UU-BPOM Perlu untuk Perkuat Kinerja


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kese­hatan merupakan salah satu unsur utama dalam kehidupan manusia, sekaligus juga mem­bawa bentuk dan fungsi tersendiri dalam tatanan sosial. Sehat dalam definisi World Health Organization (WHO, 1947) mengarahkan pada tiga hal, yakni baik fisik, mental, dan sosial.

Kehidupan dan penyakit tidak akan pernah terpisahkan, meskipun zaman, waktu, dan teknologi terus berkembang. Namun manusia bisa meminimalisir, sekaligus mencegah terjadinya pe­nyakit. Dalam upaya menuju bangsa yang sehat, kita harus mampu meng­kombinasi konsep kesehatan dan keberagaman nilai kebudayaan sosial.

Pengaruh sosial sangat penting dalam menuju Indonesia sehat, sekaligus juga akan berpengaruh dalam penyakit sosial. Makanya ada beberapa program dalam membentuk Indonesia sehat, berdasarkan Depkes (2003), yakni (1) lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat, (2) upaya kesehatan, (3) perbaikan gizi masyarakat, (4) sumber daya kesehatan, (5) obat, makanan, dan bahan berba­haya, serta (6) kebijakan dan manaje­men pembangunan kesehatan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional (RPJPN) sebagai jabaran dari dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni salah satunya ialah melindungi segenap bangsa Indonesia. Secara implisit maknanya juga melindungi dari segi kesehatan bagi warganya.

Keadaan masyarakat Indonesia akan datang, visi pembangunan kesehatan dalam rumusan “Indonesia Sehat 2025”, diharapkan lingkungan yang strategis, kondusif, demi ter­wujud­nya keadaan sehat jasmani, rohani, maupun sosial, yakni bebas dari segala kerawanan yang bisa berdampak pada penyebaran penyakit, termasuk penggunaan obat-obatan.

Perilaku masyarakat menuju Indo­nesia Sehat 2025, yakni perilaku bersifat proaktif memelihara, dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, sadar hukum, aktif dalam gerakan kesehatan, serta menyelanggarakan masyarakat sehat dan aman (safe community).

Selain itu, banyak ahli “meramalkan” bahwa tahun 2045 Indonesia mengalami bonus demografi. Indonesia akan menjadi negara yang menempati posisi ke-4 dengan ekonomi terbesar di dunia, sekaligus memiliki generasi muda yang kreatif, inovatif, dan berjiwa sehat.

Sayangnya, sepanjang tahun 2016 terdapat 13 kasus keracunan dengan jumlah korban 548 orang. Sejak awal tahun 2017 hingga April, Badan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Padang, menemukan 5 kasus keracunan pangan, dengan total korban 65 orang, dan masuk dalam kategori Kejadian Luar Biasa (KLB) di wilayah Sumatera Barat (Sumbar). 

Selanjutnya diakhir 2017, Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar dan BBPOM Padang mengamankan 195 karung (3.900 kilogram) mie instan kedaluwarsa, di PT Padang Distribusindo Raya (PDR) Lubuk Begalung Padang.

Kemudian, Oktober 2017 BBPOM Padang telah menangani sebanyak 37 kasus penyalahgunaan obat dan makanan. Temuan ini atas pengaduan masyarakat terkait maraknya penya­lahgunaan obat, beredarnya obat palsu dan ilegal.

Beberapa kasus di atas merupakan akibat ketidaktegasan BPOM dalam bertindak. Salah satunya karena tidak ada Undang-Undang BPOM yang jelas terkait pengawasan obat dan makanan. Akibatnya kasus-kasus penyalah­gunaan obat, produk ilegal, dan makanan kadaluwarsa akan terus ada, jika tidak ditangani secara tegas dan cepat.

Ketegasan Kinerja
Ketidaktegasan BPOM dalam bertindak ini bukan tanpa alasan, tapi karena belum adanya hukum yang menyatakan secara tegas khusus untuk BPOM. Salah satu untuk mewujudkan penindakan penyalahgunaan obat dan makanan ini, BPOM perlu adanya UU-BPOM khusus pengawasan obat dan makanan.

Perlunya penguatan BPOM melalui UU ini juga setelah salah satu isu yang paling hangat diungkapkan Kepolisian RI mengenai jaringan vaksin palsu. Banyak yang menilai bahwa lolosnya vaksin palsu dibanyak fasilitas kesehatan atau rumah sakit disebabkan peran BPOM tidak maksimal.

Banyak kalangan berpendapat akar “mandul”nya peran BPOM selama ini karena peraturan yang dibuat oleh Menteri Kesehatan, yakni Permenkes No.35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Kemudian Permenkes 30/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, dan Permenkes 58/2014 tentang Standar Pelayanan Kefar­masian di Rumah Sakit.

Ketiga peraturan itu mencabut kewenangan yang semula dimiliki BPOM, hasilnya fungsi perlindungan konsumen dalam wilayah kerja BPOM tidak maksimal, akhirnya dinilai “mandul”. Isu penguatan BPOM ini menjadi persoalan serius, selain karena sudah banyak jatuh korban peredaran vaksin palsu, obat palsu, produk ilegal, dan makanan kadaluwarsa.

Selain itu, BPOM dinilai lemah karena belum ada UU, meskipun sebelumnya sudah ada dua kebijakan (bledeid), yakni Inpres No.3/2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan, serta Perpres No.80/2017 tentang BPOM. Tentu dua kebijakan ini bisa membantu kinerja BPOM, hanya saja dinilai belum lengkap.

“Kita bersyukur adanya dua kebijakan terkait BPOM, hanya saja Inpres dan Perpres itu belum lengkap. BPOM selama ini tumpang-tindih karena menopang UU dari Dinas Kesehatan (Dinkes). Kita berharap UU-BPOM bisa goal tahun ini, biar bisa lebih tegas dan memperkuat kinerja BPOM ke depan,” kata Kepala BB­POM Padang, Martin Suhendri, saat ditemui Metrans, Rabu (31/1) yang lalu.

Apabila UU-BPOM bisa goal, tentu kinerja BPOM melayani dan melindungi masyarakat (konsumen) semakin kuat, yakni mewujudkan generasi Indonesia Sehat 2025. Salah satu bentuk program Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA). Tujuannya juga untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap keamanan obat dan pangan sebelum diedar dan konsumsi.

Dalam penuturan Kepala BBPOM Padang, bahwa selama ini kasus yang ditangani didominasi oleh obat keras dan ilegal, kosmetik ilegal dan berba­haya, dan makanan yang mengandung zat berbaya serta kadaluarsa. Dalam penjelasannya, pihaknya melakukan adanya penyalahgunaan obat dan makanan berbahaya karena adanya laporan dari masyarakat.

Kepala BPOM Pusat, Penny Lukito juga menyambut sangat baik wacana untuk memperkuat kinerja BPOM dengan dibentuknya UU, sehingga penga­wasan bisa lebih intensif. Ia menilai UU-BPOM akan menjadi regulasi sebagai rujukan kinerja BPOM dalam mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan.

“Kita harap segera bergulirnya UU-BPOM yang menjadi payung regulasi BPOM akan semakin kokoh melindungi masyarakat, apalagi untuk menuju Indonesia Sehat 2025,” ujarnya.

Pelanggaran hukum tentang obat dan makanan sudah jelas merupakan kejahatan kemanusiaan, sebab me­nyangkut perkara penting serta berdampak langsung pada ketahanan bangsa, menyangkut aspek kesehatan, jiwa manusia, sosial, ekonomi, dan produktivitas bangsa.

Hendaknya dengan adanya UU-BPOM, kinerja BPOM lebih gesit, cepat, dan bisa bertindak tersendiri layaknya kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN), tanpa harus ada laporan dari masyarakat sekalipun. BPOM bisa rutin melakukan penge­cekan, pemeriksaan, dan pengawasan terkait obat dan makanan kapanpun tanpa dikomandoi instansi lain terlebih dahulu, meskipun tetap harus kerja sama.

Harapannya, dengan adanya UU-BPOM masyarakat tidak lagi resah, karena obat dan makanan akan terjamin dari produk ilegal, palsu, dan kadaluwarsa. Tentu BPOM memang harus berkomitmen memberantas segala tindakan yang bisa membahayakan kesehatan, termasuk dengan banyak produk Asing yang masuk ke Indonesia.

Komitmen ini untuk menuju Indonesia Sehat 2025 sesuai GNPOPA bisa tercapai. Apabila seluruh warga Indonesia sehat, otomatis jiwanya juga kuat, pemikirannya juga cerdas. Jadi salam menyambut bonus demografi, Indonesia benar-benar siap untuk menjadi bangsa dan negara maju ke-4 di dunia, sesuai yang diramalkan. Semoga!

0 Comments