Gender dan Seksualitas di Mata Penulis Indonesia


TERKA - Persoalan gender dan seksualitas memang menjadi isu yang tidak pernah usai, sebab itu pula selalu hangat dibahas. Padahal sejatinya laki-laki dan perempuan telah memiliki keistimewaan masing-masing. Sudah sepatutnya pula keistimewaan itu harus dipupuk untuk menjadi kekuatan bersama dalam hidup yang lebih harmonis.

Sayangnya, dengan umur dunia yang semakin tua, isu “perperangan” masalah gender dan seksualitas terus bergejolak. Padahal berdasarkan gender, setiap manusia baik laki-laki atau perempuan telah ditetapkan perannya masing-masing. Sekali lagi sayangnya, banyak orang yang memutarbalikkan kodrat yang telah dianugerahkan Tuhan.

Laki-laki sebagai suami yang dianggap paling dominan, kuasa, dan kuat, sehingga enggan terlalu manja kepada istri. Semuanya urusan di rumah, baik masak, mencuci, menyapu, membersih piring, sampai mengasuh anak dibebankan pada istri. Padahal jika memang suami itu dianggap kuat, urusan menyapu, mencuci piring, bahkan memasak sekalipun harusnya juga bisa dilakukan suami.

Memang laki-laki pekerjaannya bukan urusan di rumah, tapi setidaknya sebagai suami laki-laki juga bisa mengerjakan urusan rumah. Istri yang seharusnya dimanjakan, bukan sebaliknya. Namun dilain pihak, banyak juga para perempuan yang “memperkerjakan” suaminya, dan menggantikan peran sebagai paling dominan di luar rumah. Akibatnya perempuan lupa perannya sebagai istri.

Berawal ketidaksiapan menerima kodrat, dan perannya masing-masing ini sebagai api yang menimbulkan ketidakakuran, karena dianggap adanya memarginalkan. Misalnya ditatan sosial perempuan dianggap kaum rendahan sebagai pemuas seksualitas laki-laki. Sebaliknya laki-laki dianggap super hero yang kedudukannya tidak terkalahkan oleh perempuan.

Ketidakharmonisan itu berdampak besar pada kaum perempuan yang dianggap lemah. Laki-laki dan perempuan selalu dianggap ibarat durian (pria), dengan timun (wanita), sehingga bagaimana pun posisinya timun tetap hancur oleh durian. Paradigma seperti ini selalu meletakkan perempuan makhluk yang lemah. Padahal, antara laki-laki dan perempuan tidak ada kemenangan tersendiri, tapi kemenangan bersama.

Apalah artinya hidup seorang laki-laki tanpa perempuan, begitu pula sebaliknya. Apalagi dibalik kesuksesan seorang laki-laki selalu ada doa perempuan di sampingnya. Keistimewaan perempuan bahkan tercantum dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa yang berarti perempuan. Dibalik keistimewaannya, perempuan menghadapi berbagai persoalan-persoalan dalam menjalani hidup berdampingan dengan laki-laki.

Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan 25 kasus pelecehan seksual termasuk dalam kategori berbasis gender atas perempuan bekerja di pabrik. Hasil monitoring Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) tahun 2013 menemukan 717 perempuan korban kekerasan berbasis gender.

Kemudian tahun 2014 terdapat 293 ribu kasus lebih. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2015, terdapat 321.752 kasus kekerasan atas perempuan. Komnas Perempuan Indonesia memaparkan sepanjang tahun 2016, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus serupa selalu meningkat setiap tahunnya.

Bertolak dari hal tersebut, persoalan tentang perempuan pada saat ini masih menjadi perbincangan aktual dan sangat krusial. Tentunya kasus-kasus mengenai perempuan merupakan persoalan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Bila dicermati lebih dalam, dari sejumlah kategori kekerasan di atas berkaitan erat dengan gender.

