Hutan, Tentang Belukarmu Aku Rindu



HUTAN, ialah selimut alam. Akar pepohonannya penyangga kehidupan. Dahan dan daunnya peneduh dikala terik, sekaligus atap dalam menikmati rintik hujan. Setiap belukarnya ialah gudang benih tumbuhnya pohon-pohon muda. Mereka berebut sinar matahari demi menguatkan tanah-tanah di kemudian hari.

Dulu, di kampungku hutan-hutan begitu lebat, dan belukarnya demikian kuat. Sejak kecil, aku bisa dikatakan sering hidup dan menjelajahi hutan. Bersama orangtua hidup di ladang yang dikelilingi hutan-hutan rindang. Beragam jenis pohon pun bisa kukenal. Hanya saja waktu itu tidak ada handpone, kamera, atau internet, sehingga tidak bisa diabadikan. Tapi cerita itu masih membekas dan tertanam dalam memori kenangan. 

Pergi dan pulang sekolah melewati hutan sekitar dua sampai tiga kilometer berjalan kaki. Hanya sinar matahari di celah-celah dedaunan sebagai penerang. Setiap pulang sekolah, pergi memancing ikan di anak-anak sungai. Sekali-kali berburu unggas. Ikannya dan unggasnya banyak, serta sangat mudah didapatkan.

Tinggal di ladang yang dikelilingi hutan, sungguh damai dan nyaman, tanpa hiruk-pikuk serta kegaduhan manusia lainnya. Hanya satu yang ditakutkan ketika hidup di dalam hutan waktu itu, adanya harimau. Orangtuaku pernah melihat harimaunya. Kalau babi, kera, monyet, siamang, ular, sudah menjadi pemandangan biasa kalau di hutan.

Waktu itu, setelah Subuh, ketika pergi sekolah aku sering melihat jejak harimau yang masih basah. Mengerikan, takut diterkam dari semak belukar. Selain harimau, tidak ada yang perlu ditakutkan di hutan. Semuanya bersahabat, bahkan sebenarnya harimau pun bisa bersahabat jika keberadaannya tidak digaduh.  

Pada masa itu, semua pohon penghasil buah tidak hentinya berbuah. Apalagi ketika musim buah besar-besaran, semuanya melimpah. Seperti durian, rambutan, lansat, duku, manggis, ambacang, jambu, dan buahan lainnya sangat lebat. Boleh diambil oleh siapa saja. Sebab tidak ada harganya, dan juga tidak boleh diperjualbelikan oleh hukum atau adat kampung.

Setiap sungai dan anak sungai, airnya jernih, ikannya banyak, dan boleh ditangkap oleh siapapun asal tidak punah. Beragam macam sayur-mayur ada, tanpa harus dibeli. Bahkan tidak ditanam pun, sayurnya akan tumbuh sendiri. Ajaib memang, sungguh terbukti lagu “Kolam Susu” Koes Plus waktu itu, tongkat, kayu, dan batu bisa jadi tanaman.

Semua itu cerita di kampungku, Mukomuko Provinsi Bengkulu sekitar 20-an tahun yang lalu. Sungguh jauh berbeda dengan sekarang. Semua hutan hilang dengan sekejap saja. Semak belukar dipangkas dengan beringas. Kemudian ditanami sawit-sawit, dan yang diuntungkan pemilik PT kebun sawit serta pabrik-pabrik.

Pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan kian punah. Semua buah, sayur, ikan, air, tanah, dan nafas mulai diperjual-belikan. Semuanya ditentukan dengan harga. Suasana kampungku tidak senyaman dulu, udaranya sudah panas akibat banyaknya kebun sawit yang mengandung minyak.

Anak-anak sungai sudah menghilang, ditimbun menjadi wadah untuk menanam sawit. Sawah-sawah semakin menyempit, dan kehidupan semakin rumit. Debu-debu mulai terbang menyerang. Semua itu akibat keserakahan membasmi hutan demi harga sesaat.

Jika boleh meminta, aku ingin kehidupan seperti dulu. Hidup berkeliaran di tengah hutan, berburu unggas dan ikan. Memanjat serta berlari-lari menelusuri belukar hutan yang rindang, tapi dengan internet dalam genggaman. Agar aku bisa selalu berkirim kabar pada dunia dan orang terkasih, tentang damainya hutan di kampungku. 

Hutan, sungguh aku rindu segala ketakutan dalam semak belukarmu.*



0 Comments