Mendidik dengan Cinta



Berhasil atau tidaknya pendidikan seorang anak, sangat ditentukan dari sinergitasi dan penguatan tiga sentra pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam hal ini, selain lembaga pendidikan (sekolah), peranan keluarga dan masyarakat dalam dunia pendidikan sangat penting untuk menentukan masa depan pendidikan anak. Baik secara intelektual, spiritual, maupun emosional.

Selain itu, untuk mencapai keberhasilan pendidikan anak, perlu rasanya untuk menyimak konteks pendidikan formal. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara pernah menyebutkan sekolah dengan istilah “taman”, yang maksudnya sekolah tempat belajar yang menyenangkan. Peserta didik pergi ke taman (sekolah) dengan senang hati, dan berada di taman (belajar) dengan senang hati pula.

Nah, jika ada peserta didik yang tidak senang atau tidak enjoy berada di taman tersebut, tugas utama pendidik ialah membawa suasana menyenangkan agar peserta didik betah, mudah, dan kemudian siswa bisa menerima pendidikan yang diajarkan dengan mudah pula.

Bagaimana jika peserta didik sudah keluar dari taman (sekolah)? Apakah bisa dijamin dia akan menyayangi dan menyiram bunga-bunga seperti halnya di taman? Tentu saja tidak semua, bahkan banyak juga peserta didik yang merusak taman-taman itu sendiri. 

Salah satu contoh bentuk kerjasama keluarga, masyarakat dan pendidikan, bisa dilihat dari Sekolah Alam Minangkabau di Kota Padang Sumatera Barat. Sekolah dari jenjang TK hingga SMP ini didirikan sejak 2006, yang tujuannya memberikan pendidikan untuk semua (education for all). Baik bagi siswa, fasilitator, guru, staf, orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan penuturan Srimutia Elpalina, yang pernah menjabat Kepala Sekolah tingkat SD-Sekolah Lanjutan (SL), Sekolah Alam Minangkabau memberikan metode mengajar yang outdoor. Terutama terkait pengalaman yang lebih dekat dengan siswa, agar siswa lebih memahami kehidupan nyata secara langsung dibanding teori.

“Pelajaran di Sekolah Alam Minangkabau ini tidak ada yang berbeda dibanding sekolah umumnya, hanya metode belajar mengajarnya yang berbeda. Siswa saling bekerjasama, bisa berbagi pengalaman, berani, tegar, dan mandiri,” ulas tamatan Magister Ilmu Seni Budaya UNP saat ditemui.

Menurutnya hadirnya Sekolah Alam Minangkabau merupakan bentuk peran masyarakat dan keluarga untuk pendidikan anak. Pasalnya, dalam penerimaan siswa keluarga siswa diwawancara dan adanya perjanjian kesepakatan untuk sama-sama mendidik generasi masa depan yang berkarakter.

Salah seorang siswa Sekolah Alam Minangkabau, Gita Sarani (14) siswa kelas 3 tingkat lanjutan (SL) merasa senang di sekolah ini. Pasalnya, siswa bebas berekspresi, belajar, dan lebih percaya diri, tanpa ada tekanan dari siapapun. Baginya selama menimba ilmu di Sekolah Alam Minangkabau ini keamanan dan pergaulan semakin terjamin.

“Belajar di Sekolah Alam Minangkabau ini, tidak ada paksaan, siswa bebas berkreativitas dengan belajar sambil bermain. Kita bebas tanpa seragam, dan yang dipelajari sama dengan di sekolah lainnya,” ungkap juara Harapan II FLS2N 2017 lalu ini.

Begitu pula penulis dari Sumatera Barat, Maya Lestari GF, mengatakan pendidikan di Sekolah Alam Minangkabau ini mengajarkan kehidupan nyata bagi siswa. Seperti belajar menabung, berdagang, bersosialisasi, bermain, bekerjasama, dan belajar berani. Pernyataan itu ia sampaikan, sesuai kenyataan yang dialami oleh kedua orang anaknya.

“Anak saya sekolah di sini, sebab di sekolah ini, baik siswa, orangtua, dan sekolah saling bekerjasama dan komitmen untuk mencapai generasi yang unggul. Anak saya berani tampil di hadapan orang banyak, lebih percaya diri, berkarakter, dan langsung bisa merasakan kehidupan nyata,” cerita perempuan dua orang anak ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan tidak bisa dipisahkan, serta harus saling bersinergi dalam pendidikan anak. Sebab keberhasilan pendidikan anak ialah keberhasilan keluarga, sekaligus keberhasilan bangsa.

Sementara dari segi pendidik, sebelum perhelatan Olimpiade Siswa Nasional (OSN) di Padang Juli 2018, Rektor UNP, Ganefri, pernah mengatakan bahwa pendidikan karakter pada abad 21 ini merupakan proses pemberdayaan (empowering) potensi peserta didik, humanisasi (humanizing), dan proses pembudayaan (civilizing).

Mantan Kepala Kopertis Wilayah X ini mengajak para guru atau pendidik untuk mampu meningkatkan kompetensi di era digital, terutama dengan hadirnya Revulosi Industri 4.0 saat ini. Menurutnya apabila guru tidak memiliki kompetensi yang baik, maka peran guru akan mudah digantikan oleh mesin digital dalam mendidik seorang nantinya. *

0 Comments