Mendidik Secara Terdidik di Era Digital


WAHYUKU- Saat ini begitu banyak orangtua belum mampu mendidik, atau mengayomi anaknya secara tidak terdidik. Terbukti Indonesia termasuk pengguna media sosial terbesar di dunia. Dengan pengguna media sosial terbesar, masyarakat di negeri ini, mulai dari anak-anak, hingga orangtua sudah memiliki akun media sosial.


Adanya akun media sosial ini, orangtua tidak lagi mampu membendung atau mengontrol dirinya sendiri, apalagi mengontrol anaknya sendiri. Beragam bentuk “kepolosan” orangtua di media sosial, secara tidak langsung mengajar anaknya secara tidak mendidik. Mulai dari foto-foto pribadi berserakan, hingga tulisan status dan curhatan pribadi di media sosial bisa diakses dengan mudah.

Mirisnya lagi, banyak orangtua yang bangga melakukan hal itu semua, demi life style dan eksis di dunia maya, miskipun di dunia nyata sebenarnya hidupnya mengkhawatirkan. Bagaimana orangtua akan menegur anaknya, dan marah pada anaknya bila salah menggunakan teknologi (sosial media), sedangkan orangtua sendiri pelakunya.

Selain itu, banyak orangtua bangga mengekspos kehidupan pribadinya di media sosial, mulai dari pacaran, menikah, mengandung, melahirkan, sampai anaknya remaja. Tidak tanggung-tanggung, anaknya juga sudah memiliki akun media sosial ketika sejak lahir, dan akun itu dibuat sendiri oleh orangtuanya.

Bayangkan, sejak lahir saja orangtua sudah menyuguhkan dunia yang belum patut untuk anaknya. Bagaimana orangtua akan mengontrol anaknya, apalagi anaknya diculik orang, padahal orangtuanya sendiri yang “menjual” anaknya secara tidak langsung di internet. Bila anaknya besar, bagaimana nasib anak-anaknya? Sebab ajaran orangtuanya memang demikian, untuk menjadi eksis, bukan menjadi anak yang pintar, beragama, dan berguna.

Dari berbagai fenomena hidup saat ini, sudah saatnya orangtua merevolusi mentalnya sendiri, sekaligus untuk merevolusi anaknya agar hidup, dan bisa terdidik dengan baik. Salah satu caranya, tidak lain ialah dengan cara menjauhi anak-anak dengan segala yang tidak patut dikonsumsi, termasuk internet, gadget, smartphone, dan televisi yang berlebihan.

Orangtua harus memberi ruang dan waktu agar selalu berkomunikasi dengan anak-anaknya, bukan memberi sisa waktu. Misalnya pulang kerja, atau disela-sela aktivitas di rumah, sempatkan mengobrol dengan anak, agar orangtua tahu apa kemauan anak. Selain itu, ketika hari libur, gunakankan kesempatan libur untuk bisa menemani anak-anak bermain, belajar, atau liburan.

Biarkan anak-anak menikmati masa kanak-kanaknya. Biarkan anak-anak bisa berlarian dan bergumul lumpur di ladang, atau bermain hujan di tanah lapang, daripada membiarkan anak bermain dengan bernilai uang. Jika anak telah memasuki usia remaja hingga dewasa, biarkan ia mengikuti nalurinya untuk menggapai cita-cita, tetapi tetap selalu dalam kontrol orangtua sampai menutup mata.

Ibarat pepatah lama, tuntutlah ilmu dari buayan hingga ke liang lahat. Begitu pula hendaknya tugas orangtua dalam mendidik anak. Hal ini karena mendidik anak itu tanpa batasan, dan tiada ending-nya. Sejak anak lahir, hingga anak mempunyai anak, atau beruban, masih ada tugas orangtua dalam mendidiknya selama masih hidup. Makanya antara istri dan suami harus bisa membagi waktu, dan bekerjasama (gotong-royong) dalam mendidik anak-anaknya.

Mungkin, ketika kecil mendidik anak tentang sikap agar patuh pada orangtua, mengajar menghitung atau membaca, dan pendidikan sederhana lainnya. Tetapi setelah dewasa, tentu mendidiknya pun secara dewasa. Misalnya saja mengajar dan menasihati anak perempuan agar bisa memasak, atau agar patuh pada suami. Sebaliknya untuk anak laki-laki, menasihati anaknya yang sudah berkeluarga menjadi ayah yang baik, dan lainnya.

Tetapi ingat, jangan pernah anak terlalu dikekang. Biarkan akan berjalan dalam koridornya masing-masing. Selagi itu baik dan benar, orangtua harus tetap memberi dukungan dan penguatan, terutama doa. Jangan biarkan anak larut hingga ia tenggelam, atau pecah berdera-derai tanpa pengetahuan. Sebab, anak merupakan aset amal jariyah bagi orangtuanya kelak.


Maka didiklah anak dengan ilmu, bukan dalam kehidupan semu. Ciptakanlah generasi lebih baik, dengan segala didikan yang “teratik”, agar kehidupan masa depan anak menjadi lebih “apik”. Mari revolusi diri, agar bonus demografi kita hadapi dengan hati penuh hati-hati, dan berarti, demi kecintaan pada negeri. Semoga. *

0 Comments