Ketika Kartini Disembah

Sumber: Joglosemar.co

Ibu kita Kartini Pendekar Bangsa
Pendekar Kaumnya untuk Merdeka
Wahai Ibu Kartini Putri yang mulia
Sungguh besar cita-cita Bagi Indonesia

PADANG- Kartini, sebuah nama yang sudah dikenal luas di nusantara, karena titel pahlawan nasional, dan sanjungan melalui lagu Kartini buah karya W.R. Supratman. Tidak heran jika sebagian besar masyarakat Indonesia, kini mengganggap setiap tanggal 21 April, sebagai hari yang spesial atau sakral. Di daerah Jawa bahkan menggelar kegiatan yang sangat khusus untuk mengenang Raden Ajeng Kartini ini.

Ditetapkannya Hari Kartini sejak 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno, sesuai Keppres RI No. 108/1964, sebegitu sakralnya nama Kartini sejagat raya ini. Padahal, sejak tahun 1964 kepantasan Kartini menyandang gelar pahlawan nasional terus dipertanyakan, dan sampai saat ini tiada hentinya diperdebatkan. Tentu persoalan itu karena masih banyak pahlawan perempuan yang lebih pantas dibanding seorang Kartini.

Menurut catatan sejarahnya, Kartini bahkan hanya bisa mengeluh, dan cengeng dengan belenggu adat dan budaya Jawa, atas dominannya kekuasaan laki-laki. Keluhan Kartini itu bahan curhatan ke temannya di Belanda, bernama J.H Abendanon. Bila benar Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan, dengan mendobrak kebiasaan lama daerah Jawa, kanyataannya Kartini sendiri tidak bisa mengelak dijadikan istri ketiga Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada masa itu.

Sementara Rohana Kudus, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyyah, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Opu Daeng Risadju, Maria Walanda Maramis, Nyi Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu, Siti Manggopoh, dan beberapa perempuan cerdas dan berani lainnya, lebih besar perjuangannya dari Kartini. Mirisnya, ada diantaranya belum diakui sebagai pahlawan nasional, padahal perjuangan mereka nyata, baik perjuangan hak perempuan, pendidikan, dan melawan penjajah.

Sebaliknya, sesuai lirik lagunya, Kartini hanyalah pahlawan pembela kaumnya di Jawa.  Curhat berkirim surat dengan orang Belanda, bukan melawan Belanda. Memang tujuan Kartini ingin mendapat hak-hak perempuan, seperti pendidikan, bebas dari poligami, dan sebagainya. Tapi faktanya Kartini sendiri korban poligami. Secara logika, masalah juga tidak akan pernah selesai dengan curhatan. Nyatanya, sampai kini Kartini dianggap perempuan yang paling berpengaruh.

Sebenarnya bukan maksud mengintemidasi Hari Kartini, hanya saja tata caranya dinilai terlalu berlebihan. Memang tidak semuanya, tapi mayoritas daerah Jawa sangat kental dengan kegiatan sakral Hari Kartini. Demi penghormatan pada Kartini, banyak orang yang sujud dan nyembah dihadapan foto atau lukisan Kartini. Seolah-olah menuhankan Kartini, meskipun sebenarnya tidak.

Kegelisahan sekaligus cara yang sangat menggelikan ini, kata raja dangdut Roma Irama, “sungguh terlalu”. Hampir setiap tanggal 21 April dalam rangka Hari Kartini ada-ada saja pemberitaan “yang terlalu” ini. Mirisnya, juga diajarkan ke siswa ketika peringatan Hari Kartini di beberapa sekolah daerah Jawa. Akibatnya, kebiasaan nyembah foto atau lukisan R.A Kartini bisa sebagai agenda tahunan.

Pelakunya bukan hanya kaum perempuan, tapi juga laki-laki. Padahal Kartini sendiri benci atas dominasi laki-laki. Artinya Kartini yang dipengaruhi oleh pemikiran orang Belanda, J.H Abendanon ini bisa memotivasi perempuan, dan menundukkan laki-laki, setelah kematiannya pada tahun 1904. Apakah itu sebagai pahlawan nasional?

Tidak ada yang salah memperingati hari pahlawan, bahkan diwajibkan mengenangnya. Hanya saja kadang caranya yang salah, dan cenderung berlebihan. Dibanding pahlawan yang lain, peringatan Hari Kartini dinilai sangat meriah. Misalnya, mengenang kematian Soekarno, Bung Hatta, Jenderal Soedirman, serta ratusan pahlawan yang berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kadang sering terlupakan begitu saja.

Sementara Kartini disanjung-sanjung seperti orang yang satu-satunya paling berjsasa di negeri ini. Terbukti di Hari Kartini, di beberapa lembaga atau instansi mewajibkan para karyawannya memakai pakaian ala-ala zaman Kartini. Perempuan mendadak memakai kebaya, dengan kain jarik. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah tahu dengan baju kebaya, karena sering tidak memakai apa-apa atas nama modernisasi.

Modernisasi ini juga sebagai salah satu cita-citanya Kartini untuk kaumnya, tanpa harus tertindas deskriminasi, dan dibelenggu adat dan budaya, bahkan kapan perlu jangan dibelenggu oleh agama. Sebab dalam buku Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini karya Th. Sumartana sesuai surat curhatan Kartini, yang berisikan kritikan pedas tentang agama, sehingga seolah-olah Kartini mencampuradukkan semua agama. Hal ini akibat Kartini terlalu berkiblat terhadap Eropa.

Tindakan Kartini sebatas curhatan ini dinilai egois, dan posisi keluhannya hanya karena korban deskriminasi. Mirisnya lagi, perempuan saat ini yang mulai banyak lupa dengan kodrat dan jati sendirinya. Akibat ingin terlihat seksi, dan modernisasi, sesungguhnya mereka telah melecehkan kodratnya sendiri. Selain itu, banyak orang yang menyanjung R.A Kartini, tapi dalam kehidupan pribadinya, hati ibunya sendiri sering dikhianati.

Seorang ibu harus jadi Kartini dulu, baru kita ini berbakti? Tentu saja tidak. Sebenarnya semua perempuan ialah pahlawan pada masanya masing-masing, dengan cara dan juang yang berbeda-beda. Bisa pahlawan bagi anak-anaknya, suami, orangtua, dan agamanya. Sayangnya, masih saja banyak perempuan cengeng, dan kemampuannya hanya curhat di berbagai sosial media, dan hura-hura.

Maaf, sebab itu pula aku tidak begitu dekat dengan Hari Kartini. Alasannya, ibuku juga bukanlah seorang Kartini, dan tidak mengenal Hari Kartini. Huruf atau angka sebesar kepala saja mungkin ia tidak tahu. Tapi bagiku ia tetap pahlawan. Setidaknya ibuku, dan semua ibu telah berjuang umumnya sembilan bulan. Haruskah kita sujud dihadapan lukisan Kartini, dan sementara orantua kita sendiri dilengahkan? Miris.

Tentu bagiku pahlawan patut dikenang bukan hanya yang berjuang melawan penjajah saja, apalagi sekedar melalui surat-suratan. Tapi sejatinya pahlawan ialah mereka yang mampu menundukkan egonya sendiri. Mengedepankan segala potensi diri, merendah dihadapan Tuhan, dan tidak melupakan kodrat sebagai perempuan. Ingat, Kartini bukan disembah!. (*)

0 Comments