Kritik Harus Bersolusi

Adakalanya dalam hidup ini kita merasa jenuh, merasa muak. Ketika rasa itu datang, maka ego mulai ingin bertindak, walau pun hanya dengan melalui retorika. Hal itu sering terjadi ketika kita sudah memasuki sebuah lembaga. Tentunya di sana kita pasti berhadapan dengan teman sekaligus lawan.
Teman dalam sebuah lembaga, namun juga tidak jarang orang mengistilahkan juga sebagai lawan kompetisi dalam sebuah lembaga tersebut.
Semua itu tidak asing lagi di dunia perkuliahan, umumnya di mata mahasiswa. Tidak jarang mahasiswa sekarang yang hanya mampu mengungkapkan rasa kecewanya dengan keegoisan. Tentunya saja kekecewaan itu karena ketidakadilan serta ketidakpuasan, baik terhadap kinerja, pelayanan maupun kebijakan lembaga tersebut. Misalnya kinerja organisasi mahasiswa (Ormawa), bahkan kebijakan dan pelayan yang diberikan universitas atau perguruan tinggi.
Itu buktinya mahasiswa sekarang mampu beretorika belaka, dengan membaca lingkungan sekitar, artinya mereka cukup kritis, bahkan terlalu kritis. Namun sayangnya, hanya sebatas retorika. Mampu mengkritik orang lain, tanpa memberi solusi yang tepat. Kadang-kadang kritikannya menimbulkan masalah baru, sehingga masalah yang sedang dibicarakan terasa diabaikan saja tanpa terselesaikan.
Boleh mengkritik, tidak ada yang melarang. Namun seharusnya, kritikan yang disampaikan haruslah berisi. Artinya kita mengkritik sekaligus memberi solusi terbaik, terima atau tidaknya alasan yang kita berikan, itu urusan belakangan, yang jelas kita membawa sesuatu yang berarti, bukan sekedar omong kosong belaka. Jadi, sebagai mahasiswa tentu kita sudah dicap sebagai kamu intelektual. Mahasiswa yang bisa memilih dan memilah yang terbaik dari semua yang baik, bukan sekedar mahasiswa kritis belaka.*


Artikel ini pernah terbit di Koran Harian Singgalang

0 Comments