#UsiaCantik itu Ketika Mengerti Kodrat sebagai Perempuan


Cantik itu lumrah, dan anugerah. Tapi kecantikan jangan membuat kita lengah sebagai kaum yang terlahir dengan posisi sebagai perempuan.” 

Amak, sapaan untuk ibuku. Ia hanya seorang ibu dari Sungai Rengas, perkampungan kecil di Mukomuko, Provinsi Bengkulu yang dikenal dengan sebutan Bumi Raflessia itu. Mungkin ada yang bilang ibuku sebagai perempuan kampungan. Tuduhan itu tidaklah salah untuk zaman saat ini. Sebab, saat ini orang lebih banyak melirik gelar pendidikan formal, dibanding attitude yang cakap dalam pendidikan itu sendiri. Memang, ibuku bukanlah perempuan yang berpendidikan formal. Ibuku tidak tamat Sekolah Dasar (SD), ia duduk di bangku pendidikan hanya sebatas kelas dua. Terkendala dengan biaya, dan demi mengasuh adik-adiknya. 

Aku tidak malu atas semua tuduhan itu. Meskipun ia tidaklah lulus pendidikan formal, tetapi ia tetaplah perempuan terdidik bagiku. Terdidik dari alam, ilmunya tumbuh bersama semesta. Mungkin itu pula alasannya, ia begitu semangat memberi pendidikan formal yang lebih bagi anak-anaknya. Terutama untukku. Meskipun aku tahu keuangan keluarga ketika kuliah dulu sering tertatih-tatih. Tapi dengan kepintarannya mengatur keuangan keluarga, kini namaku telah disematkan dengan gelar sarjana. Ialah ibuku, perempuan yang tidak pernah menyerah demi anaknya, meskipun usianya tidak lagi terbilang muda. 

Ibuku, seorang ibu rumah tangga yang sangat jauh dari make up, seperti bedak, blush, lipstik, eyeliner, eyeshadow, dan sebagainya. Sekalipun memakai bedak, hanya bedak biasa. Itupun jika pergi ke acara penting yang jaraknya jauh. Kalau masih disekitaran kampung, biasanya ibuku sangat jarang dandan. Menurut ibuku, yang penting pakaian bersih, karena kebersihan yang lebih utama. Biasalah, hidup di kampung jika suka dandan dan berpenampilan penuh dengan make up, pasti akan menjadi pusat gunjingan, dan dianggap sangat tidak biasa. Sebab itu pula, ibuku berpenampilan biasa saja. Dan ibuku, bukan orang kota.

Bahkan, pernah suatu ketika aku menyuruh ibu dandan karena akan pergi ke kondangan. Tapi Ibuku memberi jawaban “nyeleneh” meskipun memang ada benarnya juga menurutku. “Pergi kondangan itu bukan pamer kecantikan. Lagian di kampung kita, siapapun yang nikah, yang ibu-ibu pasti juga bagian belakang (dapur), ngurusin menu masakan, nyiapin kopi, teh, dan sebagainya,” ciloteh ibuku. 

“Saya cuma memberi saran saja Buk. Selama ini Ibu tidak pernah dandan, padahal ibu-ibu yang lain ada juga yang dandan,” sahutku seadanya. 

“Ibu bukannya tidak mau dandan, tapi biaya untuk dandan itu mahal. Lebih baik uang untuk dandan itu dibeli keperluan dapur, biaya sekolah, atau pendidikan kamu dan adik-adikmu. Lagi pula, Ibu tidak muda lagi. Umur Ibu sudah 45 tahun. Seorang Ibu itu urusannya bukan masalah penampilannya pribadi, tapi lebih penting penampilan (masa depan) anaknya, dan mampu (mengabdi) mengurusi keperluan suaminya. Makanya, besok kalau kamu mencari calon istri jangan cari yang pintar dandan saja, meskipun cantik itu lumran bagi perempuan. Mencari perempuan yang bijak dengan kodratnya itu lebih baik, bisa mengatur keuangan rumah tangga, bisa masak, bisa nguruin anak dan suaminya, serta berakhlak,” papar ibuku.

“Tapi perempuan harus dandan juga Buk, masa zaman serba canggih, tapi penampilan masih seperti itu aja. Nanti kalau nggak bisa menjaga penampilannya, pasti tidak ada laki-laki yang mau mendekati. Nanti juga, pas setelah bersuami pasti suaminya cepat bosan karena istrinya tidak bisa bersolek Buk. Zaman sekarang urusan dapur, pembantukan bisa,” timpalku sambil memainkan handpone.

“Dandan memang penting bagi perempuan, tapi jangan berlebihan. Yang lebih penting itu perempuan mengerti kodratnya sebagai perempuan. Buktinya, zaman sekarang banyak yang tidak paham posisinya sebagai perempuan. Urusan dapur (masak) saja tidak beres. Masakan seorang istri itu sangat dihargai suami ketimbang masakan pembantu. Jadi seorang istri harus  mampu melayani suaminya, termasuk urusan dapur. Meskipun sebenarnya masak itu bukan hanya urusan perempuan. Sebab, seorang suami seharusnya juga bisa masak, minimal masak untuk dirinya sendiri. Sehingga ketika istrinya tidak ada, suaminya tidak merasa kelaparan. Tapi bagi ibu, meskipun Abahmu tidak pernah masak, pengabdian terus akan ibu lakukan,  karena akan memberi pahala sebagai jalan jihad dalam keluarga,” jelas ibu lagi.

“Tapi wajah cantik itu perlu Buk. Laki-laki pasti banyak yang mau dengan perempuan cantik. Jadi perempuan cantik gampang cari suami,” kataku sambil mancing-mancing omelan ibuku. 

“Nak, cantik itu bukan karena banyak Make Up, tapi cantik itu dari hati. Jika hati perempuan itu baik, pasti ia orangnya cantik. Kalau menikah hanya melihat fisik, umurnya akan pendek. Sebab, cantik atau ganteng itu tidak ada standarnya. Jadi melihat ada yang lebih saja hatinya sangat mudah beralih. Zaman dulu, zaman ibumu ini, sampai sekarang pernikahan tetap awet. Kamu sudah lihat sendirikan, ibu dengan bapakmu tidak pernah bertengkar. Kami menikah bukan karena fisik. Lihatlah Abahmu, meskipun Ibu tidak pernah dandan, Abahmu tidak pernah protes, dan juga tidak pernah tertarik dengan perempuan yang lain. Yang terpenting bagi ibu, hidup itu harus bersih, dan tahu kodrat masing-masing,” jelas ibuku panjang lebar.
    
Kemudian ibuku pergi ke kondangan yang tidak beberapa jauh dari rumah. Setelah itu, aku pun mulai merenung dan meresapi setiap kata-kata ibuku. Memang, apa yang dijelaskan oleh ibuku banyak benarnya. Cantik itu perlu, tapi mengerti kodrat sebagai perempuan itu lebih penting. Sebab, kecantikan bisa diubah, tapi kodrat sangat sulit dan bahkan tidak bisa diubah. Perempuan punya kodrat yang tidak bisa dipunyai laki-laki. Aku pun teringat sebuah hadist yang pernah mengatakan tingginya derajat seorang perempuan tiga kali lebih tinggi dari laki-laki. Dalam agama Islam ada surat khusus bagi kaum perempuan, yakni Al-Qur’an surat An-Nisa (wanita).

Mendengar kata-kata ibu, membuatku semakin mengerti bahwa cantiknya perempuan bukan karena fisiknya, selain karena ketaatannya, ilmu, dan pemikirannya juga mengerti tentang kodrat sebagai perempuan. Dan ibuku, pada umur ke 45 tahun masih dalam #UsiaCantik, terutama pemikirannya sebagai perempuan, istri, dan juga ibu untuk anak-anaknya. Ibukku sangat mengerti posisinya sebagai perempuan, istri, sekaligus juga sebagai ibu. Bahkan, hal kecil seperti urusan dapur saja sangat ia perhatikan. Makanya adikku yang perempuan, sejak SMP saja sudah sangat pandai masak. Semuanya diajarkan ibuku, sekaligus untuk menjauhi kekhawatirannya bahwa anak perempuan zaman sekarang banyak yang tidak tahu urusan dapur.

Ibuku memang tidak menyandang gelar apa-apa selain kata “ibu” bagi anak-anaknya, dan “istri” bagi suaminya. Ia tidaklah seperti ibu-ibu yang lain, guru, dosen, polwan, ustadzah, pramugari, bhayangkari, bisnis woman, anggota DPR, menteri, apalagi presiden. Namun, bagiku ia seorang guru dan dosen pertama dalam hidup anak-anaknya. Meskipun tidak berdiri di ruang kelas, tetapi ajarannya tetap berkelas. Ia juga polwan, yang mengatur lalu-lintas hidup, agar anak-anaknya selalu berjalan pada koridor dan jalur yang benar. Ia juga ustadzah dalam keluarga, yang tidak berhenti menceramahi, mengajarkan hal-hal baik dengan sesama, sekaligus juga dengan Tuhan. 

Ia pun pramugari bagiku, yang selalu memberi peringatan ketika anak-anaknya akan terbang mengarungi hidup, seperti aku yang selalu jauh terbang ke tanah rantauan. Bahkan, Ia juga bhayangkari yang selalu hadir pada acara resmi anak-anaknya. Ia pebisnis, dengan ilmu alam akuntansi dan manajemennya mengatur keuangan keularga, dan keperluan anak-anaknya. Ia juga dokter, yang selalu memantau dan menanyakan kesehatan anak-anaknya, meskipun aku terpisah jarak yang jauh. Ia pun seperti anggota DPR dan menteri, yang juga seringkali sidang dengan saling berbagi cerita dengan anak-anaknya, denganku. Kalian tahu, bahkan ibuku juga presiden atau pemimpin kedua selain “Abah”, dalam membimbing anak-anaknya, mencari solusi demi kesejahteraan anak-anaknya kelak. 

Nah, begitulah cerita “kecantikan” ibuku. Mengingat begitu panjang perjuangan dan kasih sayang ibuku demi anak-anaknya. Tidak seorang pun perempuan lain yang bisa menempati posisi “kecantikannya.” Usianya memang tidak lagi muda, namun semakin bertambah umur semakin menunjukkan betapa ia begitu cantik. #UsiaCantik yang di genggamannya sekarang memperlihatkan tingkat kematangan sebagai seorang perempuan. Meskipun sangat jauh dari pendidikan formal, tapi pemikiran ibuku tidak kalah dari perempuan zaman sekarang. Ibuku sangat jarang bersolek, tapi yang penting baginya keluarganya tetap awet. Ibuku selalu ada saat anak-anaknya butuh.

Ah. Jika diceritakan tentang ibuku, tidaklah cukup waktu. Mungkin ada yang menonton film Korea yang berjudul “A Long Visit Mom”, sepertilah ibuku. Perjuangan apapun tidak pernah lelah ia lakukan demi anak-anaknya, terutama demi aku yang tinggal jauh di perantauan. Ya, ketika anaknya pergi merantau, seoarang ibu terlihat sedih dan bahagia, sekaligus juga sedih karena ditinggalkan dan bahagia melihat senyum anaknya bahagia. Aku dan ibuku bahkan juga pernah bertengkar di telefon, setelah itu kembali merindu dan menyesal. Ibuku sangat mengerti semua kebutuhan anak-anaknya, terutama kebutuhanku ketika mulai merantau. 

Uang jajan selalu ditambahkannya dengan berbagi alasan, padahal untuk keperluan di rumah juga sangat penting. Ketika pulang kampung, ibuku tidak pernah berhenti mengajakku cerita apapun, baik tentang di kampung atau menanyakan studiku. Memasakkan kue kesukaanku, bahkan juga menyuci bajuku. Meskipun kadang aku sering marah karena tidak mau dicucikan oleh ibu. Aku tidak mau merepotkannya. Tapi ibuku selalu menjawab, “ini tugas seorang ibu, sebelum kalian berumah tangga,” sambil tersenyum.  Bahkan ketika pergi ke Padang, sebagai tanah rantau tempat saya menuntut ilmu, ibuku selalu secara diam-diam memasukkan nasi dan sambal dalam tasku, begitu juga dengan makanan yang dimasaknya.

Seringkali, ketika aku keluar pintu rumah hendak pergi ke Padang, setelah kucium tangannya, ibuku selalu pergi dan sembunyi di balik pintu. Ia menangisi kepergianku, tapi sengaja tidak ia tampakkan di hadapanku. Dulu, ketika aku mengalami musibah kehilangan motor, ia bersikap dengan nada tidak sedih bila ditelefon, padahal adikku bilang ibuku menangis ketika dapat kabar aku kehilangan. Begitulah ibuku, kodratnya sebagai seorang perempuan, seolah-olah ia perempuan yang tegar, dan mengajarkan hidup yang tegar bagi anak-anaknya. Padahal dalam hatinya ada suatu kesedihan yang tidak bisa dibendungnya. Setegar apapun perempuan ia masih tetap butuh perlindungan. Secantik apapun perempuan, ia tidak akan bisa lepas dari kodratnya sebagai perempuan. Sebab, #UsiaCantik itu bukan ketika sering dandan, tapi ketika seseorang semakin mengerti posisinya sebagai perempuan bagi sesama, istri bagi suaminya, dan ibu bagi anak-anaknya. Terima kasih Mak, atas “kecantikkan”mu selama ini.*

_________________________________________________________________________________
Lomba blog ini diselenggarakan oleh BP Network dan disponsori oleh L’Oreal Revitalift Dermalift.”

0 Comments