Bahasa dan Gender
Oleh. Wahyu Saputra
(Mahasisiwa Magister UNP)
A. Latar Belakang Penulisan Makalah
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus makluk sosial, yang perlu
berinteraksi antara manusia lainnya. Salah
satu alat komunikasi dalam berinteraksi yang digunakan manusia adalah bahasa. Manusia
tidak bisa lepas dari bahasa karena peran bahasa sangat penting bagi kehidupan
manusia. Bahasa dijadikan sebagai perantara menyampaikan gagasan, ide, keinginan,
perasan, informasi, atau pengalaman kepada orang lain.

Uniknya, setiap individu juga mempunyai variasi dan fungsi bahasa yang
berbeda. Bahasa yang dipakai untuk pria kadang sangat jauh berbeda dengan
bahasa yang digunakan untuk wanita. Perbedaan bahasa ini bisa terjadi karena adanya
ketidaksetaraan gender. Hal ini juga sebagai akibat dari adanya keragaman
sosial dan keragaman fungsi bahasa dalam kelompok masyarakat. Maka, dalam makalah
ini penulis akan berusaha menjelaskan tentang permasalahan bahasa dan gender.
B. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Bertolak dari latar
belakang masalah di atas, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk memberi
penjelasan tentang bahasa dan gender atau bahasa seksis, perbedaan pola bahasa pria
dan wanita, dan penyebab terjadinya bahasa seksis. Harapannya, dengan adanya makalah
ini bisa memberi pemahaman lebih tentang bahasa dan gender, serta bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahasa dan Gender
Hakikat bahasa secara
sederhana merupakan alat untuk berinteraksi dan berkomunikasi, yang bertujuan
menyampaikan sesuatu, baik berupa pemikiran, gagasan, konsep, atau perasaan
melalui alat ucap. Sejalan dengan KBBI (2008:88) bahwa, bahasa merupakan sistem
lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat
untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri, percakapan yang
baik, tingkahlaku yang baik, dan sopan santun. Intinya, bisa kita simpulkan
bahwa bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia untuk saling berinteraksi.
Bahasa itu unik, karena
mempunyai ciri khas dan pembeda tersendiri yang tidak dimiliki yang lain. Hal
ini menunjukkan bahwa bahasa sangat erat kaitannya dengan pemakainya, karena
tanpa adanya penutur bahasa itu menjadi tidak berarti. Secara umum, pemakai
bahasa disebut juga masyarakat bahasa. Setiap kelompok masyarakat mempunyai
ragam bahasa yang berbeda pula.
Setiap manusia yang
dilahirkan ke dunia, mayoritas terpilih menjadi dua jenis, pria dan wanita. Perbedaan
biologis ini mempunyai kesesuaian di samping bahwa wanita mempunyai rahim, payudara,
sel telur, dan vagina, sedangkan pria mempunyai sperma, penis, jakun, jenggot
dan kumis. Perbedaan tersebut sudah bersifat given dan kodrati sehingga
melahirkan peran yang sifatnya secara kodrati pula. Perbedaan ini terlihat
jelas dari bentuk fisik dan tidak bisa dipertukarkan.
Sementara itu, gender lebih merujuk
pada perbedaan karakter pria dan wanita berdasarkan konstruksi sosial budaya,
yang berkaitan dengan sifat status, posisi, dan perannya dalam masyarakat serta
terjadinya perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial-kultural. Misalnya,
perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan dan sebagainya. Sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan lain-lain. Sifat-sifat itu bukan
kodrat karena tidak berlaku selamanya, karena bisa saja dipertukarkan dan
berubah. Artinya laki-laki bisa saja ada yang emosional, keibuan ataupun lemah-lembut,
dan perempuan ada juga yang kuat, perkasa dan keayahan.
Ilustrasi perbedaan antara
seks dan gender bisa dilihat dari desain sepeda pancal. Sepeda pancal yang
dirancang untuk wanita biasanya diberi sadel yang lebih lebar karena perempuan mempunyai
pinggul yang lebih besar (ini perbedaan seksis). Namun, ketika sepeda tersebut
tidak diberi palang agar perempuan yang memakai rok atau jarit lebih mudah
menaikinya, (ini disebut perbedaan gender karena tidak ada keharusan bagi
perempuan pakai rok atau jarit).
Oleh karena itu, bahasa
seksis adalah bahasa yang merepresentasikan pria dan wanita secara tidak
setara. Bahasa seksis biasanya menyajikan stereotipe-stereotipe tentang pria
dan wanita yang banyak merugikan kaum wanita. Namun, apakah bahasa itu seksis
atau tidak akan tergantung pada distribusi kekuasaan yang terjadi dalam sebuah
masyarakat secara keseluruhan. Umumnya, di negara barat pria masih mendapat
tempat dan status yang lebih tinggi dibanding wanita, baik dari segi kekuasaan
maupun pekerjaan.
B. Bahasa Inggris sebagai Bahasa
Seksis
Pengertian seks adalah jenis kelamin secara biologis, misalnya jenis kelamin pria atau jenis kelamin wanita, sedangkan seksis merupakan dua jenis kelamin (pria dan wanita), jadi bahasa seksis adalah bahasa tentang dua jenis kelamin, antara pria dan wanita atau sering juga disebut sebagai bahasa gender. Menurut Linda Thomas
dan Shan Wareing (2007:108), bahasa seksis dapat dipandang dari dua sudut, pertama tentang tingkat sejauh mana
sistem tata bahasa Inggris itu sendiri menunjang terbentuknya bahasa seksis,
dan kedua tingkat sejauh mana aspek
lain di luar tata bahasa digunakan untuk menciptakan bahasa seksis. Maka, untuk
mengetahui sejauh mana bahasa Inggris bersifat seksis bisa dilihat pada simetri
dan asimetri di dalam kosakata berikut.
1. Simetri
dan Asimetri
Contoh dari simetri
dalam bahasa Inggris bisa dilihat dari istilah-istilah untuk menyebut kuda. “Horse” (Kuda) adalah istilah generik
untuk menyebutkan kuda jantan maupun betina. Generik ; “horse”, betina “mare”, jantan "stallion”, anak kuda (jantan dan betina) “foal”, anak kuda betina “filly”,
anak kuda jantan “colt”.
Istilah menyebut
manusia juga menggunakan sistem serupa tapi tidak simetris. Generik; “man”, wanita “woman”, laki-laki “man”,
anak-anak “child”, anak wanita “girl”, anak laki-laki “boy”. Jenis asimetris lainnya bisa dilihat dari
penggunaan kata girl untuk menyebut
seorang wanita dewasa, sementara pria dewasa tidak pernah disebut boy, melainkan man. Kata girl sering
digunakan menyebutkan seorang wanita dibanding woman, bahwa wanita yang dimaksud belum tua, biasanya ini juga dijadikan
sebuah bentuk pujian bagi wanita. Hal ini sebagai penekanan pada usia muda akan
membuat wanita lebih menarik, karena status wanita lebih tergantung pada daya
tarik fisiknya dibanding pria. Makanya polisi wanita banyak yang mengatakan police girl, selain policewoman, tapi polisi pria tidak mungkin dikatakan police boy, apalagi usianya sudah 30-an
tahun.
Pria dewasa dalam bahasa Inggris hanya mendapat satu gelar sapaan, yaitu Mr. (Mister), sedang
perempuan mendapat tiga pilihan; Mss., Mrs., dan Ms.
(Miss, Misters, Mis). Perempuan seakan-akan harus jelas identitasnya, ketika ia masih gadis, maka
sapaannya Miss., ketika sudah menikah
menggunakan Mrs., dan untuk mengaburkan (menikah atau feminis) digunakan Ms. Hal ini berbeda dengan laki-laki,
baik ia sudah menikah atau belum hanya ada satu gelar
sapaan, yaitu Mr. Perlakuan sistem
bahasa yang seperti ini
sangat jelas adanya dominasi laki-laki atas perempuan.
Sapaan Miss, sebenarnya muncul
lebih belakangan untuk mengaburkan status seorang perempuan.
Namun, lebih parahnya justru semakin menambah
ketersudutan kaum perempuan terhadap tiga pilihan tersebut. Dengan kata lain, ada keharusan bagi
perempuan untuk menampakkan statusnya secara jelas.
Jadi, ketika seorang wanita menggunakan gelar sapaan tertentu, berarti secara
tidak langsung dia mengungkapkan informasi yang lebih dibanding sapaan Mr. bagi pria.
Linda Thomas dan Shan Wareing (2007:111) dalam
bukunya mengatakan bahwa gelar sapaan Miss
dan Mrs merupakan peninggalan
dari masa lalu ketika ketidaksetaraan dalam hubungan kekuasaan antara pria dan
wanita. Dimasa itu wanita dianggap sebagai tanggungjawab dan bahkan dianggap
sebagai hak milik dari ayah atau suami mereka. Sekarang, meskipun sudah terjadi
perubahan dan diberinya kesataraan antara wanita dengan pria, namun bahasa yang
digunakan masih tetap bisa membedakan status perkawinan bagi wanita, dan tidak
berlaku bagi pria.
2. Istilah
Bertanda dan Tidak Bertanda
Konsep ini berguna untuk menganalisis seksisme dalam
bahasa, karena ada beberapa
istilah yang bertanda untuk membedakan pria dan wanita, dan ada istilah tidak
bertanda, artinya berlaku untuk semua jenis kelamin. Istilah bertanda digunakan
untuk menunjukkan profesi atau sesuatu yang menunjukkan wanita biasanya dengan
memberikan akhiran –ess pada kata yang menunjukkan laki-laki. Kata
tersebut bukan lagi morfem, tapi sudah menjadi kata bentukan atau turunan, atau
dengan kata lain sudah tidak standar lagi.
Contoh: Pria Wanita
God goddess
Host hostess
Actor actress
Wait waitress
Sementara itu, kata-kata
yang tidak bertanda dan seharusnya berlaku untuk pria dan wanita, tetapi pada
kenyataannya konotasi pemakainnya hanya merujuk pada pria. Misalnya kata-kata surgeon,
professor, doctor. Kebanyakan persepsi orang terhadap profesi tersebut
hanya layak diduduki oleh pria, sehingga jika ada seorang wanita berprofesi
sebagai ahli bedah masih harus menambahkan kata woman sehingga menjadi woman
surgeon.
Sebaliknya, untuk kata nurse
hanya dikonotasikan sebagai profesi perawat hanya pada wanita, padahal tidak. Sehingga
apabila ingin menyebut perawat pria harus menambahkan kata male sehingga
menjadi male nurse. Penggunaan istilah seperti ini mengimplikasikan
bahwa posisi pria dalam profesi dianggap lebih normal atau lebih terhormat
daripada dipegang oleh wanita.
3. Derogasi Semantik
Derogasi semantik, berarti
proses kata-kata yang merujuk pada wanita yang maknanya lebih rendah dibanding pria,
kata yang berkonotasi merendahkan wanita adalah kata yang ketika dipakai akan
mempunyai arti negatif.
Contoh: Pria Wanita
Gentelman/lord lady
Lord dan lady pada dasarnya dua kata yang sama-sama
menunjukkan status yang terhormat di masyarakat. Namun, dalam penggunaannya
kedua kata tersebut tidak selamanya paralel, kata lord selalu
berkonotasi positif, sementara itu kata lady tidak selalu. Pembantu
wanita disebut lady’s maid (personal servant, especially in charge of her
toilet), sedang untuk menyebut pembantu pria tidak pernah disebut dengan
istilah lord maid.
Demikian pula dengan
istilah-istilah lain seperti lollipop lady (wanita yang membantu
anak-anak sekolah menyeberang jalan), dinner lady (wanita yang melayani
makan siang anak-anak), dan charlady (pembantu wanita) yang tidak
mungkin diganti dengan lord untuk menyebut pria. Istilah lain yang
berkonotasi negatif terhadap perempuan adalah mistress, jika pria master.
Kalimat “He is my master”, berarti “Dia adalah bos saya”, tapi jika
berujar “She is my mistress” bisa berarti “Dia selingkuhan saya.” Kadang,
kata generik wanita “woman” bisa
merujuk pada kegiatan seksual, seperti “wine,
woman, and song” (anggur, wanita, dan lagu) sebagai simbol kesenangan dalam
hidup.
Sama halnya dengan istilah Sir
dan Madam. Kata sir digunakan untuk menyapa orang yang
mempunyai kedudukan tinggi, semisal Sir Edward, sebutan sebelum nama keluarga,
dan untuk kepada surat formal. Pada kata madam, di samping punya makna
yang setara dengan sir, tetapi ada yang berarti negatif, yaitu germo (madam
is a women who manages a brothel). Beberapa contoh istilah asimetri di
atas, jelaslah bahwa ada “upaya” untuk merendahkan wanita di mata pria.
