TERKA - Persoalan
gender dan seksualitas memang menjadi isu yang tidak pernah usai, sebab itu
pula selalu hangat dibahas. Padahal sejatinya laki-laki dan perempuan telah
memiliki keistimewaan masing-masing. Sudah sepatutnya pula keistimewaan itu
harus dipupuk untuk menjadi kekuatan bersama dalam hidup yang lebih harmonis.
Sayangnya,
dengan umur dunia yang semakin tua, isu “perperangan” masalah gender dan
seksualitas terus bergejolak. Padahal berdasarkan gender, setiap manusia baik
laki-laki atau perempuan telah ditetapkan perannya masing-masing. Sekali lagi
sayangnya, banyak orang yang memutarbalikkan kodrat yang telah dianugerahkan
Tuhan.
Laki-laki
sebagai suami yang dianggap paling dominan, kuasa, dan kuat, sehingga enggan
terlalu manja kepada istri. Semuanya urusan di rumah, baik masak, mencuci,
menyapu, membersih piring, sampai mengasuh anak dibebankan pada istri. Padahal
jika memang suami itu dianggap kuat, urusan menyapu, mencuci piring, bahkan
memasak sekalipun harusnya juga bisa dilakukan suami.
Memang
laki-laki pekerjaannya bukan urusan di rumah, tapi setidaknya sebagai suami
laki-laki juga bisa mengerjakan urusan rumah. Istri yang seharusnya dimanjakan,
bukan sebaliknya. Namun dilain pihak, banyak juga para perempuan yang
“memperkerjakan” suaminya, dan menggantikan peran sebagai paling dominan di
luar rumah. Akibatnya perempuan lupa perannya sebagai istri.
Berawal
ketidaksiapan menerima kodrat, dan perannya masing-masing ini sebagai api yang
menimbulkan ketidakakuran, karena dianggap adanya memarginalkan. Misalnya
ditatan sosial perempuan dianggap kaum rendahan sebagai pemuas seksualitas
laki-laki. Sebaliknya laki-laki dianggap super hero yang kedudukannya tidak
terkalahkan oleh perempuan.
Ketidakharmonisan
itu berdampak besar pada kaum perempuan yang dianggap lemah. Laki-laki dan
perempuan selalu dianggap ibarat durian (pria), dengan timun (wanita), sehingga
bagaimana pun posisinya timun tetap hancur oleh durian. Paradigma seperti ini
selalu meletakkan perempuan makhluk yang lemah. Padahal, antara laki-laki dan
perempuan tidak ada kemenangan tersendiri, tapi kemenangan bersama.
Apalah
artinya hidup seorang laki-laki tanpa perempuan, begitu pula sebaliknya.
Apalagi dibalik kesuksesan seorang laki-laki selalu ada doa perempuan di
sampingnya. Keistimewaan perempuan bahkan tercantum dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa yang berarti
perempuan. Dibalik keistimewaannya, perempuan menghadapi berbagai persoalan-persoalan
dalam menjalani hidup berdampingan dengan laki-laki.
Ketua
Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan 25 kasus pelecehan seksual
termasuk dalam kategori berbasis gender atas perempuan bekerja di pabrik. Hasil
monitoring Legal Resources Center
untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) tahun 2013
menemukan 717 perempuan korban kekerasan berbasis gender.
Kemudian
tahun 2014 terdapat 293 ribu kasus lebih. Catatan Tahunan Komnas Perempuan
2015, terdapat 321.752 kasus kekerasan atas perempuan. Komnas Perempuan
Indonesia memaparkan sepanjang tahun 2016, terdapat 259.150 kasus kekerasan
terhadap perempuan. Kasus serupa selalu meningkat setiap tahunnya.
Bertolak
dari hal tersebut, persoalan tentang perempuan pada saat ini masih menjadi
perbincangan aktual dan sangat krusial. Tentunya kasus-kasus mengenai perempuan
merupakan persoalan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Bila dicermati
lebih dalam, dari sejumlah kategori kekerasan di atas berkaitan erat dengan
gender.
Biar
pun APIK, atau Undang-Undang Perlindungan Perempuan ada, tapi realitanya masih
banyak kedudukan perempuan dan laki-laki belum setara dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik, pendidikan, budaya, bahkan agama. Misalnya, dalam agama Islam
kenapa berang jika perempuan tidak tertutup, tapi banyak yang diam bila
laki-laki tidak menjaga pandangan?
Ladang Basah Penulis
Permasalahan keberagaman gender
semakin hari, semakin ramai diperbincangkan. Apalagi bila akan dikaitkan dengan
budaya. Padahal sebetulnya apapun fenomena gender yang terjadi tersebut memang
sudah membudaya. Meskipun sebenarnya budaya tersebut masih bisa ditinjau ulang,
tanpa harus mengobrak-abrik kerukunan antar sesama.
Persoalan
ini telah dibahas diberbagai kalangan, baik oleh para politikus, budayawan,
sastrawan, dan pegiat komunitas yang akrab dengan gender atau seksualitas. Kita
lihat dari segi sastrawan, bahkan ratusan karya sastra tentang gender sudah
diterbitkan oleh beberapa sastrawan ternama. Tak jarang sastrawan pun saling
sikut dalam karyanya, bukan hanya antara penulis laki-laki dengan penulis
perempuan, tetapi juga sesama penulis laki-laki, atau sebaliknya diberbagai
suku.
Misalnya
Layar Terkembang (S.T.
Alisyahbana), Siti Nurbaya (Marah
Rusli), Negeri Perempuan dan
Orang Belanti (Wisran
Hadi), Gerhana dan
Saraswati (A.A
Navis), Bako (Darman
Moenir), Merantau ke Deli
(Hamka), Belenggu
(Armijn Pane), Gadis Pantai
dan Bumi Manusia
(Pramoedya Ananta Toer), Sri
Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam), Pengakuan Pariyem (Linus
Suryadi), Ronggeng Dukuh
Paruk; Catatan
Buat Emak, Lintang
Kemukus Dini Hari, dan Jantera
Bianglala (Ahmad Tohari).
Selanjutnya,
Perempuan Berkalung Sorban (Abidah
El Khalieqy), Burung-burung
Manyar (YB Manguwijaya), Sukreni
Gadis Bali (A.A Panji Tisna), Cantik
itu Luka (Eka Kurniawan), Tempurung
(Oka Rusmini) Pada
Sebuah Kapal (Nh. Dini), Saman
(Ayu Utami), Raumanen
(Marianne Katoppo), serta Karmila
dan Badai Pasti Berlalu
(Marga T), serta di Minangkabau dalam naskah kaba
Cindua Mato, Anggun Nan
Tongga, Sabai Nan Aluih, Malin Deman, dan kaba lainnya.
Terbukti
isu-isu keberagaman gender, dan seksualitas telah menjadi inspirasi penulis
Indonesia. Karya-karya pernulis itu mayoritas menyoroti ketidakadilan,
deskriminasi, marginalisasi, kekerasan, dan perlawanan perempuan terhadap
laki-laki. Tentu karya ini lahir karena adanya budaya yang demikian, yang
mencerminkan masyarakat di Indonesia.
Semua
karya sastra yang membicarakan tentang perempuan, dengan berbagai motif, latar,
budaya, dan permasalahan. Jadi tidaklah benar, jika permasalahan gender akibat
sistem patriarki. Daerah Minangkabau yang menganut sistem matriarki pun
terlibat dengan berbagai realita gembar-gembor isu gender selama ini. Padahal,
bila saja tidak diusik sebenarnya tidak ada masalah.
Tentu
isu gender ini menjadi ladang subur bagi penulis atau sastrawan, termasuk di
Indonesia. Selain menyuarakan hak-hak perempuan, penulis sebenarnya juga
memiliki misi dalam aspek ekonomis. Hal ini karena isu-isu serupa ini menjadi
barang yang sangat laris di pasaran. Bukan hanya mengeluarkan kata-kata hasrat
cinta dua jenis manusia, tapi juga ada esensi lika-liku keperempuan yang dijual
di dalamnya.
Dari
sekian banyak buku-buku laris tentang gender, yang menimpa perempuan, sebegitu
banyak pula telah dilakukan penelitian dan kajian ilmiah oleh para cendikiawan,
serta pelaku pendidikan. Hasil akhirnya, hanya sebatas itu. Kasus keberagaman
hanya menjadi menu empuk yang disajikan penulis. Kita, hanya membaca yang patut
direnungkan, di atas pelukan semesta.*
0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !