MENTAWAI yang
dikenal dengan julukan tanah Sikerei, memang menyuguhkan lautan, alam, dan
budaya yang memesona. Tepat 17 Agustus 2017 yang lalu, pengalaman pertama kali saya berlayar,
dan menginjakkan kaki di kepulauan yang terkenal dengan asal tato tertua di dunia
itu.
Pada Hari Kemerdekaan Indonesia ke-71 itu, saya berhasil
menghirup lepas udara tanah sikerei. Berkesempatan makan sagu sebagai makanan
khas masyarakat setempat, tentu yang sudah diolah dan dijual di warung-warung
kecil. Bukan sagu yang basah, yang baru dimasak.
Sungguh, pengalaman itu sulit saya lupakan. Berangkat
sekira pukul 07.00 menggunakan Mentawai Fast dari Pelabuhan Muaro Batang Arau
Kota Padang. Lama perjalanan dari Padang sampai ke Pelabuhan Siberut, waktu itu
sekitar empat jam. Baru menginjak kaki di pelabuhan, langsung ‘dihadiahi”
gempa.
Misi waktu itu, “Menerangkan Mentawai” melalui program Ekspedisi Merah Putih.
Upacara 17 Agustusan di tengah-tengah perkampungan masyarakat Mentawai. Perjuangan
sangat berat. Dari Siberut, setelah makan siang gulai kepala ikan karang, berlanjut
menuju Tuapejat, Sikabaluan, hingga Sikakap. Melelahkan dan mengesankan.
Selama tiga malam menginap di Mentawai. Waktu itu, pada
hari yang ketiga rencana menembus lautan lepas Samudera Hindia. Menjangkau
perkampungan pulau-pulau kecil dan terisolir daerah itu. Sayangnya, baru
setengah perjalanan kapal yang ditompangi dihantam ombak.
Kapal yang kami tompangi hanya bermuatan maksimal 15 orang.
Gelombang ombak sangatlah tinggi. Kondisi di dalam kapal terhempas-hempas. Hampir
semua rombongan sekitar 15 orang waktu itu muntah-muntah. Alhamdulillah, saya
tidak muntah, sebab di perjalanan tengah laut saya sempat minum air garam
tersebut.
Perbatasan Samudera Hindia dengan laut Kepulauan Mentawai
keruh kekuning-kuningan. Semua anggota sudah panik. Akhirnya diambil keputusan
untuk menepi di pulau kosong terdekat. Hampir setengah jam, keadaan gelombang
bertambah hebat. Hujan badai mulai datang.
Dalam kondisi yang sangat kacau dan jauh dari pemukiman
penduduk, semuanya hanya mampu berdoa. Setelah kondisi sedikit aman, akhirnya
kapal dibelokkan dan menembus gelombang ke jalan pulang di pelabuhan Tuapejat. Pakaian
di badan basah semua. Alhamdulillah, selamat.
Sekedar informasi, Mentawai merupakan gugusan pulau-pulau yang
secara geografis terletak di Samudera Hindia. Secara administrative, kepulauan
Mentawai ini masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Namun dari segi
budaya, adat, dan bahasa sangatlah berbeda dari budaya Minang umumnya di
Sumbar.
Dari perjalanan perdana ke Mentawai waktu itu, saya sarankan
jangan pergi pada bulan yang rawan gelombang besar. Tapi jika ingin merasakan
sensasi berbuai di atas gelombang, datang pada April. Musim paling bagus bulan
Maret-Oktober. Ombak paling konstan bulan Juni-September.
Jika tidak doyan ombak, di Mentawai sebenarnya banyak
tempat destinasi yang bisa disinggahi. Dengan melakukan diving, snorkeling,
memancing, menyusuri hutan mangrove, menikmati pasir putih serta panorama alam
yang keren. Misalnya di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sikakap yang daerahnya
agak landau, berpasir putih, bersih dan aman.
Ayo coba jelajahi pulai Sikerei, Mentawai. Nikmati eksotis
alamnya, dan sensasi gelombangnya.*
0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !