Cita-Cita Cinta Tak Beruntung

Judul               : Kalau Tak Untung
Pengarang      : Selasih
Penerbit          : Balai Pustaka
Tebal               : 156 Halaman
Cetakan          : 25 Tahun 2004

Sebuah novel berjudul Kalau Tak Untung buah karya seorang perempuan yang bernama Selasih ini sangat menyentuh hati pembaca. Di dalam novel yang berlatarkan Minangkabau ini sangat banyak mengandung nilai moral dan religi.
Selasih merangkai kata dengan luar biasa, walaupun masih banyak menggunakan bahasa melayu namun ceritanya sangat banyak mengungkapkan budaya kehidupan di Minangkabau.
            Awal kisah ini diperankan oleh seorang gadis yang bernama Rasmani, yang tinggal bersama orang tua, kakak, dan adiknya di sebuah desa terpencil yang bernama Bonjol. Keluarganya  hidup serba dalam kekurangan sehingga dia sangat dijauhi oleh masyarakat tempat tinggalnya. Dia seorang gadis yang baik, tertutup, pemalu dan pendiam, sehingga dia selalu diantar oleh orang tuanya ke sekolah. Lain halnya dengan seorang anak laki-laki bernama lengkap Masrullah, anak orang kaya dikampungnya. Dia seorang anak laki-laki yang selalu hidup dalam berkecukupan. Masrul panggilan akrabnya, bukan orang yang sombong, tetapi seorang anak yang sangat baik dan pintar.
            Pada suatu ketika, Masrul pergi ke sekolah bersama Rasmani. Mulai saat itu, mereka selalu ke sekolah berdua dan Rasmani tidak pernah lagi diantar oleh orang tuanya ke sekolah. Semakin hari mereka semakin akrab, Rasmani pun tidak lagi seorang gadis yang pendiam dan pemalu. Masrul benar-benar bisa menjaga Rasmani, mereka berdua bagaikan seorang kakak dan adik. Seluruh kebutuhan sekolah Rasmani dipenuhi oleh Masrul, sehingga kebutuhan sekolah Rasmani serba berkecukupan. Rasmani tumbuh menjadi gadis yang pintar dan pandai dalam bergaul serta mempunyai tingkah laku santun.
            Singkat cerita, ketika mereka beranjak remaja, Masrul merantau ke pesisir tepatnya daerah Painan, karena mendapat mandat untuk bekerja sebagai juru tulis. Sebelum berangkat ke Painan, Masrul sudah ditunangkan dengan seorang gadis yang bernama Aminah. Di sinilah puncak cerita yang semakin besar terjadi dalam novel ini. Semenjak itu, Masrul dan Rasmani sama-sama merasakan kehilangan pada hati mereka, yang hanya bisa berkirim surat untuk melepas rindu atau untuk mengetahui kabar masing-masing.
Di rantau daerah Painan, Masrul dibujuk oleh seorang yang kaya raya untuk menikah dengan anaknya yang bernama Muslina, seorang gadis yang cantik jelita. Masrul tergoda dengan tipuan tersebut, dia bersedia menikah dengan orang kaya tersebut dengan harapan bisa hidup bahagia, walaupun tidak direstui oleh orang tua dan sanak familinya. Namun sebaliknya, setelah menikah Masrul mulai hidup dalam kesengsaraan, bagai kerbau yang ditusuk hidungnya, dan selalu mendapat caci maki dari mertua dan istrinya.
Masrul kemudian naik pangkat dan pindah kerja di Padang, namun badannya semakin kurus, selalu mabuk-mabukkan, dan mulai tidak mengenal Tuhan. Beberapa tahun kemudian, Masrul menceraikan Muslina, kemudian dia kembali ke Bonjol tanah kelahirannya. Masrul akhirnya disambut dengan baik oleh Rasmani dan keluarganya. Semenjak di kampung, tubuh Masrul yang semula kurus kini semakin tumbuh padat dan berisi kembali. Masrul pun semakin berani untuk menyatakan cintanya kepada Rasmani, sahabatnya sejak kecil sekaligus sebagai labuhan hatinya. Rasmani yang sangat mencintai dan mengagumi Masrul, tidak menolak sedikitpun.
Setelah beberapa hari, Masrul meminta izin untuk merantau untuk mencari kerja ke daerah Medan. Masrul dengan semangat mencari kerja, dengan harapan mendapat pekerjaan yang layak dan bisa cepat menikahi Rasmani. Sayangnya, untung tidak dapat di raihnya. Masrul semakin putus asa karena tidak mendapatkan pekerjaan. Masrul pun memutuskan untuk mengakhiri hubungan cintanya pada Rasmani dengan mengirimkan sepucuk surat. Rasmani setelah membaca surat tersebut mulai jatuh sakit keras.
Selang beberapa minggu, Masrul mendapat pekerjaan dengan gaji yang lumayan tinggi. Masrul pun mulai mengirim surat kembali kepada Rasmani, dengan maksud ingin menjalin hubungan cintanya kembali. Tapi dengan datangnya surat tersebut, Rasmani yang semulanya sudah membaik semakin bertambah parah. Dalipah, kakak Rasmani pun mengirim surat kepada Masrul agar segera pulang menjenguk Rasmani.
Malang tidak dapat dihindarkan untung tidak dapat diraih, ketika Masrul sampai di kampungnya, dia hanya bisa melihat gundukan tanah merah saja. Rasmani sudah meninggal dengan menitipkan sepucuk surat permintaan maaf untuk Masrul. Masrul semakin tersungkur sambil meneteskan air mata, merasa bersalah dengan hati yang gundah serta penyesalannya tanpa akhir. Jadi di dalam novel ini, jika direnungkan sungguh tragedi atau kisah cinta yang memilukan. Walaupun raga selalu penuh rintangan untuk bersatu, tetapi cinta di hati tetap dibawa hingga ajal menanti.

Resensiator:
Wahyu Saputra
Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNP.


0 Comments