TERKA- Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), hingga September 2016 jumlah penduduk miskin di Indonesia
mencapai 27,76 juta orang. Tercatat 10,49 juta orang di perkotaan, dan 17,28
juta orang kemiskinan di pedesaan. Sebaliknya, perolehan Tax Amnesti mencapai
Rp2.812 triliun.
Pajak merupakan bagian terpenting dari denyut nadi
perekonomian dan pembangunan suatu negara, sehingga ada tanggungjawab yang
besar dalam pengelolaannya. Tercatat sekitar 70 persen dari seluruh penerimaan
negara berasal dari pajak. Posisi pajak sangat vital dalam suatu negara, sebab
bisa memakmurkan rakyat dan dapat membiayai belanja rumah tangga negara,
termasuk yang berlaku di Indonesia.
Pajak merupakan kontribusi Wajib Pajak (WP) kepada negara,
baik Orang Pribadi (OP), atau Badan Usaha (BU). Semua itu dilakukan agar
pembangunan nasional bisa berlangsung secara terus-menerus dan
berkesinambungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil
atau spiritual. Semuanya direalisasikan berdasarkan fungsi pajak sebagai suatu
anggaran (budgetair),
mengatur (regulerend),
stabilitas, dan retrebusi pendapatan.
Berpijak dari data BPS di atas tersebut, seberapa pun
besarnya pemasukan yang didapatkan negara dari hasil perpajakan, masih saja
belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga negara secara maksimal. Kendalanya
selama ini terlihat pemerintah terlalu mengandalkan pajak untuk pembangunan.
Padahal banyak sektor lain yang harus ditingkatkan. Misalnya peningkatan
pendapatan melalui perekonomian, melalui ekspor-impor, dan sumber lainnya yang
bisa dijadikan sumber pendapatan negara.
Pemerintah selalu mengkampanyekan pajak, namun terbukti,
kesenjangan antara masyarakat miskin dan kaya, masih ibarat langit dengan bumi.
Kesejahteraan tidak akan pernah merata, tapi kemiskinan bisa saja merata.
Padahal seutuhnya pemungutan pajak, seutuhnya untuk kemakmuran rakyat.
Begitulah pentingnya pajak yang semsetinya. Langkah untuk meningkatkan pendapat
negara, pajak diwajibkan dan sekaligus hak bagi setiap warga negara.
Adanya pajak yang dibebankan bagi setiap warga negara,
berarti setiap warga negara Indonesia berpartisipasi atau berperan dalam
pembiayaan dan pembangunan negaranya. Meskipun begitu banyak pendapatan negara
dari pajak, tapi pembangunan sampai saat ini belum juga merata. Sebaliknya,
Maret 2017 hutang Indonesia saja sudah mencapai Rp3.649,75 triliun, dengan
hutang bunganya Rp32,77 triliun. Artinya setiap penduduk Indonesia menanggung
utang negara kira-kira sampai Rp 13 juta.
Diakui memang berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah dalam
pengelolaan pajak, salah satunya program Tax
Amnesti (pengampunan pajak), yang diakhiri 31 Maret 2017. Terhitung
September 2016 silam program Tax
Amnesti pernah tercatat sebagai raihan terbesar sepanjang sejarah
dunia dengan perolehan bisa mencapai Rp2.612 triliun, serta mampu mematahkan
program amnesti pajak Italia yang hanya Rp1.179 triliun.
Pasalnya meskipun begitu, Tax
Amnesti masih jauh dari harapan sebelumnya. Program Tax Amnesti bahkan dinilai
belum berhasil, karena pemerintah belum mampu “merayu” warga negara Indonesia
(WNI) yang punya harta, atau uang di luar negeri untuk ditarik ke Indonesia.
Informasi hariankontan.com jumlah
harta yang sudah dihimpun Tax
Amnesti oleh pemerintah ke dalam negeri baru berkisar 5,1% (Rp128
triliun) saja. Tentunya ada banyak hal lagi yang harus dibenahi pemerintah
mengelola pajak ini dengan baik.
Tentu harapan ke depannya, pemerintah harus membenahi sistem
perpajakan yang lebih berkeadilan, dengan perluasan basis data yeng lebih
valid, komprehensif, serta berintegritas. Setidaknya, Tax Amnesti sudah mampu
memberi warna baru untuk sistem perpajakan di Indonesia. Namun adapun berbagai
kelemahan, dan kekurangan Tax
Amnesti ini harus ditinjau secara seksama.
Jika sistemnya memadai, datanya jelas, pelaksanaannya
sudah maksimal, tapi hasilnya jauh dari harapan, berarti ada yang keliru, dan
harus dilakukan pembaharuan. Artinya masih banyak yang harus diperbaharui, dan
diremajakan kembali sistem kelola perpajakan tersebut, dengan harapan
melahirkan rasio pajak yang meningkat, efisien, dan lebih efektif.
Reformasi, Why Not?
Salah satu motivasi
sistem pemajakan di negara berkembang, termasuk Indonesia ialah untuk mencukupi
dana pembiayaan administrasi dan penyediaan barang publik serta sosial. Apabila
ketidakcukupan pada penerimaan (insufficient
revenue) yang berkelanjutan dapat menjadi alasan perlunya reformasi
terhadap sistem pajak yang kurang terdesain dengan tepat atau kurang berfungsi
efektif dan efisien.
Sepanjang sejarah, pemerintah Indonesia sudah pernah
melakukan reformasi perpajakan (Tax
Reform) sejak
tahun 1983, 1994, 1997, 2000, 2007, sampai 2008. Artinya UU perpajakan di
negeri ini sudah “diobrak-abrik” sebanyak enam kali. Berbagai perubahan terus
dilakukan demi untuk penyempurnaan, sekaligus untuk peningkatakan rasio pajak.
Melalui Tax Reform ini
lahir istilah Wajib Pajak (WP), menghitung, memperhitungkan, membayar, serta
melaporkan sendiri pajak terutang.
Kemudian Tax
Reform juga berhasil melahirkan konsep Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) untuk menggantikan konsep UU Pajak Penjualan (PPn) tahun 1951. Tujuan
utama adanya reformasi perpajakan ini untuk menegakkan kemandirian dalam
membiayai pembangunan nasional. Melalui reformasi perpajakan ini sistem pajak
yang berlaku sebelumnya lebih disederhanakan, namun ketentuannya lebih tegas,
dan jelas.
Sebelumnya dengan adanya reformasi perpajakan telah berhasil
membawa Tax Administrative
Reform dengan kebijakan Tax
Policy Reform, yaitu lahirnya undang-undang perpajakan, pembentukan
dan perluasan kantor pelayanan pajak, pembentukan struktur organisasi
berdasarkan fungsi, pengembangan basis data dan layanan online, perbaikan
manajemen pemeriksaan, hingga peningkatan efektifitas penerapan kode etik bagi
pegawai DJP, serta berhasil meningkatkan peran masyarakat.
Tentu masih banyak yang harus dibenahi, terutama dalam
meningkatkan rasio pajak, sekaligus meningkatkan kepatuhan WP. Tax Amnesty memang dinilai
kurang sukses, tapi setidaknya Tax
Amnesty sudah bisa dijadikan sebagai gerbang awal untuk menuju Tax Reform (reformasi
perpajakan) secara menyeluruh. Tax
Reform dilakukan untuk memperharui yang lama, atau mengganti yang
rusak, bahkan bisa menetapkan “barang” baru.
Apabila Tax
Amnesti tidak mampu memenuhi target sesuai yang diharapkan,
meskipun sudah merasa dilakukan maksimal, tandanya perpajakan perlu diperharui.
Dengan adanya Tax Reform ini
mampu menyederhanakan peraturan perpajakan yang rumit, tapi tegas, kuat dan
lebih transparan. Tentu saja dengan membangun kepercayaan antar aparat pajak,
antar WP, dan didukung dengan sistem teknologi informasi yang memadai.
Membangun Trust
Pada tahun 2016
sebanyak 32 WP yang terdaftar hanya menyerahkan SPT 12 juta, atau hanya 63
persen, yang seharusnya 20 juta. Kenyataan ini dinilai sangat kurang baik jika
dibandingkan dengan negara lain yang bisa mencapai 75-80 persen. Tentu ini ada
sebab, terutama mulai berkurangnya suatu tingkat kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah dalam pengelolaan pajak.
Padahal sebenarnya masyarakat bukan hanya sebagai rakyat,
apalagi pemilik usaha, semuanya merupakan mitranya pemerintah. Ibarat berbisni
antara kedua belah pihak, harus membangun trust
masing-masing agar tidak ada rasa curiga. Apalagi ini menyangkut
pajak, pemerintah harus menunjukkan trust
kepada mitranya (WP), agar bisa lebih mendorong kesadaran WP dalam menunaikan
kewajibannya.
Selama ini yang banyak terjadi, bahwa penerimaan pajak belum
sesuai harapan disebabkan tingkat kepatuhan WP yang masih rendah. Tentu
penyebab utamanya WP semakin tidak percaya akibat banyaknya muncul
“gayus-gayus” baru. Akhir-akhir ini yang sering jadi perbincangan, Handang
Soekarno, Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Penegakan Hukum Ditjen Pajak
diringkus karena suap Rp1,99 miliar.
Sebelumnya, beberapa petinggi pajak, Gayus Tambunan, Dhana
Widyatmika, Bahasyim Assifie, Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto,
Tommy Hendratno, Pargono Riyadi, Herry Setiadji, Indrato Catur Nugroho, dan
Slamet Riyana, serta beberapa lainnya terlilit kasus yang merugikan negara,
baik karena korupsi atau suap.
Bila bercermin dari berbagai kasus-kasus tersebut, jelas ada
ketidakberesan dalam mengurus pajak oleh lembaga Direktorat Jenderal Pajak
(DJP). Terkesan DJP merupakan ladang yang subur bagi oknum-oknum pelaku
kecurangan, baik korupsi maupun suap. Banyak yang memperkaya diri sendiri,
sementara rakyat menderita, dan pembangunan semakin tidak merata, dan
kesenjangan ekonomi kian terasa.
Berawal dari sini pula, pemerintah harus bisa menggandeng
semua aspek untuk membangun trust
ini dengan baik. Memulai sikap percaya ini terutama berlaku antar
petugas perpajakan, kemudian trust
antar petugas perpajakan dengan WP. Membangun trust memang tidak
gampang, tapi apabila dilakukan dengan niat baik, jujur, dan lebih transparan,
tentu trust ini
akan terbentuk lebih mudah.
Sesuai juga dengan pernyataan oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia, Sri Mulyani Oktober 2016 yang lalu, dua hal penting terkait Tax Reform yaitu institusi
pajak, dan Sumber Daya Manusia (SDM) nya. Artinya, masih banyak yang harus
dibenahi terkait institusi perpajakan itu sendiri, baik DJP, kelembagaan,
manajemen, dan kinerja harus selalu di-upgrade,
sehingga lembaga pajak benar-benar lebih efektif, serta kredibel untuk lebih
dihormati masyarakat.
Berdasarkan itu pula, dengan adanya Tax Reform diharapkan bisa
membangun dan memperbaharui berbagai aspek. Bukan hanya memperharui aspek fisik
pajaknya, manajemen, pengelolaan, dan sistemnya, tapi jauh lebih penting juga
untuk membangun manusia di lingkungan perpajakan itu sendiri. Lebih dari itu,
sekaligus juga membangun manusianya sebagai WP, yang terpercaya, jujur, dan
mandiri. Tiada lain, apabila saja manusianya sudah dibenahi dengan baik, tentu
rasio pajak yang diharapakan akan bisa lebih meningkat pula.
Membangun manusianya yang dimaksud ialah, dengan
mempermanenkan UU tentang “ancaman” atas penyelewengan dana pajak. UU yang
dibuat, betul-betul harus bisa memberi “ancaman” bagi pelaku suap, korupsi,
baik untuk pihak di lingkungan DJP, maupun WP itu sendiri. Bila nanti Tax Reform memang
mengharuskan adanya UU ancaman tersebut, diharapkan bukan hanya sekedar UU
saja, tapi harus menunjukkan fungsi pajak terealisasi dengan baik, demi
pembangunan yang merata.
Selama ini, tentu sudah ada UU tentang semua ini, tapi
nyatanya “gayus” selalu ada dan muncul dengan berbagai rupa. Hal ini tentu,
jangan sampai masyarakat benar-benar tidak percaya lagi kepada pemerintah
terkait pajak, sebab masyarakat belum lah begitu merasa efeknya dari
perpajakan. Namun di lain sisi, hasil dari perpajakan ini bisa dirasakan oleh
kalangan tertentu saja.
Perlunya Tax
Reform diharapkan bukan hanya untuk meningkatkan rasio pajak, namun
juga mengurangi kecurangan untuk orang di lingkungan DJP itu sendiri.
Pembaharuan perpajakan bukan hanya kiat menghimpun dana pajak, tapi juga kiat
menjaga sekaligus merealisaikan dana pajak tersebut benar-benar untuk
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Sesuai UU, bahwa
pajak ialah untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat.
Istilah, Tax
Reform ini sebagai langkah membangun kekuatan dari semua sisi, agar
kekuatan perpajakan benar-benar menjadi super hero dalam membangun, bukan hanya
meningkatkan rasio pajak, manusianya, tapi juga jalan mempersatukan semua
aspek, baik sebagai orang pajak, atau sebagai masyarakat WP. Alangkah
harmoninya berbagai pembangun di Indonesia, jika saja semua orang tahu posisi,
fungsi, hak, kewajiban, dan kelemahan, serta kemampuannya masing-masing.
Jalan mencapai itu semua, dengan membenahi SDM, manajemen,
mutu pelayanan dan meningkatkan kinerja, serta didukung oleh sistem teknologi
dan informasi yang memadai. Apabila SDM dan manajemen semakin jujur dan
mumpuni, maka akan sangat mudah mengoperasi sistem informasi dan teknologi
dengan baik, penyajian data akan baik, sehingga mutu pelayanan juga menjadi
lebih baik.
Efeknya, secara otomatis kinerja juga akan berdampak pada
naiknya rasio pajak. Tentu Tax
Reform ini tujuan sebenarnya untuk mewujudkan komitmen, dan kerja
keras, sehingga institusi perpajakan semakin berwibawa, kuat, kredibel, dan
akuntabel. Bila semuanya bisa sejalan, tidak akan ada lagi kecurigaan antar
petugas pajak, dan WP dengan petugas pajak atau pemerintah. Asal satu tujuan,
membangun fisik negara secara merata, dan membangun manusianya sepenuh jiwa. * (Nominasi Penulisan
Artikel Jurnalistik Dirjen Pajak RI 2017)
0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !