Aksiologi: Ilmu dan Moral, Tanggungjawab Sosial Ilmuwan


Pendahuluan
Manusia dikenal sebagai makhluk akal dan pikiran, yang menjadikan manusia lebih istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusia yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Manusia mampu mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Kemampuan menentukan pilihan ini menjadikan manusia selalu berupaya melakukan perubahan dari masa ke masa.

Keceradasan yang dimiliki manusia semakin menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan keperluan hidup manusia. Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Hal terbukti berbagai sarana dan prasaran modern diberbagai bidang industri, komunikasi, dan transportasi, yang terbukti sangat bermanfaat. Namun di sisi lain, adanya timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.
Hal ini terjadi karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat terjadinya implikasi negatif dari perkembangan ilmu. Maka tidak jarang Iptek berdampak negative karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Salah satunya, letusan bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Zubair (dalam Surajiyo, 2008:148) mengatakan bahwa tanggungjawab Iptek menyangkut tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan Iptek di masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasarkan keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Namun menurut Van Melsen (dalam Surajiyo, 2008:149) perkembangan Iptek akan mengahmbat ataupun meningkatkan keberadaan manusia, tergantung pada manusia itu sendiri, karena Iptek dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya.
Berdasarkan hal itu, ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka. Oleh sebab itu, penulis perlu untuk membahas tentang aksiologi ini. Hal ini karena manusia perlu berpegang pada filsafat atau pengetahuan, salah satunya filsafat ilmu tentang aksiologi, yaitu tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia.

Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Sesuai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sebaliknya Wibisono (dalam Surajiyo, 2009), mengatakan bahwa aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Namun, Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation, yaitu sebagai berikut.
·      Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
·      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
·      Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Berdasarkan definisi aksiologi itu, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. (Koento, 2003:13).
Oleh sebab itu, aksiologi adalah teori tentang nilai serta bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and).  

Pengertian Ilmu dan Moral, serta Kaitannya
Kata ilmu dalam bahasa Arab “ilm” yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan (id.wikipedia.org). Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari dan mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti oleh manusia (Ihsan Fuad, 2010:108
Ilmu sesuai dalam Kamus BesarBahasa Indonesia (KBBI) adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan) itu. Menurut Endrotomo (2004) ilmu adalah suatu aktivitas tertentu yang menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan pengetahuan tertentu. Sebaliknya, Suriasumantri (2007) mengatakan ilmu sebagai sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan juga lebih mudah. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Dengan kata lain, ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Selanjutnya, moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Sebaliknya etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo, 2009:147). Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting atau berguna dan moral tersebut serta permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271).
Pengertian moral sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak, budi pekerti; susila. Prawironegoro Darsono (2010:247) mengatakan moral adalah sistem nilai  (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan moral adalah mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan ajaran dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi pedoman  untuk bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial yang dinilai baik atau buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak menyimpang dari norma dan nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari penghidupan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
Ilmu dan moral itu saling mendukung, ibarat kata Albert Einstein (1879-1917), bahwa ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta, sebaliknya agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Menurut Suriasumantri (2007): “… ilmu sudah terkait dengan masalah moral namun dalam perpektif yang berbeda”. Ilmu tidak hanya menjadikan berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi bisa juga menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal yang bersifat negative yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali (Endrotomo, 2004). Oleh sebab itu, ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan factor lain. Kalau dalam tahap kotemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisiska maka dalam tahap manipulasi ini maslalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara Filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat serta mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan kejahatan orang yang tidak berilmu.
Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu (Jujun S. Suriasumantri dalam Ihsan Fuad, 2010:273).
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan teknologi. Tanggungjawab etis adalah sesuatu yang menyangkut kegiatan keilmuan maupun pengunaan ilmu, yang berarti dalam pengembangannya harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bersifat universal, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan kepentingan generasi mendatang.
Tanggungjawab ilmu menyangkut hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu dimasa lalu, sekarang maupun masa mendatang, berdasarkan keputusan bebas manusia dfalam kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan nilai-nilai hidup baik alam maupun manusia. Hal ini tentu menuntut tanggungjawab untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu itu sendiri maupun perkembangan eksistensi manusia secara utuh. Tanggungjawab moral tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan manusia, melainkan harus menyadari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia, baik dalam hubungannya secara pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya.
Perkembangan ilmu akan mempengaruhi nilai-nilai kehidupan manusia tergantung dari manusianya sendiri, Karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia. Kemajuan di bidang ilmu memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, karena tugas terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.

