Film Salisiah Adaik atau
Perselisihan Adat mengangkat cerita kisah cinta antara sepasang kekasih. Namun
cinta mereka terhalang oleh adat masing-masing daerah yaitu antara adat
Pariaman dan Payakumbuh. Film ini kembali diputarkan dalam acara helat FSN
2016, di Monumen Merpati Perdamaian, Pantai Muaro Lasak Padang.
"Film ini sangat menarik untuk
ditonton karena menceritakan percintaan tentang sepasang kekasih yang dihalangi
adat, agar kita tahu seluk-beluk adat yang berlaku di daerah kita, terutama
Pariaman dan Payakumbuh," ungkap Medi Iswandi, selaku Kepala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Padang usai pembukaan FSN 2016 di Pantai Muaro Lasak.
Ia juga menjelaskan bahwa film Salisiah
Adaik ini mempunyai kemiripan dengan legenda Siti Nurbaya, hanya saja
film ini yang menceritakan pernikahan yang terbentur oleh adat dan budaya.
Film Salisiah Adaik ini menggunakan Bahasa Minangkabau dengan
tiga dialek yang berbeda yaitu dialek Luhak Limapuluh, Pariaman, dan Solok
serta komedi yang membuat penonton tersenyum bahkan tertawa lepas.
Permasalahan muncul ketika tokoh
utama Muslim dan Roih (Ros) mengahadapi terhambat karena kedua tokoh tersebut
berselisih adat sehingga membuat penonton ikut bersedih. Minangkabau yang
memiliki adat yang unik, dan sangat terkenal dengan tradisi yang berbeda pada
tipa daerahnya.
Sebab, seperti pepatah “Lain
ladang lain Belalangnya, lain lubuk lain pula ikannya” sangat tertanam
dalam film ini. Tokoh Muslim, pemuda berumur 28 tahun yang berasal dari
Pariaman yang berprofesi sebagai “tukang ameh,” yang dipertemukan dengan Ros
orang Payakumbuh. Namun cinta mereka kandas, tanpa direstui orang tua karena
perbedaan adat.
Pemasangan
Baliho Film Salisiah Adaik, Rabu (7/9) (dokumen pribadi)
|
Namun, dari
film Salisiah Adaik yang disasksikan ratusan orang di FSN 2016
ini memberi pelajaran penting bagi orang Minangkabau, terkhusus bagi orang
Pariaman dan Payakumbuh. Harapannya, dengan adanya film Salisiah
Adaik ini kedua daerah tersebut bisa memahami adat masing-masing,
tanpa harus dipertentangkan apalagi adat dijadikan sebagai tembok pembatas
hubungan seseorang.
Sementara itu,
Ferdinand Almi kelahiran Padang Panjang ini mengatakan merasa sangat bangga dan
senang karena filmnya ditayangkan dalam acara FSN 2016, yang ditonton oleh
ratusan pasang mata tersebut. Hal ini karena menurut pemuda kelahiran 5
November 1986 ini, selain film ini sebagai hiburan, mendidik, juga sebagai ajang
pengenalan budaya.
“Momennya sangat
pas, karena ini acara FSN 2016 juga sebagai ajang festival kebudayaan, jadi
film saya juga ditayangkan. Bangga rasanya, saya tidak menyangka film saya akan
ditonton oleh orang sebanyak ini,” tuturnya di Padang, Rabu (7/9).
Sementara itu,
salah seorang warga dari Alahan Panjang, Yandri Yoga Putra (26) mengatakan filmSalisiah
Adaik selain ada sisi humornya, tayangan film tersebut sangat
mendidik, sekaligus untuk pengenalan budaya dan adat dalam masyarakat ke
generasi muda.
“Film yang
ditayangkan tadi sungguh menarik, kita jadi tahu adat Pariaman dan Payakumbuh.
Film-film seperti ini harus diproduksi lebih luas lagi sebagai pelestarian
budaya,” katanya usai menonton film di Muaro Lasak tersebut, Rabu malam (7/9).
Suasana keseruan ratusan pengunjung
menyaksikan film Salisiah Adaik, Rabu (7/9)
sumber: @sitinurbayafestival
|
Pernyataan yang
sama juga dilontarkan oleh Rudi Saputra (30) warga kelurahan Tabing Padang yang
juga menonton film, mengatakan film tersebut memberi edukasi bagi generasi
muda, terutama tentang tradisi dan adat suatu daerah. Menurutnya zaman sekarang
banyak generasi muda yang tidak mengerti dengan adat dan budaya di daerah.
“Say tidak
menyangka, ternyata film Salisiah Adaik lebih menarik
dibanding sinetron yang tidak bermutu selama ini. Film ini seharusnya perlu
juga disebarluaskan, agar semua orang tahu adat dan budaya minang,” sebutnya. (why)
0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !