Menikmati Lukisan Seniman, Belajar Memaknai Hidup ke Dasar Lebih Dalam


AKU bukan pelukis. Namun sewaktu kecil, pernah terbesit bercita-cita menjadi pelukis. Sewaktu sekolah di tingkat dasar di kampung, lukisan-lukisanku sangat diperhitungkan oleh guru, kawan-kawan sekolah, hingga keluargaku. Tak jarang, tulisanku pernah jadi rujukan bagi kawan-kawan di sekolah.

Memang, waktu itu aku sangat menyukai dunia lukisan. Termasuk diantaranya seni kaligrafi. Kepiawaian jariku inilah yang membuat obsesi menjadi pelukis muncul. Kemudian seiring pergantian waktu, cita-cita itu hilang. Minatku melukis tidak lagi bergitu besar.

Sekarang aku sudah bekerja. Merangkai kata-kata untuk dilahap massa. Tapi dunia seni, sastra, termasuk lukisan di dalam tubuhku masih ada. Alasan itu pula, ketika ada pertunjukkan seni sering aku kunjungi. Termasuk pameran lukisan salah satunya. Entah kenapa, aku suka saja menikmati karya seniman dari tangannya yang piawai itu.


Aku sebenarnya, tidak begitu paham makna-makna atau jenis-jenis lukisan. Tapi yang kudengar, ada yang klasik, abstrak, kontemporer, hingga modern. Meskipun secara luas tidak begitu jelas bagiku, tapi setiap lukisan bisa kumaknai menurut kepalaku sendiri. Bukankah setiap karya, penikmat berhak memaknainya sendiri, bukan?

Dua pekan yang lalu, saya berkesempatan menikmati pajangan lukisan seniman di Gedung Galeri Taman Budaya di Kota Padang. Beragam lukisan terpajang. Lukisan-lukisan seniman itu membuatku berdecak kagum, sembari mencari makna di dalamnya. Tidak mudah bagiku mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

Aku mulai belajar mencari maknanya. Dari lukisan abstrak, alam, dimensi, hingga gabungan diantaranya. Dari situ pula aku tahu, tidak semua yang tampak itu ada. Tidak semua yang ada itu harus tampak. Tidak semua warna itu diartikan warna, dan tidak semua pula yang tidak berwarna tanpa warna.


Ternyata melihat sebuah lukisan tidak cukup hanya dengan dua mata. Perlu banyak kepala untuk memberinya arti. Begitulah semestinya. Hidup itu indah, dan tidak serumit yang kita bayangkan. Jika hidup itu sulit, bukan berarti tidak hidup. Tergantung dari sudut mana kita memaknai, dan untuk apa kita memberi maknanya.

Lebih penting dari itu. Tidak ada yang lebih asyik, selain memaknai diri sendiri. Sebab, kita ini juga lukisan. Hanya saja punya nyawa yang ditiupkan Tuhan. Maka nikmatilah, dan jadilah diri sendiri dengan penuh makna pula. Soal kita lukisan yang indah atau tidak, biarlah penikmat yang menilai dengan cara mereka pula.

Sepulang dari pameran lukisan di Taman Budaya itu, aku berpikir panjang. Setiap lukisan, ada makna tersirat yang ingin disampaikan pelukis. Melalui kuas di tangannya, ia ‘memberontak’ dengan caranya sendiri. Menyampaikan yang tidak tersampaikan, memutuskan yang tidak berkesudahan.  


Pesan bagi yang bukan seniman. Tak harus menjadi pelukis untuk menjadi hidup. Cita-cita tidak cukup jika hanya dilukiskan. Tapi hidup juga tidak cukup jika hanya sekedar cita-cita tanpa dilukiskan keindahan di dalamnya. Percayalah, hidup terasa indah, jika tidak mengharapkan kehadiranmu diindahkan orang lain.

Bila harapanmu tidak diindahkan oleh sesama. Cukuplah memohon kepada Tuhan, agar mata diperkenankan melihat dengan cara yang indah, untuk bisa menuai hidup yang lebih indah. Sekalipun dirimu tidak dilirik dengan cara yang semestinya. Sekali lagi kita harus ingat, penikmat punya hak menilai yang ada di depan matanya sendiri. Kita di dunia, tidak lebih dari lukisan pajangan.*

0 Comments