Biar pun APIK, atau Undang-Undang Perlindungan Perempuan ada, tapi realitanya masih banyak kedudukan perempuan dan laki-laki belum setara dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, bahkan agama. Misalnya, dalam agama Islam kenapa berang jika perempuan tidak tertutup, tapi banyak yang diam bila laki-laki tidak menjaga pandangan?

Ladang Basah Penulis
Permasalahan keberagaman gender semakin hari, semakin ramai diperbincangkan. Apalagi bila akan dikaitkan dengan budaya. Padahal sebetulnya apapun fenomena gender yang terjadi tersebut memang sudah membudaya. Meskipun sebenarnya budaya tersebut masih bisa ditinjau ulang, tanpa harus mengobrak-abrik kerukunan antar sesama.

Persoalan ini telah dibahas diberbagai kalangan, baik oleh para politikus, budayawan, sastrawan, dan pegiat komunitas yang akrab dengan gender atau seksualitas. Kita lihat dari segi sastrawan, bahkan ratusan karya sastra tentang gender sudah diterbitkan oleh beberapa sastrawan ternama. Tak jarang sastrawan pun saling sikut dalam karyanya, bukan hanya antara penulis laki-laki dengan penulis perempuan, tetapi juga sesama penulis laki-laki, atau sebaliknya diberbagai suku.

Misalnya  Layar Terkembang (S.T. Alisyahbana), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Negeri Perempuan dan Orang Belanti (Wisran Hadi), Gerhana dan Saraswati (A.A Navis), Bako (Darman Moenir), Merantau ke Deli (Hamka), Belenggu (Armijn Pane), Gadis Pantai dan Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), Ronggeng Dukuh Paruk; Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala (Ahmad Tohari).

Selanjutnya, Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El Khalieqy), Burung-burung Manyar (YB Manguwijaya), Sukreni Gadis Bali (A.A Panji Tisna), Cantik itu Luka (Eka Kurniawan), Tempurung (Oka Rusmini) Pada Sebuah Kapal (Nh. Dini), Saman (Ayu Utami), Raumanen (Marianne Katoppo), serta Karmila dan Badai Pasti Berlalu (Marga T), serta di Minangkabau dalam naskah kaba Cindua Mato, Anggun Nan Tongga, Sabai Nan Aluih, Malin Deman, dan kaba lainnya.

Terbukti isu-isu keberagaman gender, dan seksualitas telah menjadi inspirasi penulis Indonesia. Karya-karya pernulis itu mayoritas menyoroti ketidakadilan, deskriminasi, marginalisasi, kekerasan, dan perlawanan perempuan terhadap laki-laki. Tentu karya ini lahir karena adanya budaya yang demikian, yang mencerminkan masyarakat di Indonesia.

Semua karya sastra yang membicarakan tentang perempuan, dengan berbagai motif, latar, budaya, dan permasalahan. Jadi tidaklah benar, jika permasalahan gender akibat sistem patriarki. Daerah Minangkabau yang menganut sistem matriarki pun terlibat dengan berbagai realita gembar-gembor isu gender selama ini. Padahal, bila saja tidak diusik sebenarnya tidak ada masalah.

Tentu isu gender ini menjadi ladang subur bagi penulis atau sastrawan, termasuk di Indonesia. Selain menyuarakan hak-hak perempuan, penulis sebenarnya juga memiliki misi dalam aspek ekonomis. Hal ini karena isu-isu serupa ini menjadi barang yang sangat laris di pasaran. Bukan hanya mengeluarkan kata-kata hasrat cinta dua jenis manusia, tapi juga ada esensi lika-liku keperempuan yang dijual di dalamnya.


Dari sekian banyak buku-buku laris tentang gender, yang menimpa perempuan, sebegitu banyak pula telah dilakukan penelitian dan kajian ilmiah oleh para cendikiawan, serta pelaku pendidikan. Hasil akhirnya, hanya sebatas itu. Kasus keberagaman hanya menjadi menu empuk yang disajikan penulis. Kita, hanya membaca yang patut direnungkan, di atas pelukan semesta.* 

0 Comments