Tanggungjawab Sosial Ilmuwan
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh lapisan masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S, 2000:237).
 Ilmu akan menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi diperhatikan sebaik-baiknya. Ilmuwan tidak berhenti pada penelahan dan keilmuan secara individual namun ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri,2007).
Ilmu sebagai karya tertinggi mnusia (ilmuwan) adalah sesuatu yang terus dan akan mengikuti pola dan model si pemilikrnya (ilmuwan), ilmu bisa saja menjadi momok yang menakutkan bila disalahgunakan. Di sinilah keharusan bagi ilmuwn untuk mampu mnilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan merupakan seorang hantu atau serigala yang menakutkan bagi manusia lainnya. Seperti yang terjadi di Irak, Bali, Afganistan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, ilmuwan memiliki tanggungjawab besar, bukan saja karena ia adalah warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam suatu masyarakat. Fungsinya sebagai ilmuwan, tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi bertanggungjawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, bertanggungjawab dalam mengawal hasil penelitiannya supaya tidak disalahgunakan.
Etika keilmuan merupakan etika normative yang merumuskan prinsip-prrinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ikmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya, sehinggah dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normative menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerejakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentantangan dengan yang seharusnya terjadi.
Etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani,kebebasan dan tanggungjawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Maka, bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadin penentu,apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum. Dengan demikian, penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusian, nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebaginya. Ini artinya, bahwa ilmu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan serta masalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Maka, ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusian (Suriasumantri,2007).
Kemampuan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya. Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang-orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Di bidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini berserta sifat-sifat lainnya, merupakan implikasi etis dari dari berbagai proses penemuan ilmiah. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lainnya meskipun yang mempergunakan adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan juga bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalagunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral. Maka, pendidikan moral sebagai unsur yang terlupakan oleh para ilmuwan. Karena IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) tanpa iman dan taqwa (IMTAQ) atau agama akan menghancurkan manusia, sedangkan berbekal IMTAQ saja kita akan tertinggal jauh dari masyarakat modern. Contoh: Dalam tanggungjawab sosialnya para ilmuwan seperti Andre Sakharove dari Rusia elah melaksanakan tugas sosialnya dengan menyarankan kepada pemerintahnya dalam proyek nuklir dan proyek-proyek lainnya yang membahayakan umat manusia. Walaupun pada akhirnya dia harus mendekam dalam penjara dengan kerja paksa (Suseno,1989). Namun, demi rakyat semua ia relakan.
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggungjawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena aksiologi salah satu aspek pembahasan mendasar dalam integrasi keilmuan adalah aksiologi yang sebelumnya telah dibahas.

Simpulan
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkab secara keilmuan. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Di sinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik–baiknya. Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu berkembang secara optimal, tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhtikan segi kemanusian baik pada tataran individu maupun kelompok.
Berdasarkan pengertiannya, aksiologi adalah teori tentang nilai serta bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Oleh sebab itu, ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebaliknya seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab agar produk keilmuannya dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia. Jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Saran
Tertuju kepada pembaca, dalam penulisan makalah ini tidak tertutup kemungkinan terdapat kekurangan baik dari segi isi maupun penulisannya. Hal itu disebabkan oleh terbatasnya ilmu yang kami miliki penulis. Oleh karena itu, penulis berharap kepada para pembaca agar dapat memberikan kritik dan sarannya, agar lebih bisa mengembangkan penulisan makalah berikutnya.

DAFTAR RUJUKAN
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
______Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
______Endrotomo. 2004. Ilmu dan Teknologi, Information System ITS. Surabaya.
______Ihsan Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Kurtines, William M. dan Gerwitz. 1993. Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan Moral. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Prawironegoro Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta: Nusantara Consulting.
Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suriasumantri,Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Surajiyo. 2009. Fildsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Wibisono, Koento. 1997. Dasar-dasar Filsafat. Jakarta: Universitas Terbuka.
______http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu. (diakses 25 Oktober 2015)

_________________________________________________________________________________Tulisan ini sebagai Tugas Matakuliah Filsafat Ilmu di Magister FBS UNP, diampu oleh Indrayuda, S.Pd., M.Pd., Ph.D.

____________________________________________________________________

1 Comments

  1. Mantap sekali tulisannya.
    Sangat bermanfaat buat dijadikan referensi.
    Mohon kunjungi blog saya juga ya.
    FAJRIN MAULANA

    ReplyDelete

Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !