PADANG- Beberapa tahun yang lalu, saya pernah
menulis sebuah artikel berjudul “Honorer juga Manusia”, dan dimuat oleh Harian
Haluan Padang. Sebab guru honorer sering dilema. Bila mereka mengajar
bayarannya sangat-sangat rendah, bila tisak mengajar siswanya terlunta-lunta.
Terutama di daerah pedesaan atau pelosok. Begitulah kira-kira peliknya hidup
seorang honorer di sekolah, bagaikan menggenggam buah simalakama, “ditelan
pahit dibuang sayang.”
Problema
tentang tenaga pendidik ini sudah lama terdengar. Namun sampai detik ini belum
ada titik terangnya. Masih banyak guru yang mengeluh, dengan biaya hidup yang
masih melambung tinggi, namun pendapatan dari hasil mengajar hanya bisa membei
sesuap nasi. Penghasilan hanya “sekedar basa-basi” saja dari pihak sekolah,
sedangkan dari pemerintah tidak pernah ada. Begitualah penderitaan para
penyandang gelar “tanpa tanda jasa” ini, seperti yang dinyanyikan oleh Roma
Irama, “gali lobang tutup lobang.”
Bagaimana
seorang guru bisa melaksanakan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
(UUGD), dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sesuai
pasal 39 Ayat (2), sedangkan mereka harus masih memikirkan “keroncongan” perut
anaknya. Sungguh miris. Padahal, ada berbagai kasus guru Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang keluyuran ketika jam mengajar, ke pasar, ke mall, atau ngerumpi di
ruang guru. Oknum PNS itu masih merasa kurang, mengeluh, dan menuntut upah yang
lebih.
Sebaliknya,
honorer dibayar seadanya, padahal beban mengajarnya sama dengan PNS.
Ketidakadilan ini harus segera dituntaskan. Kenyataan ini saya temukan di
daerah saya, Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Guru honorer dari SD, SMP,
sampai SMA, disana sangat miris. Upah yang mereka terima hanya Rp.300.000,-
yang dibayar per tiga sampai lima bulan sekali. Padahal kewajiban yang
diembannya sama dengan guru-guru PNS. Kecilnya upah ini pula yang menyebabkan
merosotnya kualitas pembelajaran di sekolah. Kita harus berbicara jujur, bahwa
tidak akan ada yang semangat untuk mengajar jika dibayar hanya “sekadar.” Jadi
tidak bisa juga guru yang disalahkan jika hasil belajar siswa kurang maksimal.
Maksudnya,
akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan bukan hanya harus dilihat
dari penyebaran kuantitas pendidiknya saja, tapi juga kesejahteraan
pendidiknya. Saya yakin, dengan adanya kesejahteraan para guru, baik PNS,
maupun honores, atau tenaga pendidik jalur lainnya, kebutuhan guru di setiap
sekolah akan tersebar merata, dan meluas. Lulusan LPTK pun pasti akan
berbondong-bondong menjadi guru yang profesional, asalkan ada jaminan mengenai
kesejahteraannya.
Sebab,
tujuan pendidikan sebenarnya bukan hanya tentang otak, tapi tujuan akhirnya
juga akan sampai ke “perut”. Maka, sangat diharapkan bagi semua elemen
masyarakat, pejabat pemerintahan, dan pelaku pendidikan untuk mampu bersinergi,
dengan tujuan yang sama, yaitu akses pendidikan yang meluas, merata, dan
berkeadilan. Tentu, akses yang dimaksud bukan hanya proses pendidik sampai di
aderah tujuan, tapi juga proses pendidikan bisa diajarkan dan diterima dengan
tenang. Jika tidak, pendidikan hanyalah angan-angan cita-cita pendiri bangsa 72
tahun yang silam, dengan luka yang dalam. *
0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !