Situs Tambang Batu Bara Ombilin, Tertua di Asia Tenggara Jadi Warisan Dunia UNESCO


TAMBANG Batubara Ombilin di Kota Sawahlunto (Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto) Sumatra Barat, akhirnya ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO dalam Sidang ICOMOS ke-43 di Gedung Pusat Kongres Baku Azerbaijan.
Tambang Batubara Ombilin ini tepatnya di lembah sempit sepanjang Pegunungan Bukit Barisan Sumbar. Letaknya sekitar 70 kilometer dari timur laut Kota Padang. Tambang ini dikenal sebagai situs tambang batu bara tertua di Asia Tenggara.
Satu-satunya tambang bawah tanah di Indonesia sebagai warisan dunia. Artinya, Ranah Minang sudah memiliki Warisan Dunia yang pertama kalinya, yakni kategori warisan budaya. Tentu ini menambah deretan warisan budaya Indonesia yang ditetapkan Warisan Dunia oleh UNESCO.
Sebelumnya, ada empat warisan budaya Indonesia yang sudah masuk dalam daftar warisan dunia. Diantaranya, Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Sangiran (1996), sistem Subak di Bali (2012). 
Kemudian untuk kategori alam, Indonesia juga sudah terdaftar empat warisan dunia. Diantaranya Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Lorentz (1999), Hutan Tropis Sumatera (2004), dan Taman Nasional Ujung Kulon (1991). 
Sederetan warisan dunia yang dimiliki Indonesia ini, tentu menjadi suatu kebanggaan. Namun lebih dari itu, Indonesia dipercaya dan diamanahkan untuk mengelola atau menjaga kelestarian warisan dunia yang ditetapkan UNESCO tersebut.
Bukan hanya itu, warisan dunia terlebih lagi Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto memiliki sejarah panjang. Mulai dari lokasi tambang di Sawahlunto, hingga jalur kereta api untuk mengangkut batubara pada masa Hindia Belanda waktu itu.
Sejarahnya, batu bara di Sawahlunto ditemukan pertama kali pertengahan abad ke-19 oleh Willem Hendrik de Greve. Sejak itu eksploitasi batu bara dilakukan yang diiringi pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan penambangan.
Penambangan dimulai tahun 1892 seiring rampungnya infrastruktur pendukung, yakni berupa jaringan kereta api untuk mengangkut batu bara. Mulai dari Sawahlunto, Bukit Putus, hingga Pelabuhan Teluk Bayur Padang.
Sejak itu pula, penambangan batu bara secara signifikan mengubah lanskap Sawahlunto, dari wilayah perkampungan menjadi situs industri. Bahkan sebelum merdeka, puncaknya tahun 1930 produksi batubara mencapai 620.000 ton per tahun. Sebanyak 90 persen untuk kebutuhan energi Hindia Belanda masa itu.#

0 Comments