Sebelas Jurai Saiyo, Menjadikan Teh sebagai Gaya Hidup


SATU dekade terakhir, trend minum kopi terus meningkat, seiring menjamurnya coffe shop di setiap sudut kota. Minuman berkafein ini tidak hanya menjadi kawan sehari-hari saat santai untuk penghangat obrolan, maupun dopping dalam mengejar deadline. Melainkan sudah menjadi gaya hidup yang sudah merebak ke semua kalangan. Lalu bagaimana dengan tradisi 'ngeteh'? 

Pasalnya, di beberapa negara maju, tradisi ’ngeteh’ masih berlanjut hingga kini. Seperti halnya di Inggris yang terkenal dengan ‘Afternoon Tea’. Tradisi minum teh yang disajikan bersama cemilan sebagai pengantar obrolan saat bersama rekan kerja, rekan bisnis, maupun kawan, atau menyeruput teh bersama orang terkasih.

Sementara Indonesia sendiri, bila kita runut ke belakang, teh pertama kali dikenalkan pada 1686 sebagai tanaman hias. Kemudian di Sumatera, kejayaan teh dimulai pada awal abad ke-20, setelah meredupnya pamor kopi. Akhirnya, budaya 'ngeteh' makin dilirik sebagai minuman penghangat suasana pagi.


Tak heran, khususnya di Sumatera, budaya ‘ngeteh’ begitu populer pada zaman kolonial Belanda, terutama dikalangan bangsawan, yang kemudian merebak hingga masyarakat luas. Meski kebiasaan minum teh tidak sepenuhnya hilang pada masyarakat Indonesia, namun pamornya sebagai gaya hidup sudah kalah jauh dengan kopi. 

Lantas karena jeli, peluang inilah yang ditangkap Wahyu Nusa Lubis dan Ilham Yudha Putra. Dua pemuda asal Kabupaten Solok, Sumatra Barat (Sumbar) yang mencoba mewujudkan cita-cita menjadikan 'ngeteh' kembali membudaya. Tidak tanggung-tanggung, bukan hanya di Ranah Minang, tapi mereka ingin teh di daerah asalnya kembali mendunia. 

Teh dan Koperasi 
Melalui Koperasi Sebelas Jurai Saiyo, sebuah koperasi zaman now, Wahyu dan Yudha menjadikan teh sebagai lifestyle layaknya rasa kopi yang menjamur masa kini. Apalagi, dengan menggandeng Koperasi dan Generasi Milenial sangat berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan menjadikan produk teh premium yang mereka olah dari lahan mereka sendiri.

Dalam perjalanan untuk mempopulerkan kembali teh sebagai gaya hidup, kedua anak muda ini membentuk Kelompok Tani Bukit Gompang Sejahtera dan Koperasi Sebelas Jurai Saiyo. Tepatnya pada 2015 lalu, mereka bersama petani lokal akhirnya menciptakan teh organik yang bebas dari bahan-bahan kimia, agar lebih sehat untuk dikonsumsi.


Kini, teh organik yang mereka beri nama Lugu’s Tea tersebut, telah bersertifikasi dari lembaga independen serta mulai memproduksi teh putih dan hijau organik. Hebatnya lagi, Koperasi Generai Milenial ini telah beranggotakan sebanyak 98 petani, dengan luas lahan sendiri seluas 114 hektar dan terus dilakukan upaya perluasan. 

Demi menjangkau konsumen yang lebih luas, Wahyu bersama rekan-rekan kelompok tani maupun koperasi tidak hanya menjual Lugu’s Tea di sentra penjualan Kabupaten Solok, melainkan juga menawarkan di berbagai platform dan media sosial. Apalagi, mereka tahu persis bahwa era zaman now ini, semua lini sektor tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi.

Dalam pemasarannya, Lugu’s Tea dikemas dengan apik dalam kemasan seberat 75 gram hingga 125 gram, dengan harga relatif berbeda. Dengan memanfaatkan media sosial dan platform digital, kini pengiriman Lugu’s Tea sudah sampai hingga beberapa kota besar di Indonesia seperti Bogor, Bandung, Bali, Semarang, Jakarta, dan kota lainnya. 

Dengan demikian, koperasi selalu dituntut memberikan inovasi agar terus tumbuh dan berkembang untuk mensejahterakan petani. Tentu, inilah yang dipegang teguh Koperasi Sebelas Jurai sebagai koperasi generasi zaman now. Kini koperasi ini sudah mendapatkan sertifikat internasional, dan mampu memproduksi empat ton teh setiap bulannya. 

Melalui Koperasi Sebelas Jurai, pemuda Ranah Minang ini berupaya pemasaran Lugu’s Tea terus ditingkatkan. Dengan harapan virus 'ngeteh' menjadi lifestyle layaknya kopi masa kini. Terutama membudayakan 'ngeteh' bagi anak muda, sebagai karya inovasi koperasi generasi milenial anak negeri.*

0 Comments