Harus Gotong-royong Merevolusi Pendidikan Anak


WAHYUKU- Di beberapa pemberitaan, bahkan seminar-seminar dan diskusi ilmiah, pemerintah terus berulang-kali mengatakan tahun 2030 Indonesia akan mengalami bonus demografi. Artinya penduduk Indonesia akan diisi oleh 60 persen usia produktif, inovatif, dan kaum intelektual.

Perkiraan ini dibuktikan dengan banyaknya remaja saat ini yang menempuh pendidikan, berprestasi, sekaligus juga menggeluti entrepreneur. Tentu hal ini juga efek positif teknologi, sehingga bisa dimanfaatkan untuk menambah ilmu wawasan, memperluas jaringan diberbagai belahan dunia, sekaligus juga cara mempermudah meng-upgrade ilmu pengetahuan.

Berita baik ini tentu memberi nuansa positif bagi masyarakat, terutama bagi kaum kaula muda di negeri ini. Di sisi lain juga memberi angin segar bagi para elit pemerintah, karena akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan masa depan bangsa ini lebih maju ke depannya. Kita sebagai masyarakat awam pun ikut merasa lega, jikalau seperti itu adanya.

Namun dengan hembusan angin segar itu, kita juga jangan lupa bahwa saat ini setiap hari kita disuguhkan dengan berbagai pemberitaan dengan berbagai kegaduhan, kriminal, dan kejahatan. Baik pemerkosaan, penggunaan obat terlarang seperti narkoba, shabu, ekstasi, lem, dan berbagai kenakalan remaja.

Melihat fenomena tersebut, kondisi anak-anak saat ini, termasuk remaja dan dewasa, bahkan sungguh memperihatinkan. Cikal-bakal masa depan bangsa yang digadang-gadangkan selama ini sedang mengalami krisis moral. Bukan hanya dialami anak-anak remaja, tetapi juga merambah dalam kehidupan orang dewasa.

Lahirnya zaman milineal, anak-anak pada usia belajar mulai kehilangn fokus dan konsentrasi akibat pengaruh teknologi yang serba canggih dan modern. Benar adanya, teknologi ibarat pisau bermata dua. Teknologi bisa bermanfaat jika dikelola dengan baik, sebaliknya jika salah dalam penggunaanya perlahan-lahan akan memenggal kehidupan penggunanya.

Kondisi penggunaan teknologi saat ini, justru masih banyaknya anak-anak usia sekolah yang menjadi korban keganasan era modern. Hal ini tentu karena banyak anak-anak yang dipaksakan untuk masuk dalam dunia teknologi, yang seharusnya belum pantas mereka jalani. Anak-anak dipaksa cepat dewasa, namun justru itu juga jalan memaksa mereka cepat binasa.

Pengaruh era modern, dan teknologi ini bukan hanya menghilangkan fokus dan konsentrasi pada otak anak, tetapi juga akan berefek pada perlakuan negatif lainnya. Setiap tahun kasus kejahatan selalu mengalami peningkatan. Sesuai data dari catatan Polda Metro Jaya, di tahun 2016 kasus yang paling menonjol ialah penggunaan narkotika yang meningkat 19,62 persen, dan kenakalan remaja meningkat 400 persen dari tahun sebelumnya.

Akhir-akhir ini kasus kenakalan remaja berbagai bentuk, seperti tawuran dan perkelahian, baik anak sekolah atau geng motor, bullying, pencurian, seks bebas, bahkan pemakaian narkotika menjadi masalah krusial. Akibat kejadian ini banyak diantaranya anak-anak putus atau dikeluarkan dari sekolah, hidup ditahanan, bahkan mengalami kematian yang mengenaskan.

Pada Juli 2014 lalu, 13 siswa SMA Negeri 70 Jakarta dikeluarkan dari sekolah akibat melakukan perbuatan bullying pada juniornya. Kemudian September 2015 seorang siswa SDN 07 Pagi Keboran Lama meninggal karena kekerasan temannya. Selanjutnya berbagai kasus bullying, seperti di SMPN 4 Binjai Sumatera Utara, SMA Seruni Don Bosco, dan bebagai kasus lainnya.

Jika melihat kondisi ini, bagaimana nasib bonus demografi yang selama ini dinanti-nantikan? Baiklah jika bonus demografi yang akan menghadirkan usia produktif itu benar adanya. Namun, disaat itu pula bisa jadi masa depan bangsa ini juga akan kehilangan sosok manusia yang seutuhnya, akibat pengaruh hidup modern dan gaya hidup.

Bukan tidak mungkin, para remaja, serta pemuda yang sudah merasa mampu segalanya, dan serba bisa, tidak mengenal lagi manusia di sekelilingnya. Ibarat kehidupan kota yang jadi olokan orang-orang kampung, “elo-elo, gue-gue”, sebagai simbol individualis. Semua sibuk dengan gadget, smartphone, dunia kerja, atau nge-game di warnet.

Tidak ada lagi sopan-santun, hilangnya budaya tolong-menolong, dan tidak akan pernah lagi komunikasi satu dengan yang lain. Semuanya akan menjadi manusia super atau robot, ibarat benda mati yang bergerak. Lingkungan hidup menjadi sangat asing, bahkan tidak ada lagi makan malam di meja makan bersama keluarga. Disitulah, pendidikan sudah salah arah.


Sebelum hal itu terjadi, sudah saatnya perlu merevolusi pendidikan anak. Agar bisa meluruskan pemikiran bengkok, ke perilaku yang lurus. Adapun caranya dengan mengikrarkan kesepahaman dalam perilaku berbagai elemen, baik orangtua, guru, masyarakat, dan pemerintah. Ingat, bukan anak yang salah jalan, tapi kepedulian dan didikan orangtua salah arah.*  

0 Comments