Perlunya Sinergisitas dalam Mewujudkan Pendidikan Berkeadilan (2)


PADANG- Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menulis sebuah artikel berjudul “Honorer juga Manusia”, dan dimuat oleh Harian Haluan Padang. Sebab guru honorer sering dilema. Bila mereka mengajar bayarannya sangat-sangat rendah, bila tisak mengajar siswanya terlunta-lunta. Terutama di daerah pedesaan atau pelosok. Begitulah kira-kira peliknya hidup seorang honorer di sekolah, bagaikan menggenggam buah simalakama, “ditelan pahit dibuang sayang.”

Problema tentang tenaga pendidik ini sudah lama terdengar. Namun sampai detik ini belum ada titik terangnya. Masih banyak guru yang mengeluh, dengan biaya hidup yang masih melambung tinggi, namun pendapatan dari hasil mengajar hanya bisa membei sesuap nasi. Penghasilan hanya “sekedar basa-basi” saja dari pihak sekolah, sedangkan dari pemerintah tidak pernah ada. Begitualah penderitaan para penyandang gelar “tanpa tanda jasa” ini, seperti yang dinyanyikan oleh Roma Irama, “gali lobang tutup lobang.”

Bagaimana seorang guru bisa melaksanakan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sesuai pasal 39 Ayat (2), sedangkan mereka harus masih memikirkan “keroncongan” perut anaknya. Sungguh miris. Padahal, ada berbagai kasus guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang keluyuran ketika jam mengajar, ke pasar, ke mall, atau ngerumpi di ruang guru. Oknum PNS itu masih merasa kurang, mengeluh, dan menuntut upah yang lebih.

Sebaliknya, honorer dibayar seadanya, padahal beban mengajarnya sama dengan PNS. Ketidakadilan ini harus segera dituntaskan. Kenyataan ini saya temukan di daerah saya, Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Guru honorer dari SD, SMP, sampai SMA, disana sangat miris. Upah yang mereka terima hanya Rp.300.000,- yang dibayar per tiga sampai lima bulan sekali. Padahal kewajiban yang diembannya sama dengan guru-guru PNS. Kecilnya upah ini pula yang menyebabkan merosotnya kualitas pembelajaran di sekolah. Kita harus berbicara jujur, bahwa tidak akan ada yang semangat untuk mengajar jika dibayar hanya “sekadar.” Jadi tidak bisa juga guru yang disalahkan jika hasil belajar siswa kurang maksimal.

Maksudnya, akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan bukan hanya harus dilihat dari penyebaran kuantitas pendidiknya saja, tapi juga kesejahteraan pendidiknya. Saya yakin, dengan adanya kesejahteraan para guru, baik PNS, maupun honores, atau tenaga pendidik jalur lainnya, kebutuhan guru di setiap sekolah akan tersebar merata, dan meluas. Lulusan LPTK pun pasti akan berbondong-bondong menjadi guru yang profesional, asalkan ada jaminan mengenai kesejahteraannya.


Sebab, tujuan pendidikan sebenarnya bukan hanya tentang otak, tapi tujuan akhirnya juga akan sampai ke “perut”. Maka, sangat diharapkan bagi semua elemen masyarakat, pejabat pemerintahan, dan pelaku pendidikan untuk mampu bersinergi, dengan tujuan yang sama, yaitu akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan. Tentu, akses yang dimaksud bukan hanya proses pendidik sampai di aderah tujuan, tapi juga proses pendidikan bisa diajarkan dan diterima dengan tenang. Jika tidak, pendidikan hanyalah angan-angan cita-cita pendiri bangsa 72 tahun yang silam, dengan luka yang dalam. *

0 Comments