Indonesia, harapannya bisa lebih mencerdaskan generasi muda lainnya.

Permasalahannya zaman sekarang banyak kaum muda yang tidak mampu dan juga tidak mau menulis. Bukan hanya itu, para pendidik pun banyak tidak bisa menulis, terutama dosen dan guru dengan berbagai alasan klasik. Alasan yang sering didengar itu bukan hanya karena tidak mampu menulis dan punya ide, tapi mereka berdalih tidak punya waktu untuk menulis. Padahal “tidak punya waktu” itu saja sudah bisa dijadikan bahan untuk dijadikan sebuah tulisan menarik. Begitu pula mahasiswa, menulis hanya ketika ada tugas dari dosen. Ujung-ujungnya karya tulis yang pernah dihasilkan hanya sebatas Tugas Akhir (TA), skripsi, atau tesis. Mirisnya lagi, guru bahasa pun masih ada yang berkata tidak bisa menulis, dan bahkan belum punya karya tulis.

Salah besar jika sekiranya banyak opini yang menyebutkan menulis itu hal yang sulit. Padahal pada dasarnya menulis itu merupakan sesuatu hal yang mudah, karena yang dibutuhkan hanyalah “menulis, menulis, dan menulis”. Maksudnya, jika ingin bisa menulis tentu harus punya kemauan untuk menulis itu sendiri (memulai). Kegagalan seseorang tidak bisa menulis penyebabnya hanya karena tidak mau memulai menulis. Sekarang ini hampir setiap orang punya smartphone dan selalu menulis status di wall akun media sosialnya. Jika ini dimanfaatkan, status-status yang diekspos di media sosial bisa menjadi tulisan yang sangat menarik, apik, dan berkualitas, dibanding curhat bebas dan ngalay.

Berdasarkan informasi di kompas.com, Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Nasional Republik Indonesa (JPIN-RI) menyatakan minat baca penduduk Indonesia rendah disebabkan usia 10 tahun ke atas lebih suka menonton televisi. Hal itu merujuk pada data Badan Pusat Statisti tahun 2012, dengan angka 91, 58 persen. Artinya hanya 17,58 persen penduduk yang gemar membaca buku, surat kabar, atau majalah. Tahun 2015 Perpustakaan Nasional melakukan kajian pada 12 provinsi dan 28 kabupaten yang mencakup 75 persen seluruh wilayah Indonesia. Hasil kajiannya menyatakan minat baca masyarakat hanya pada angka 25,1 atau kategori rendah. Padahal agar bisa menulis lebih baik, membaca adalah resep yang paling ampuh.

Menuntun, Bukan Menuntut
Rendahnya budaya baca sangat berpengaruh besar pada kemampuan menulis seseorang. Tentu ini menjadi catatan penting bagi kita semua, agar menggalakkan budaya baca sehingga bisa meningkatkan kemampuan menulis di kalangan masyarakat. Budaya membaca dan menulis ini harus ditanamkan pada generasi muda sejak dini. Terutama sekali ini merupakan wewenangnya kaum pendidik untuk bisa berperan aktif dalam mengajak para peserta didik (siswa/mahasiswa) untuk cinta membaca dan menulis. Bukan saatnya lagi pendidik untuk menyuruh, tapi lebih diutamakan untuk mengajak.

Para pendidik biasanya kebanyakan sibuk menulis hanya untuk mengejar financial saja. Mayoritas guru menulis hanya untuk mengantongi selembar kertas sertifikasi, sebagai syarat untuk mendapat tunjangan gaji. Begitu pula kebanyakan dosen, yang menulis hanya untuk mendapatkan dana bantuah atau hibah dari pemerintah. Anehnya guru dan dosen selalu berkoar-koar agar anak didiknya mampu, dan rajin menulis. Menyedihkan sekali rasanya jika ilmu yang begitu besar dianugerahkan Tuhan hanya sekedar untuk materi secuil. Alangkah rendahnya harga sebuah tulisan kita, padahal ilmu dan tulisan kita bahkan bisa tidak terbayarkan dengan apapun.

Hasilnya banyak para sarjana tidak mampu menulis, sekalipun keluar dari “pabrik” yang memproduksi kaum intelektual yang sejatinya mampu berkarya (menulis). Hal ini tentu karena memang dari proses pendidikan hanya didikte secara teori saja, bukan dituntun untuk mampu menulis. Akibatnya sarjana tidak pernah mempunyai karya tulis selain Tugas Akhir (TA), Skripsi, atau Tesis. Tentunya tugas pendidik, baik guru atau dosen sudah seharusnya bukan hanya menuntut anak didiknya untuk bisa menulis, tapi lebih penting menuntun dengan sama-sama menulis. Salah satunya, para pendidik harus memulai lebih dulu untuk mampu menulis, dengan menunjukkan tulisan yang seharusnya dibuat. Celakanya pendidik menuntut peserta didik untuk menulis, namun pendidik sendiri pun tidak pernah memulai untuk menulis.

Sudah saatnya kita, terutama kaum pendidikan, kaum intelektual, serta pemerintah mengajak masyarakat, terutama generasi muda untuk bergerak maju dengan sebuah gerakan “Ayo Menulis”. Tentu modal penting yang tidak dilupakan ialah juga dengan menanamkan cinta membaca pada hati generasi muda. Hal ini tentu apabila segala sesuatu dimulai dengan hati, juga akan melahirkan sesuatu yang lebih harmoni. Begitu pula halnya dengan membaca dan menulis. Jika membaca yang menghayati dengan hati pasti akan menghasilkan tulisan lebih berkualitas tinggi pula.

Caranya mudah, mulailah melakukan hal yang sederhana. Misalnya jika selama ini suka berselancar di media sosial, seperti facebook, twitter, dan media sosial yang lainnya, manfaatkan situasi tersebut sebagai langkah awal untuk gemar membaca. Contohnya dengan membaca informasi, baik berita, jurnal, artikel, dan sebagainya di media social tersebut sebagai sumber ilmu atau penambah wawasan. Kemudian, mulailah terbiasa untuk menulis sesuatu yang bermanfaat di media sosial tersebut, misalnya berbagi pengalaman, tips, cerita, dan sebagainya (tapi bukan curhatan lebay dan ngalay).

Kegemaran “berenang” di media sosial seperti itu lambat laun akan membawa dampak postif yang lebih besar, terutama dalam hal membaca dan menulis. Artinya kita harus mampu memanfaatkan teknologi untuk menambah wawasan, sekaligus juga menggali potensi menulis yang ada pada diri kita. Jangan salah menempatkan posisi di media sosial. Justru kita pandai “mengayuh” nya gemar membaca tersebut akan memberikan ide-ide yang cemerlang, meskipun hanya dari media sosial. Yakinlah lambat laun juga kita akan “haus” informasi, sehingga bisa berilah hobi membaca buku (fiksi dan non-fiksi), koran, majalah, dan sebagainya. Akhirnya juga akan berdampak pada hobi menulis ke hal yang lebih serius, misalnya menulis di website pribadi atau blog, bahkan bisa menjadi sebuah buku.

Ayo kaum pendidik, dan kaum intelektual muda, mari menggemakan budaya membaca dan menulis. Sekarang saatnya kita sama-sama menuntun generasi muda agar mau menulis, karena menuntut sudah menjadi barang basi. Tentunya pemerintah juga sangat berperan penting dalam hal ini. Tanpa dukungan pemerintah gerakan “AyoMenulis” ini bagaikan sayur tanpa garam. Hal ini tentu jika semua pihak mendukung, terutama sokongan dari pemerintah, generasi muda akan lebih bersemangat untuk menulis. Namun yang lebih penting lagi ialah semangat pada diri generasi muda itu sendiri.

Artinya generasi harus menyikapi dan merenungkan pentingnya menulis. Tentu hal ini karena bangsa yang besar juga dilihat dari karya kreatif anak-anak bangsa (menulis). Tanpa menulis, nanti generasi depan bangsa tidak akan bisa membaca sejarah bangsa Indonesia sebelumnya. Harapannya dengan banyaknya penulis muda yang lahir, semoga mampu melanjutkan cita-cita pendahulu bangsa ini. Salah satunya dengan mempunyai kesadaran pentingnya menulis untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, sesuai motivasi dan cita-cita “Founding Fathers” bangsa ini, membangun bangsa dengan menulis. Semoga.*

# Tulisan ini dikutsertakan dalam lomba blog Indonesia Menulis

0 Comments