4. Frekuensi dan Topik Pembicaraan
Budaya masyarakat dengan
bahasa yang bersifat patriarchal memberi label kepada kaum wanita sebagai
makhluk yang banyak bicara (talkactive), suka ngegosip, ngerumpi, dan lainnya. Stereotipe tentang perbedaan gaya
bahasa antara pria dan wanita ini baru berdasarkan prasangka saja. Begitu kuatnya
pelabelan ini sehingga bila ada seorang pria yang cerewet dijuluki sebagai wanita.
Padahal, anggapan di atas tidak selamanya benar.
Penelitian yang dilakukan
Spender, yang dikutip oleh Linda Thomas, terhadap siswa di kelasnya, ternyata
anak yang pria lebih banyak berbicara (aktif) dibanding anak yang wanita. Selain
itu, anak pria lebih banyak menginterupsi pembicaraan anak wanita dibanding
anak wanita menginterupsi anak pria. Hal ini menunjukkan bahwa seakan-akan pria
lebih memiliki hak yang lebih besar dibanding wanita dalam situasi yang
melibatkan keduanya.
Sementara itu, mengenai
topik pembicaraan, wanita sering dianggap hanya senang berbicara masalah yang
berkaitan dengan hal-hal personal, seperti tentang keluarga, perasaan, dan
persahabatan. Pada pria lebih suka berbicara pada topik yang bersifat
impersonal, seperti mengenai mobil, sepak bola, dan perbaikan rumah sehingga pria
dianggap tidak perlu mengungkapkan perasaannya.
C. Perbedaan Pola Bahasa Pria dan Wanita
Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin
yang diakui yaitu pria dan wanita. Kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut
ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan
oleh pria dan wanita. Suara wanita juga memiliki karakteristik yang berbeda
dengan suara dan intonasi pria. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan
perbedaan organ-organ tubuh penghasil suara antara pria dan wanita.
Wardhaugh (2006:326-328) mengemukakan
beberapa klaim, berkaitan dengan masalah gender dan variasi bahasa. Klaim yang pertama, menyatakan bahwa secara
biologis pria dan wanita sangat berbeda dan perbedaan ini memiliki konsekuensi
yang serius pada gender. Perempuan biasanya memiliki karakter non-kompetitif
dan mementingkan hubungan/relasi dengan orang lain. Di sisi lain, pria cenderung
mengutamakan kemandirian dan hubungannya dengan Tuhan (vertical relationship)
daripada hubungannya dengan manusia (horizontal relationship). Namun,
Wardhaugh (2006:327) berargumen bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada bukti
yang mendukung klaim ini dan cenderung seperti stereotype.
Klaim yang kedua, bahwa organisasi
sosial diasumsikan sebagai hubungan kekuatan (power relationship).
Wardhaugh (2006:327) menyampaikan bahwa tingkah laku bahasa menunjukkan
dominasi pria. Pria menggunakan kekuatannya untuk mendominasi. Pria mencoba
mengambil kontrol, menginterupsi, memilah-milah topik, pembahasan, dan
sebagainya. Mereka menggunakan hal tersebut dalam berkomunikasi dengan sesama pria
maupun dengan wanita. Jadi sebagai konsekuensi, wanita lebih teliti dalam menggunakan
bentuk-bentuk bahasa yang prestigious untuk menjaga dirinya dalam
hubungannya dengan orang yang lebih kuat karena wanita relatif memiliki
kekuatan yang lebih lemah daripada pria. Selain itu, Wardhaugh (2006:327) juga
menjelaskan bahwa perempuan cenderung memiliki jaringan sosial kurang dari yang
dimiliki oleh pria, namun perempuan memiliki sensitivitas lebih besar pada
bentuk-bentuk bahasa, khususnya pada bentuk bahasa standar.
Klaim yang ketiga adalah bahwa pria
dan wanita adalah makhluk sosial yang harus belajar untuk bertindak dengan cara
tertentu. Wardhaugh (2006:327) menjelaskan bahwa tingkah laku bahasa dipelajari
dari tingkah laku. Pria belajar untuk menjadi pria dan wanita pun belajar untuk
menjadi wanita, yaitu berbicara secara linguistik. Masyarakat menunjukkan kepada
mereka tentang berbagai pengalaman hidup yang berbeda, sehingga mereka dapat
belajar dari pengalaman itu.
Maltz dan Borker (1982) melalui
Wardhaugh (2006:327-328) memberikan sebuah contoh berkaitan dengan klaim ketiga
di atas, yaitu pada orang Amerika Utara dimana pria dan wanita yang berasal
dari budaya sosiolinguistik yang berbeda melakukan komunikasi. Pada akhirnya,
dimungkinkan untuk terjadi miscommunication. Lebih lanjut Maltz dan
Borker menjelaskan bahwa mhmm yang digunakan oleh wanita berarti “Saya
mendengarkan,” di sisi lain mhmm yang diucapkan pria mengandung arti
“Saya setuju.” Konsekuensi, pria menganggap bahwa wanita selalu setuju dengan
mereka dan mereka menyimpulkan bahwa adalah mustahil untuk memberitahu apa yang
sedang dipikirkan oleh wanita. Di sisi lain, wanita bisa sampai marah
disebabkan karena mereka menganggap bahwa pria cenderung tidak pernah mau
mendengarkan.
Berdasarkan contoh Maltz dan Borker
di atas, dapat disimpulkan bahwa pria dan wanita memiliki aturan masing-masing
dalam berkomunikasi. Pada waktu berkomunikasi antar-gender aturan-aturan
tersebut biasanya akan terjadi ketidaksepahaman.
Menurut Sumarsono (2007:113)
keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala
sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita
berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka,
dan masyarakat mengaharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Kenyataan sosial
ini dicerminkan melalui bahasa. Tutur perempuan bukan hanya berbeda, melainkan
juga lebih “benar”. Menurut Sumarsono (2007:113) fenomena tersebut
merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari pihak perempuan
diharapkan tingkah laku sosial yang lebih benar. Selain itu, karakteristik wanita
dalam berbahasa cenderung bersifat androgini (mendua). Menurut Elyan (Sumarsono,
2007:127), wanita di kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat
(perkasa) seperti pria, namun tidak mau kehilangan kefemininan. Di samping itu,
wanita yang berkarier (wanita karier), yang memiliki status tinggi di luar
rumah; mereka ingin berkarya sejajar dengan pria, tetapi tetap ingin sebagai
ibu dan istri yang ideal.
Satu hal yang belum dibicarakan
ialah kelompok orang berjenis kelamin “khusus”, yaitu orang yang sering disebut
waria (banci) dan gay. Dede Oetomo (Sumarsono, 2007:130)
menyebutkan bahwa bahasa waria atau wadam (wanita Adam) tersebut
termasuk “bahasa rahasia”. Dede meneliti waria dan gay di
Surabaya dan menyimpulkan bahwa waria biasanya merupakan kelas “bawah”,
yang memiliki orientasi lebih banyak ke bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia.
Di lain pihak, gay berasal dari golongan kelas menengah di kota, dan orientasinya
pada bahasa Indonesia. Namun, kaum gay juga menggunakan bahasa Jawa.
Oleh karena itu, menurut Dede, gay itu dwibahasawan.
D. Sebab-Sebab
Terjadinya Bahasa Seksis
Bertolak dari penjelasan di
atas, ternyata memang ada unsur kesengajaan dari pemegang kekuasaan, yang mayoritas
pria. Tentu ini untuk mempertahankan dominasinya di masyarakat dengan
membedakan ekspresi bahasa untuk pria dan wanita. Hal ini disebabkan karena
paradigma masyarakat terhadap wanita yang dianggap hanya sebagai pelengkap,
objek, dan lemah. Oleh karena itu, muncul ekspresi-ekspresi asimetri, yang
lebih parah lagi ia berimbas kepada ketidakadilan (gender inequalities)
terhadap kaum wanita. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab terjadinya
perbedaan ekspresi bahasa seksis.
1. Masalah Dominasi
Dari berbagai penelitian di
bidang bahasa, kaitannya dengan kehidupan sosial-politik dan budaya masyarakat,
terlihat bahwa wanita memang berbeda dengan pria. Perbedaan bahasa pria dan wanita
itu sangat erat kaitannya dengan kekuasaan. Memang, secara statistik bisa dibuktikan
bahwa pria cenderung lebih memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding
perempuan dalam artian fisik, finansial, maupun hierarki di tempat kerja.
Posisi yang lebih superior itu
pada gilirannya akan melahirkan perbedaan bahasa yang bukan hanya terletak pada
perbedaan suara, pemakaian gramatika, pemilihan kata, tetapi juga pada cara penyampaiannya.
Menurut Linda Thomas, dalam sebuah acara yang diikuti oleh pria dan wanita, wanita
sering tidak mendapatkan waktu untuk melakukan interupsi, dan bila ada kesempatan
maka ia tidak ditanggapi dengan serius.
Demi mengimbangi dominasi
model maskulin yang lebih menguasai jagad berbahasa ini, munculnya tawaran
metode feminis. Metode ini berusaha untuk memberikan kesempatan kepada wanita
untuk menyatakan pendapat, masalah, pertanyaan, serta saran-saran yang sering
tidak didengar oleh masyarakat dan diabaikan peneliti nonfeminis. Metode ini
menghasilkan perubahan status quo kehidupan wanita yang mampu menyadarkan wanita
akan kondisi mereka yang sangat tidak terbebas.
2. Masalah Perbedaan
Masalah perbedaan ini timbul
dikarenakan adanya dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Perbedaan ini kemudian
melahirkan stigma bahwa wanita adalah korban yang tidak berdaya, sedangkan pria
dipandang sebagai pihak yang merendahkan wanita. Hal ini karena adanya
pemisahan antara pria dengan wanita pada tahapan-tahapan dalam kehidupan sosial
budaya.
Ada dua hal yang dianggap
andil dalam pembentukan perbedaan ini, yang pertama, masalah hubungan
sosial. Perkawanan atau kebiasaan bermain yang sejenis pada masa anak-anak dan
kemudian berlanjut sampai persahabatan dewasa akan melahirkan kelompok pria dan
wanita yang mempunyai sub-budaya sendiri. Pada masing-masing sub-budaya
tersebut juga mempunyai pola-pola dan gaya bahasa yang hanya cocok untuk
kelompok mereka. Masalah akan timbul ketika keduanya ingin berkomunikasi.
Kedua, adalah hal yang berkaitan dengan faktor biologis dan
sosialisasi. Misalnya, seorang pria ketika kecil dilarang bermain dengan bunga
karena bunga melambangkan suatu yang lembut, dan lembut itu identik wanita.
Sebaliknya, wanita ketika kecil sangat dilarang pakai celana, main bola,
pedang-pedangan, dan permainan yang mengutamakan fisik karena permainan itu
milik pria dan bila ada wanita yang tetap bermain, ia akan dijuluki wanita tomboy.
Fenomena lain yang
menggambarkan sosialisasi perbedaan ini adalah seorang wanita mulai dari kecil
sudah mendapatkan proteksi lebih bila dibanding dengan pria. Wanita ketika
kecil apabila duduk tidak sopan, maka orangtua akan cepat menegur, tetapi jika pada
pria ketika kecil melakukan yang kurang sopan dianggap sebagai anak yang aktif,
dan bahkan mendapat pujian. Sosialisasi yang diterapkan ini jelas tidak netral
sebab bunga, warna, permainan, perasaan, dan perilaku (akhlaq), tidak
diciptakan hanya untuk pria atau wanita saja, tetapi hal itu berlaku bagi semua
orang dalam masyarakat. Sosialisasi inilah dianggap sebagai cikal-bakal
munculnya second class terhadap wanita di masyarakat.
SIMPULAN
Penjelasan yang panjang tentang
bahasa dan gender di atas, memberikan kita kesimpulan bahwa ekspresi bahasa itu
bisa mencerminkan kecenderungan penuturnya. Budaya kehidupan masyarakat Inggris
yang bersifat patriarki, dapat dilihat adanya corak bahasa yang diskriminatif
terhadap kaum wanita. Timbulnya stereotype bahasa terhadap wanita
tersebut disebabkan beberapa faktor; dominasi kekuasaan, perbedaan pergaulan
yang sejenis, sehingga menimbulkan sub-culture atas sub-culture yang
lain dan bila keduanya bertemu dimungkinkan munculnya masalah baru. Pola
sosialisasi yang diterapkan pada tiap gender yang tidak netral, juga tidak
membentuk terjadinya perbedaan terhadap bahasa pria dan wanita.
Berangkat dari faktor-faktor
di atas munculah adanya asimetri, istilah tidak bertanda, penyempitan dengan
memberi kata bermakna negatif terhadap wanita, seperti banyak terjadi dalam
bahasa Inggris. Akibatnya, terbentuklah bahasa yang bersifat seksis atau terjadinya
seksisme dalam kehidupan dalam masyarakat.
KEPUSTAKAAN
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sumarsono.
2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Thomas, Linda
dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, (Penerjemah:
Sunoto dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !