PENDAHULUAN
Mengkaji ilmu sastra tidak
akan habis-habisnya selama peradaban manusia masih ada. Salah satunya ilmu
tentang sastra bandingan yaitu kajian ilmu sastra yang membahas atau menelaah
antara karya sastra sebagai objek kajiannya, dalam ruang lingkup tertentu.
Salah satu buku yang membahas sastra bandingan adalah buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan, yang ditulis oleh Sapardi
Djoko Damono.
Sekilas tentang penulis buku, bernama lengkap Prof.
Dr. Sapardi Djoko Damono, merupakan seorang pujangga Indonesia terkemuka,
sastrawan, penulis, sekaligus penyair ternama. Ia lahir di Solo, Jawa Tengah
pada tanggal 20 Maret 1940. Berkat kegemarannya pada dunia sastra, ketika SMA
ia memilih jurusan sastra, kemudian melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra
Inggris Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 1964. Damono berhasil menulis
berbagai karya sastra, baik puisi, balada, kumpulan sajak, kumpulan cerpen,
esai, kritik sastra, artikel atau kolom di berbagai surat kabar, dan buku-buku
tentang sastra lainnya.
Damono yang juga lulusan Universitas Hawaii,
Honolulu, AS (1970-1971) ini, pernah menjadi dosen sastra di berbagai universitas, seperti di IKIP
Malang, Universitas Diponegoro, dan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, serta pernah menjadi dekan. Selain aktif sebagai pengajar, Damono
juga menjadi redaktur majalah Horison,
Basis, dan Kalam. Damono terbukti berhasil meraih berbagai prestasi dan
penghargaan, antara lain penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) atas
kumpulan sajaknya yang berjudul Perahu
Kertas, Cultural Award dari Australia (1978), anugerah Puisi Putra Malaysia dengan kumpulan sajaknya yang berjudul Sihir Hujan (1983), Mataram Award (1985), anugerah SEA
Write Award (1986) di Bangkok-Thailand, Anugerah
Seni dari Pemerintah Indonesia
(1990), Kalyana Kretya (1996), dan anugerah Ahcmad Bakrie (2003).
Berkat kepekaan dan wawasan sebagai seorang sastrawan,
Damono aktif dalam menerjemahkan berbagai buku yang berkaitan dengan dunia
sastra demi memperkaya pengetahuan ilmu sastra atau kesusastraan Indonesia.
Damono juga aktif dalam menerjemahkan karya sastra asing, seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan
Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris, serta beberapa karya
sastra asing lainnya. Damono mempunyai kontribusi yang besar terhadap budaya
dan pengembangan sastra di Indonesia, baik dengan melakukan penelitian maupun
menjadi nara sumber diberbagai seminar. Selain menjembatani karya asing kepada
pembaca sastra, ia juga sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru. (dari berbagai sumber)
Buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan merupakan karya hasil telaah dari berbagai buku
teori-teori ilmu sastra atau kesusastraan, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Sumber-sumber yang tersaji
dalam buku ini sebagian besar dari buku-buku penulis asing. Hal ini menjelaskan
bahwa Damono memiliki sumber yang luas, memiliki wawasan atau pengetahuan yang
luas, terutama di bidang sastra, dan membuktikan buku ini sangat berkualitas.
Sedikit gambaran tentang
buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini diterbitkan pada tahun 2005 oleh
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Beralamat di Jalan Daksinapati
Barat IV Rawamangun-Jakarta 13220, dengan ISBN 979-685-513-5. Ketebalan buku
ini secara keseluruhan terdiri atas 127 halaman. Secara rinci, Cover bagian dalam, identitas buku,
pendahuluan, tidak diberi nomor halaman, antara bagian satu dan bagian dua,
terdapat satu halaman kosong tanpa nomor halaman, sedangkan kata pengantar dan
daftar isi diberi nomor halaman menggunakan huruf romawi III sampai V.
Selanjutnya, bagian-bagian pembahasan terdapat 119 halaman, bagian daftar bahan
bacaan atau kepustakaan terdiri dari 2 halaman. Sebagai gambaran, mohon maaf
karena keterbatasan penulis dalam menemukan buku yang asli, sehingga terpaksa
penulis memakai buku fotocopy, yang sampul (cover)
luar buku ini berwarna orange. Di
tengah atas buku tertulis judul buku; Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan, serta di tengah sampul tertulis nama penulis; Sapardi Djoko Damono dan tengah bawah
nama penerbit, yaitu Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. Jenis huruf (font) yang digunakan penulis
sepertinya Times New Roman (TNR)
dengan ukuran 10.
Pembahasan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini
terbagi atas dua belas bagian. Bagian pertama;
Pendahuluan, kedua; Beberapa
Pengertian Dasar, ketiga;
Perkembangan Sastra Bandingan, keempat;
Asli, Pinjaman, Tradisi, kelima;Terjemahan,
keenam; Sastra Bandingan Nusantara, ketujuh; Membandingkan Dongeng, kedelapan; Dalam Bayangan Tagore, kesepuluh; Jejak Romantisisme Dalam
Sastra Indonesia, kesebelas;
Gatotkoco; Kasus Peminjaman Dan Pemanfaatan, kesebelas; Alih Wahana, dan terakhir kedua belas; Penutup.
Namun, setelah membahas
tentang isi buku Pegangan Penelitian
Sastra Bandingan karya Prof. Dr. Saparji Djoko Damono ini, terdapat
komentar terhadap isi buku ini sekaligus ulasan perbandingannya dengan dua
buku, yaitu pertama buku Metodologi
Penelitian Sastra karya Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., dan buku Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari,
M.Pd.
LAPORAN BAGIAN BUKU
Sapardi Djoko Damono |
Pada bagian ini penulis akan
melaporkan bagian isi buku yang berjudul Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan yang ditulis Sapardi Djoko Damono ini, yang
meliputi dua belas bagian. Setiap bagian berisi pembahasan yang dijelaskan
secara khusus sesuai bagiannya masing-masing. Setiap pembahasan juga banyak
disertai contoh, agar lebih mudah memahami terhadap teori sastra bandingan yang
dijelaskan. Penjelasan-penjelasan Damono dalam buku ini, semakin memberi
pemahaman bagi pembaca untuk mengetahui hal-hal apa saja yang bisa dijadikan
objek penelitian sastra bandingan. Dengan demikian, buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini dapat dijadikan sebagai
salah satu acuan untuk melakukan penelitian sastra bandingan nantinya.
Bagian-bagian isi buku ini
tidak menggunakan penomoran bab, dan hanya mencantumkan judul. Setiap bagian tidak
ada penanda topik, seperti nomor atau sub-sub bab yang akan dibahas. Oleh
karena itu, dalam laporan bacaan ini, penulis memberi penomoran dengan angka dan
mencantumkan judul sesuai pembagian pembahasan dalam buku ini. Selanjutnya,
mengenai laporan bagian isi buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini, akan penulis
jabarkan sebagai berikut.
Bagian Satu: Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan ini,
Damono menjelaskan isi atau pembahasan yang akan dikaji dalam buku secara umum.
Ia juga mengatakan bahwa buku ini merupakan pegangan bagi para peneliti untuk
melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan. Lebih lanjut
lagi, ia menjelaskan bahwa setiap penelitian menggunakan langkah
membanding-bandingkan sebab hanya dengan langkah itu peneliti bisa lebih paham
terhadap suatu masalah. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa kekhasan suatu
budaya hanya bisa dipahami lebih baik jika dibanding-bandingkan.
Bagian Dua: Beberapa
Pengertian Dasar
Pada
topik bagian kedua ini, Damono memberi penjelasan pengertian dasar sastra bandingan,
yang dikutip dari pendapat para ahli, yaitu Remak dan Nada. Menurut Remak, sastra bandingan adalah membandingkan sastra
sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang
lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. Pendapat Remak tersebut
mengartikan bahwa yang termasuk dalam kajian sastra bandingan ada dua bagian,
yaitu sastra harus dibandingkan dengan sastra, dan sastra juga bisa
dibandingkan dengan bidang ilmu lain, seperti seni dan disiplin ilmu lain.
Sementara Nada, seorang pengamat Sastra Arab, menyatakan bahwa sastra bandingan adalah suatu studi kajian
sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa
lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya,
apa yang telah diambil suatu sastra, dan apa pula yang telah disumbangkannya. Jadi
maksudnya bahwa sastra bisa dibandingkan apabila sastra suatu bangsa ada
kaitannya dengan sejarah sastra bangsa lainnya.
Di bagian ini juga dijelaskan
mengenai bahasa sebagai syarat utama dalam studi sastra bandingan. Damono
mengatakan bahwa perbedaan bahasa merupakan salah satu syarat utama dalam sastra
bandingan. Pernyataan Damono ini didukung oleh pendapat Nada, bahwa kegiatan membandingkan
karya sastra Arab meskipun ditulis oleh dua sastrawan Arab dari negeri yang
berbeda, tidak bisa dilakukan, karena ia menganggap bahasa Arab yang tersebar
dimana pun telah menghasilkan kebudayaan yang sama. Artinya, seseorang tidak
bisa dianggap telah melakukan studi sastra bandingan jika ia mengadakan
perbandingan antara sastrawan Arab. Sastra
bandingan dapat dilakukan jika karya sastra Arab itu telah disusun dalam bahasa
lain, misalnya ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Selanjutnya, Nada
beranggapan bahwa karya sastra yang ditulis dalam bahasa yang sama memberikan
ciri pemikiran yang sama dan umum pada bangsa-bangsa yang telah menghasilkannya
karena adanya kesamaan pola pikir dan cara hidup mereka dalam memandang masalah
kehidupan, karena pada hakikatnya tidak ada perbedaan asasi antara karya-karya
tersebut. Namun, sangat berbeda ketika karya sastra suatu negara dibandingkan dengan
negara lain. Misalnya sastra Inggris dan Amerika yang memiliki hubungan
kesejarahan, meskipun sama-sama menggunakan bahasa Inggris, tetapi dalam sastra
pasti terdapat perbedaan yang mencolok, baik dalam cara pandang/pola pikir,
gaya bahasa, dan kekayaan kosa kata. Berdasarkan hal itu, Damono berkesimpulan
bahwa pada dasarnya pendapat Nada sama dengan Remak, yakni membandingkan dua
sastra dari dua negeri yang berbeda itu sah-sah saja, meskipun keduanya
menggunakan bahasa yang sama, karena pengunaan bahasa yang sama itu justru
menunjukkan adanya hubungan kesejarahan.
Kemudian, dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini
juga membahas tentang sastrawan yang menulis karya sastra dalam berbagai bahasa
yang berbeda, atau lebih dari satu bahasa. Salah satunya sastrawan di
Indonesia, yaitu Ajib Rosidi yang menulis balada ”Jante Arkidam” dalam bahasa
Sunda dan Indonesia, Suparto Brata menulis dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Rabindranath
Tagore menulis dalam bahasa Inggris dan Bengali, sedangkan Samuel Beckett yang
menulis karyanya dalam bahasa Prancis kemudian menerjemahkan karya-karyanya
sendiri dalam bahasa Inggris. Menurut Damono, contoh-contoh tersebut dapat
dikatakan sebagai sastra bandingan, karena mengacu pada konsep bahasa sebagai hasil
kristalisasi kebudayaan. Tentu, hal ini didasarkan bahwa sastrawan mampu
melakukan perjalanan ulang-alik antara dua kebudayaan dan di dalam
masing-masing bahasa ia menyatakan dirinya di dalam lingkungan kebudayaan yang
berbeda.
Damono menjelaskan mengenai
batasan-batasan yang bisa dibandingkan dalam kajian sastra bandingan. Menurut
Guyard, penelitian sastra bandingan merupakan pendekatan sejarah hubungan-hubungan
sastra antarbangsa. Guyard selanjutnya menjelaskan bahwa sastra bandingan
mensurvei pertukaran gagasan, tema, buku, atau perasaan di antara bangsa-bangsa,
di antara dua atau beberapa sastra. Jadi, selain membandingkan sastra dari dua
negara atau bangsa, sastra bandingan merupakan suatu metode untuk memperluas
pendekatan atas sastra suatu bangsa saja. Sastra bandingan melampaui
batas-batas bangsa dan negara untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik
tentang kecenderungan dan gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan negara.
Khusus sastra Barat, Cortius menyatakan bahwa dengan memandang objek kajian
sastra-teks, genre, gerakan, kritik,
dalam perspektif antar bangsa, sastra bandingan memberikan sumbangan terhadap
pengetahuan mengenai kesusastraan.
Ada lima pendekatan yang
digunakan dalam melakukan penelitian sastra bandingan menurut Clements, yaitu:
1)
tema/mitos,
2)
genre/bentuk,
3)
gerakan/zaman,
4)
hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin
ilmu lain, dan
5)
pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang
terus-menerus bergulir.
Damono juga mengatakan bahwa,
dalam kegiatan akademik syarat utama bagi peneliti sastra bandingan adalah
penguasaan bahasa, karena karya sastra yang diteliti harus dibaca dalam bahasa
aslinya. Metode dalam sastra bandingan harus dikaitkan dengan sejarah teori
sastra, karena teori tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra, sehingga
sastra bandingan merupakan humanisme baru yang berkeyakinan adanya gejala
sastra.
Selanjutnya dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan, Damono
juga menjelaskan tentang awal mulanya perkembangan studi sastra bandingan.
Awalnya, pengkajian kesusastraa di Eropa hanya sebatas pendekatan nasional,
sehingga menimbulkan pandangan yang sempit terhadap sejarah dan kritik sastra. Cakupan
sastra bandingan tidak hanya satu bidang kajian, tetapi pandangan yang
menyeluruh tentang sastra, kebudayaan secara keseluruhan, ekologi kemanusiaan, Weltanschauung kesusastraan, suatu visi tentang
semesta budaya, yang mencakup semua secara komprehensif.
Menurut Jost (1974), menyatakan
sastra bandingan harus dikembangkan hingga mencakup sastra-sastra di luar
Eropa, karena para pakar sastra bandingan Eropa tidak mengetahui banyak tentang
sastra di luar Eropa. Ia pun membagi pendekatan sastra bandingan dengan empat
bidang, yaitu:
1)
pengaruh dan analogi,
2)
gerakan dan kecendrungan,
3)
genre dan bentuk,
4)
motif, tipe, dan tema.
Secara umum, Damono
menyatakan bahwa dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan pertama yang
paling banyak menghasilkan hasil penelitian, karena dianggap sebagai sastra
bandingan. Ia juga menyatakan bahwa keempat kategori pendekatan di atas tidak
memiliki garis pemisah yang tegas. Hal itu karena, setiap studi apapun dalam
bidang ilmu kemanusiaan dapat menjadi
studi hubungan-hubungan dalam pengertian pengaruh dan analogi. Sarjana sastra
bisa menguraikan suatu gerakan, genre, atau
motif dalam memahami hubungan-hubungan antara berbagai sastra nasional. Peneliti
dihadapkan pada karya-karya tertentu yang semua berisi tema dan motif, yang
menjadi bagian dari genre dan
gerakan.
Menurut Damono, studi pengaruh
dan analogi dalam sastra bandingan memusatkan perhatian pada interkasi dan
kemiripan antara beberapa sastra, karya, dan pengarang sastra nasional, atau
fungsi tokoh penting yang menjadi perantara dalam menyebarkan doktrin atau
teknik sastra. Ia mengatakan bahwa kemiripan antara sastra dan bidang seni lain
juga bisa disebut sastra bandingan, misalnya perbandingan antara puisi dan seni
lukis, musik dan puisi, bahkan perbandingan karya sastra dan ilmu lain, seperti
sosiologi, agama, filsafat, boleh dianggap sastra bandingan selama kegiatannya
bertujuan memahami karya sastra secara lebih baik dengan membandingkannya.
Studi pengaruh dalam sastra
bandingan menurut Damono ada dua metode yang bisa digunakan, yaitu peneliti
menekankan masalahnya dari segi pandangan sastrawan yang dipengaruhi, dan sudut
pandang sastrawan yang mempengaruhi. Jost menyatakan bahwa penelitian bisa
dilaksanakan dengan metode genetik atau poligenetik, dari yang menekankan pentingnya
hubungan sebab akibat maupun yang tidak. Kemudian, studi analogi ini dikembangkan
untuk melengkapi studi pengaruh dalam sastra bandingan. Studi analogi
mempertimbangkan kemiripan yang ada pada berbagai unsur dua atau lebih sastra.
Analogi bisa menjelaskan hal yang lebih luas dan hakiki, yakni sikap estetik
dan filosofis secara umum.
Pendekatan lain atau terakhir
untuk sastra bandingan yang diungkapkan Damono dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan adalah pendekatan yang
menuntut atau tuntutan mempergunakan bahasa asli karya sastra yang
dibandingkan. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam kegiatan penerjemahan,
yang membandingkan-bandingkan kecenderungan tematik yang ada dalam karya sastra
yang dibandingkan. Jadi, dengan pendekatan ini, hasil penelitian sastra bandingan
yang membanding-bandingkan berbagai karya sastra dari berbagai bahasa, dengan penerjemahan
dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, baik karya sastra maupun
terhadap kebudayaan lain melalui karya sastra.
Bagian Tiga: Perkembangan Sastra Bandingan
Pada bagian ketiga ini Damono
menjelaskan awal perkembangan sastra bandingan. Sastra bandingan awalnya dikembangkan
di Eropa. Benua Eropa yang yang terbagi menjadi sejumlah bahasa dan kebudayaan,
namun pada dasarnya bersumber pada mitologi Yunani dan Kitab Suci orang
Kristen, yaitu Perjanjian Baru dan Injil. Perbedaan bahasa di Eropa diantaranya
mirip satu sama lainnya itu menghasil kesusastraan yang berbeda-beda dan dalam
berbagai bahasa pula. Pada perkembangan selanjutnya itu lah cikal-bakal memungkinkan
terjadinya kegiatan penerjemahan dan penyebaran kesusastraan di Eropa.
Para peminat sastra
bandingan di Eropa baru tertarik untuk membicarakan sastra bandingan sejak abad
ke-19, salah satunya Goethe yang menyatakan bahwa ”Sastra nasional sekarang ini
sudah menjadi istilah yang tak bermakna; dan bahwa sastra dunia sudah dekat,
dan setiap orang harus mempercepat kedatangannya”. Menurut pengamat sastra
Timur Tengah, Nada, menyatakan bahwa Goethe mempunyai perhatian yang sangat
besar terhadap sastra dunia, bahkan Goethe sendiri juga mengagumi dan tertarik
pada sastra Timur. Dengan demikian, studi sastra tidak hanya berkisar sebatas
sastra nasional tetapi juga mencakup negeri-negeri lain.
Pada abad ke-20, studi sastra
bandingan akhirnya mendapat pengukuhan ketika jurnal Revue de Littererature Comparee diterbitkan tahun 1921. Jurnal itu
berisi karangan-karangan tentang sejarah intelektual salah satunya dalam
melacak pengaruh dan hubungan yang melewati batas-batas kebahasaan. Misalnya
drama-drama Shakespeare mempengaruhi berbagai kesusastraan di negara-negara
Eropa, seratus tahun kemudian. Jika sastra bandingan merupakan studi
kesusastraan yang melewati batas-batas linguistik, pengkajiannya tentu
dikaitkan dengan sejarah pemikiran. Alur, gagasan, dan penokohan mungkin sangat
mudah bisa diwariskan dan ditiru, tapi belum tentu dengan segi bahasanya. Ditinjau
dari segi linguistik dan budaya, setiap bangsa baik di Eropa maupun Asia
memiliki bahasa dan aksara yang berbeda-beda, memiliki ciri-ciri tersendiri,
dan cenderung menolak untuk dibanding-bandingkan. Setiap bangsa memiliki mitologi
sendiri, meskipun telah terjadi pengaruh-mempengaruhi, bahkan yang melampaui
batas-batas budaya dan politik, dan sekaligus menciptakan kelompok-kelompok
bahasa yang masing-masing memiliki ciri-ciri serupa.
Terakhir, Kunst (1990:256) telah
membagi kebudayaan Asia menjadi tiga tradisi sastra besar, yakni Timur Tengah,
Asia Selatan, dan Asia Timur. Pertama, tradisi sastra Timur Tengah erat
kaitannya dengan tradisi Eropa dalam hal sejarah, ilmu alam, dan agama. Tradisi
ini ini kajian Nada, yang bermula dari epik Gilgamesh, kemudian kisah Rostam Shahnameh. Kedua, tradisi sastra Asia Selatan berpusat di India dan menjangkau
Teluk Benggala sampai ke Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Indonesia, dan
Malaysia. Ketiga, tradisi sastra Asia Timur berasal dari Cina dan menyebar ke Jepang,
Korea, Mongolia, dan Vietnam. Menurut Kunst, hubungan ketiga tradisi dapat
dikatakan tidak tampak. Namun, menurut Damono bahwa sastra klasik Indonesia
sebenarnya mendapat pengaruh atau sentuhan dari ketiga tradisi sastra besar
Asia tersebut, misalnya naskah klasik yang ditulis dari beberapa bahasa daerah
membuktikan adanya pengaruh dari Parsi, Asia Selatan, dan Cina.
Bagian Empat: Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada dasarnya, ketika
berbicara tentang asli, pinjaman, dan tradisi dalam karya sastra sebenarnya
sama halnya ketika kita berbicara tentang produk atau barang, yang asli,
pinjaman, atau tradisi. Kita bandingkan zaman dulu, mungkin sangat sulit
menjiplak/melakukan peniruan produk lain, karena proses pengiriman barang dari
satu daerah ke daerah lain membutuhkan waktu yang lama. Zaman sekarang, produk
asli sangat sulit ditemukan, karena banyaknya terjadi peniruan produk-produk
sebelumnya. Zaman sekarang mudah melakukan peniruan, mudah pula dibedakan barang
tiruan atau aslinya. Misalnya, waktu lampau Mahabbrata
dari India hanya bisa mencapai Jawa setelah ratusan lamanya, sekarang novel
Bharati Mukherjee dalam hitungan hari
saja bisa muncul di berbagai toko buku seluruh dunia.
Begitu pula halnya dengan dunia
karya sastra, banyak yang imitasi/tiruan dari karya-karya sastra sebelumnya,
namun kita bisa membedakan bahwa karya tersebut benar-benar gagasan baru, ide
baru, atau ide dari orang lain. Hal ini karena untuk menciptakan karya sastra
yang baru, kita harus mempunyai gagasan dan ide yang baru pula, dan betul-betul
murni dari pemikiran kita sendiri (asli). Pada zaman sekarang, peniruan itu sangat
mungkin dan banyak terjadi, bahkan itu telah berlangsung sejak lama ketika manusia
saling berinteraksi satu sama lain. Menciptakan karya sastra baru itu termasuk
sulit dilakukan. Pada dasarnya karya sastra yang diciptakan zaman sekarang
selalu ada kemiripan dengan karya-karya sebelumnya, hanya saja apakah itu
terjadi secara kebetulan, sengaja dilakukan atau tidak. Karya Shakespeare dibaca
di Jepang, kemudian diciptakan kembali oleh seniman Jepang. Jika diperiksa
dengan teliti ternyata drama Shakespeare itu diambil dari khasanah sastra lain,
dan sumber itu pun ternyata pinjaman dari sastra lain pula.
Dampak dari hasil peminjaman
itu, muncul dan berkembangnya berbagai gerakan, mazhab, dan kecenderungan menular
dan menumbuhkan kegiatan baru di negeri-negeri yang terkena dampak pinjaman
atau peniruan itu, atau efek tular. Maka akibatnya berbagai gerakan seperti
romantisme, realisme, modernisme, absurdisme, dan eksistensialisme menular kemana-mana.
Ibsen mengembangkan dan menularkan gaya penulisan drama sosial yang dikemas
dalam bentuk yang realistik ke seluruh Eropa pada abad ke-19. Dramawan Inggris,
George Bernand Shaw, adalah yang terkena tular dan kemudian mendapat Hadiah
Nobel bidang kesusastraan. Tularan itu sampai ke Indonesia abad ke-20.
Berdasarkan penjelasan itu,
dapat disimpulkan bahwa yang disebut asli itu ialah sebuah karya sastra yang
diciptakan pertama kali oleh seseorang sebagai miliknya sendiri. Sedangkan yang
dikatakan dengan pinjaman adalah jika karya itu dibaca oleh penyair lain
kemudian ia menciptakan karya itu dengan warna dan gaya baru dengan meminjam
dari yang asli. Maksudnya, bahwa karya asli tadi mempengaruhi penyair lain
dalam menciptakan karya baru. Selain itu, yang dimaksud dengan tradisi yaitu
jika pinjaman itu terus berlangsung dan berlanjut ke penyair-penyair berikutnya.
Damono juga berpendapat
bahwa penularan menjadi alasan utama untuk mengembangkan sastra bandingan. Istilah
pengaruh harus diartikan dengan luas. Konsep mengenai pengaruh mencakup
spektrum yang luas, mulai dari pinjaman sampai ke tradisi. Jika terjadi
penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, itu mengartikan adanya pengalihan
suatu budaya ke budaya lain. Sehingga membuka peluang bagi penelitian sastra
bandingan. Beberapa kasus yang memperlihatkan terjemahan yang keliru malah bisa
menumbuhkan perkembangan baru dalam kesusastraan bahasa sasaran. Hal ini
menjelaskan bahwa kita harus mengetahui batasan-batasan dalam penelitian sastra
bandingan, yaitu seberapa jauh terjemahan bisa dan boleh berbeda dengan aslinya.
Sastrawan pun memiliki
kecenderungan untuk meminjam, langsung atau tak langsung. Misalnya, drama
Shakespeare yang dianggap sebagai tonggak sastra dunia, tapi beberapa pakar menganggap
tidak ada yang asli, alias pinjaman bahkan curian. Karya sastra modern zaman
kini pun sebenarnya ada yang merupakan pinjaman bahkan mungkin curian, baik
bersumber dari karya zaman dahulu, teks kronik, sejarah, maupun tradisi lisan.
Damono mengutip pendapat Clements
(1978) yang mengatakan bahwa puisi epik berkembang sedikit demi sedikit dari
tingkat folklor lisan ke arah puisi tertulis yang sangat canggih. Di Indonesia
sendiri, kemajuan itu semakin terasa. Semua jenis puisi dari yang sangat sederhana
sampai yang paling canggih pun bisa ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
perkembangan, apabila suatu masyarakat bisa mengekpresikan diri dalam tulisan,
yang dilakukan tidak hanya mengembangkan imajinasi tanpa landasan sama sekali,
tetapi memanfaatkan tradisi lisan sebagai bahan untuk mengembangkan
kreativitasnnya. Drama-drama Yunani klasik, seperti Oedipus Rex dan Electra
diciptakan berdasarkan kisah dongeng yang beredar di masyarakat. Hal serupa
juga pernah terjadi di Indonesia, dalam kebudayaan Jawa dikenal sebagai Parbu
Watu Gunung, sedangkan di Sunda dikenal Sangkuriang. Orang Sunda percaya, Gunung
Tangkuban Perahu dianggap sebagai bukti terjadinya kisah cinta Dayang Sumbi dan
Sangkuriang, anaknya. Kisah-kisah seperti itu terus bertahan sampai sekarang,
dan tidak pernah surut menyusup ke dalam berbagai bentuk sastra modern. Seorang
dramawan, Utuy Tatang Sontani bahkan menulis kisah tersebut dalam dua drama.
Selanjutnya, jenis kisah
yang populer di kalangan masyarakat adalah tentang cinta yang tak kesampaian.
Di kebudayaan Barat dikenal dengan Romeo-Juliet, sedangkan dalam khasanah
kebudayaan Jawa dikenal kisah Roro Mendut dan Pranacitra, yang kemudian dalam
sastra modern diangkat dalam novel oleh Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Kisah
yang mulanya merupakan hasil tradisi lisan itu diterima dan diolah sedemikan
rupa sehingga memiliki makna baru yang sesuai dengan zaman penciptaannya. Alurnya
juga terdapat di dalam kebudayaan apapun dan sekarang menjadi kreativitas baru
yang tidak akan hilang bagi para sastrawan. Peminjaman kisah lama itu merupakan
upaya untuk mengungkapkan dan memecahkan berbagai persoalan masa kini yang
menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial.
Hal-hal seperti itu banyak
dimanfaatkan oleh para sastrawan, salah satunya oleh Mh. Rusli dalam
menciptakan novel Siti Nurbaya yang mirip
dengan kisah Romeo-Juliet, atau Roro Mendut-Pranacitra. Peminjaman yang
dilakukan Mh. Rusli kelihatan samar karena kisah “baru”. Ia mengambil latar
yang berbeda, di samping pemanfaatannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan
di masanya, serta alurnya dikembangkannya dengan sedemikian rupa, seolah-olah
itu ciptaan asli Mh. Rusli, padahal tidak. Contoh lain, novel Salah Asuhan juga melakukan hal yang
serupa seperti Mh. Rusli. Hanafi sebenarnya pengembangan dari cerita Malin Kundang. Jika kita telah membaca
keduanya, pasti akan diketahui bahwa jalan cerita tokoh utamanya, Hanafi, juga
mirip dengan kisah perjalanan hidup Malin Kundang hingga akhir; Malin Kundang
jadi batu sedangkan Hanafi bunuh diri.
Pada bagian ini Damono
menyatakan bahwa perkembangan sastra modern menunjukkan adanya proses saling
mencuri atau saling meminjam. Hal itu juga terjadi adanya hubungan kesusastraan
Asia Timur dan Eropa, saling meminjam. Konsep teater absurd dan konkret
menumbuhkan jenis baru dalam kesusastraan Asia Timur. Namun, Haiku dari Jepang menumbuhkan pemikiran
mengenai cara pengucapan baru dalam puisi, yang dikenal sebagai imagisme dan
modernisasi. Sehingga Haiku merupakan
puisi citraan dan sama sekali jauh dari argumentasi dan diskusi. Sebaliknya, puisi-puisi
yang dihasilkan kebudayaan Eropa umumnya merupakan argumentasi atau diskusi,
dan serebral. Akhirnya, konsep puisi yang berpijak pada citraan itu disebut
dengan gerakan imagisme. Sayangnya, konsep itu tidak bertahan lama karena bertentangan
dengan Eropa, dan kemudian dilanjutkan oleh gerakan modernisme. Perkembangan gerakan
ini yang menyebabkan penyair yang tersebar di lima benua, meminjam bentuk Haiku sebagai pedoman berkarya.
Sebenarnya, teater absurd telah
dikembangkan oleh kesusastraan Timur. Namun, karena Eropa terjadi masalah
sosial dan budaya, akhirnya menggoyahkan keyakinan mereka baik Barat maupun
Eropa. Sehingga teater absurd ini masuk, dramanya pun dipengaruhi oleh bentuk
teater tradisional Asia. Contoh mengenai pinjam-meminjan juga dikemukakan
Damono dalam buku ini, yaitu dramawan dari Prancis, Antonin Artaud, menciptakan
teater baru dalam bahasa Inggris, yang mengacu kepada “kekejaman” drama tentang
kisah Calon Arang dari Bali ketika dipentaskan di Prancis atas pemerintah
Hindia Belanda.
Sebaliknya, pada bagian ini
Damono menjelaskan bahwa karya sastra yang diciptakan oleh pengarang sebenarnya
tidak selalu hasil dari peminjaman, akan tetapi karya sastra yang dihasilkan
kebetulan mirip atau serupa dengan karya –karya yang telah dibuat oleh orang
lain sebelumnya, dengan tempat dan waktu yang berbeda. Situasi dan kondisi geografis
suatu daerah bisa menjadi faktor yang memungkin akan menghasilkan bentuk dan
karya sastra yang hampir sama. Hal ini karena kondisi geografis termasuk faktor
penting dalam pembentukan serta perkembangan kebudayaan. Damono memberi contoh
sederhana, yaitu puisi yang dihasilkan oleh penyair Arab cenderung ringkas yang
mirip dengan puisi yang dihasilkan suku Indian, begitu mantra orang Indian menggunakan
piranti puitik yang sama dengan orang Arab, yang keduanya mempunyai kondisi
geografis dan bobot spiritual yang sama.
Mengenai masalah kemiripan,
Damono menjelaskan bahwa kemiripan bisa terjadi oleh beberap sebab, bisa sebagai
akibat dari perkembangan masyarakat dan juga bisa akibat peristiwa besar
seperti perang. Misalnya, setelah Perang Dunia II, akan muncul beberapa karya
sastra yang mirip satu sama lainnya dari para penyair di seluruh negeri, baik
bentuk maupun tema, bahkan dari segi komposisinya, sebagai bentuk ungkapan yang
berkaitan dengan situasi kacau dan kesengsaraan setelah perang, sama halnya ketika
perang saudara yang terjadi di Amerika Utara selesai.
Damono melanjutkan bahwa
kemiripan juga bisa terjadi karena kesamaan otak manusia ketika merespon
pengalaman yang jenisnya sama. Misalnya terhadap kesedihan, kecewa, jatuh
cinta, setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menghadapinya,
meskipun ada ciri-ciri dasar yang melandasinya. Meskipun dipengaruhi letak dan kondisi
geografis yang berbeda, metafor dan citraan berbeda, tetapi yang disurat atau
disiratkan bisa saja memiliki kemiripan satu sama lainnya. Hal ini karena
pengalaman dasar setiap manusia tentang kesedihan, kekecewaan, cinta, bahagian,
rindu, kesepian, bisa ditanggapi dengan cara yang sama oleh para penyair.
Terakhir pada bagian ini, disebutkan
bahwa nasib karya sastra di negeri lain termasuk pokok dalam penelitian sastra
bandingan. Dalam hal ini, Damono menyatakan bahwa nasib karya sastra di negeri
asalnya kadang tidak mendapatkan tempat yang layak dan terhormat, padahal di
negeri lain karya sastra tersebut menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu, dan
menjadi pengaruh besar bagi yang melahirkan karya-karya sastra besar. Contohnya,
The Last of the Mohicans karya James
Cooper, Rubaiyat yang ditulis Omar Khayyam, The
Prophet karya Gilbran Kahlil Gilbran. Namun, setelah karya mereka
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa lainnya, karya mereka mendapat
tempat yang lebih terhormat dan semakin dikenal secara luas di seluruh negeri
lain, bahkan juga termasuk yang diperhitungkan dalam jajaran khasanah
kebudayaan atau kesusastraan nusantara dan dunia.
Bagian Lima: Terjemahan
Pada bagian ini menjelaskan
tentang terjemahan yang dilakukan para sastrawan, baik oleh dirinya sendiri
maupun dilakukan orang lain. Di sini Damono mengatakan bahwa katika pada zaman
masa lampau meminjam dan kemudian mengembangkan aksara dari bangsa lain,
langkah pertama yang dilakukan untuk mempraktekkan hasil pinjaman tersebut
adalah dengan cara menerjemahkannya. Dulu ketika nenek moyang kita
mengembangkan aksara yang dipinjamkan dari India, menghasilkan aksara Jawa,
Sunda, dan Bali. Bisa dilihat dan kita rasakan bahwa khasanah sastra kita ada
dalam bayang-bayang sastra India, sebab kita telah banyak menerjemahkan karya
mereka. Contohnya kitab-kitab klasik yang berkaitan dengan Mahabbarata dan Ramayana bermunculan
di awal tradisi tulis sastra Jawa. Begitu pula jika kita mengembangkan aksara
Arab dan menciptakan huruf Jawi dalam bahasa Melayu dan Pegon di dalam bahasa
Jawa, tentu erat kaitannya dengan segala yang dihasilkan kebudayaan Timur
Tengah, bahkan ada kaitannya dengan agama Islam. Nah, jika beralih memilih
aksara Latin terjemahan sastra Barat itu menjadi bagian penting untuk kebudayaan
kita.
Di awal abad ke-20 sejumlah
karya sastra dari Eropa diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa
bahasa daerah oleh penerbit pemerintah waktu itu, Balai Pustaka, dan beberapa
penerbit swasta. Melihat perkembangan
itu juga tampakbahwa ternyata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu waktu
itu bukan hanya berasal dari Barat, tetap juga dari mana saja, tergantung siapa
yang melaksanakan terjemahan. Sejak awal perkambangan sastra Indonesia telah
memberikan sumbangan yang sangat berharga.
Pengarang keturunan Cina ada yang sangat
terkenal, yaitu Lie Kim Hok, yang terjadi sebelum Perang Dunia II. Syairnya
yang terpopuler waktu itu berjudul Syair
Cerita Siti Akbari (1884) yang disadurnya dari Syair Abdul Muluk, juga diilhami oleh versi Abdul Muluk dalam
bahasa Sunda yang berjudul Siti Rapiah. Syair
Siti Akbari mendapat pengaruh dari Syair
Abdul Muluk dan Siti Rapiah,
cerita Melayu dan Sunda. Sedangkan Syair
Abdul Muluk itu sendiri sebenarnya juga merupakan saduran dari karya sastra
asing yang berasal dari Anak Benua Asia.
Selain itu, suatu jenis
cerita rekaan yang kemudian berkembang sampai hari sekarang di Indonesia adalah
cerita silat. Damono mengutip pendapat Leo Suryadinata, bahwa pada mulanya
cerita silat merupakan terjemahan dari novel sejarah Tiongkok. Selanjutnya
muncul di koran-koran Cina, penerjemahannya dialih ke cerita silat tersebut. Jadi
perkembangan silat di Indonesia erat kaitannya dengan maraknya penerbitan koran
Cina waktu itu, bahkan ada yang terbit secara teratur bulanan khusus silat.
Kemudian berkembang lagi, ceritanya pun sampai Babad Jawa atau sama sekali rekaan yang berlatarkan Jawa. Bahkan
cerita silat ini banyak diminati oleh pengarang pribumi, seperti Arswendo
Atmowiloto dan SH Mintardja, yang telah menghasilkan cerita silat populer.
Selanjutnya dalam bidang
sastra bandingan, karya sastra terjemahan tidak dapat dibanding dari segi
stilistik dan tematik, karena selain terjemahan tentu saja tidak sama dengan
asli, karya asli itu final sedang terjemahan sudah banyak yang berbeda dengan
aslinya. Karya sastra tidak akan bisa dibanding-bandingkan jika bahannya karya
sastra terjemahan. Keunggulan bisa dicapaikan oleh terjemahan, sehingga sangat
mungkin terjemahan bisa lebih bagus dibanding dengan aslinya; hubungan
antarunsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih dalam, dan kemungkinan penghayatannya
lebih luas. Maka, terjemahan bukan sekedar reproduksi hitam dan putih, seperti
yang dikatakan Gifford, tetapi seperti karya lukisan berwarna yang juga sejajar
dengan aslinya.
Terjemahan seperti itu
menurut orang Prancis dianggap sebagai trahison
creatrice ’pengkhianatan kreatif’, sementara orang Italia menyebut traduttore sebagai traditore ’penerjemahan adalah pengkhianatan’. Ada dua pendapat
terkait penerjemah, yaitu bahwa penerjemah dipengaruhi oleh yang diterjemahkannya
dan bahkan penerjemah juga bisa mempengaruhi karya yang diterjemahkannya. Pada dasarnya
penerjemah merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan dalam suatu
kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Hal ini
berarti diperlukan pengubahan kode agar sesuai dengan yang ada dalam kebudayaan
sasaran. Damono mengatakan bahwa kebudayaan sasaran berpengaruh dalam
penerjemahan, penerjemah mempengaruhi karya sastra yang diterjemahkannya.
Penerjemah sastra pada dasarnya adalah pengarang yang mencipta dengan batasan,
kungkkungan, dan ikatan yang berasal dari karya yang diterjemahkannya. Jika
ingin kreatif, ia harus berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan itu,
sebab ia diikat oleh kebudayaannya sendiri, dirinya sendiri, sehingga akibatnya
ia harus berkhianat agar bisa kreatif. Contohnya, yang pernah dilakukan oleh
sastrawan Chairil Anwar.
Chairil Anwar merupakan
tokoh sejarah sastra yang dianggap membawa pembaruan sastra. Chairil Anwar
mampu mengalihkan sastra sumber ke sastra sasaran. Hal itu tergambar dari salah
satu sajak yang terjemahannya dari karya John Cornford dengan judul Poem, yang dalam terjemahan diberi judul
Huesca. Dalam menerjemahkannya
Chairil dapat dikatakan setia
terhadap yang aslinya, karena ia tidak mencuri atau pun meminjam larik sajak
asing untuk kepentingan kreatifnya sendiri. Namun, dalam prosesnya ada beberapa
larik sajak yang tidak ditransliterasikan oleh Chairil sesuai arti terjemahan
yang sebenarnya, melainkan dengan menciptakan ungkapan baru yang mempunyai
kehalusan makna daripada bahasa aslinya, serta untuk memburu rima dengan
rangkaian kata yang berbeda.
Chairil Anwar selain
dikatakan setia, namun juga dianggap
melakukan “pengkhianatan” yang lebih
jauh. Chairil dianggap melakukan plagiat dengan meminjam beberapa larik-larik
sajak MacLeisch ”The Young Dead Soldier”
yang dalam penciptaan sajaknya yang berjudul Krawang Bekasi. Sajak MacLeisch memuat nilai-nilai yang universal
tentang seorang prajurit muda yang tidak terikat oleh waktu dan tempat. Sementara
sajak Chairil terikat oleh waktu dan tempat yaitu di Krawang-Bekasi ketika
zaman merebut kemerdekaan. Nada yang tersirat dalam kedua sajak tersebut sebenarnya
sangat berbeda, MacLeisch menyuarakan perdamaian dunia, sedangkan Chairil
mengobarkan semangat perjuangan. Maka bisa dikatakan, bahwa penyair Chairil
Anwar bisa mempengaruhi atau mengubah sajak MacLeish menjadi sajak yang baru.
Terjemahan adalah karya
sastra yang bertahan hidup. Damono mengutip pendapat Giffort bahwa karya sastra
mengalami ”second existence” kehidupan kedua. Contohnya epos Mahabharata
dari India telah mengalami kehidupan yang kesekian kalinya karena telah
diterjemahkan oleh penyair di Indonesia. Contoh lainnya juga dengan beberapa
karya klasik Barat seperti kisah pelayaran Odysseus oleh Homerus, yang telah
mengalami terjemahan bahkan oleh penyair modern Eropa sendiri. Nampaknya,
terjemahan tidak hanya dilakukan oleh sebuah bangsa terhadap bangsa lain,
tetapi masih banyak dilakukan dalam negeri itu sendiri. Misalnya Beolwulf, puisi anonim dalam bahasa
Inggris kuno abad ke-8, yang kemudian diterjemahkan beberapa kali dalam bahasa
Inggris modern, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, alasannya untuk keperluan
kepentingan akademik maupun umum.
Penerjemahan karya sastra yang
berasal dari bangsa, bahasa, dan zaman yang berbeda-beda meskipun berasal
bangsa yang sama, maka kebudayaan yang mendukungnya tentu telah mengalami
pergeseran-pergeseran. Dalam terjemahan, semua itu seolah berasal dari zaman
yang sama, namun tidak perlu menciptakan bahasa khusus bagi karya berbagai
pengarang. Ketika Taslim Ali menerbitkan bunga rampai Puisi Dunia (1953), ia menggunakan bahasa Indonesia yang sama untuk
menerjemahkan sejumlah besar sajak dari berbagai negeri dan zaman. Dalam
penerjemahan ini, sajak-sajak dari berbagai negeri, zaman, dan bahasa yang
berbeda-beda itu, harus tunduk pada bahasa yang dikuasi penerjemah.
Segenap terjemahan karya
sastra yang selama ini dikerjakan penerjemah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perkembangan budaya dan sastra bangsa. Oleh sebab itu,
seharusnya kedudukan penerjemah dan penerjemahan dalam studi telaah terjemahan
patut dipertimbangkan. Berbagai pandangan untuk menghilang istilah asli dan terjemahan
sulit dilaksanakan, bukan dalam kaitannya dengan dominasi yang asli atas
terjemahannya, tetapi terutama dalam kaitannya dengan para hak cipta karya
sastra itu. Namun, biar bagaimana pun sebenarnya kegiatan penerjemahan itu telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi perkembangan kebudayaan bangsa
Indonesia.
Bagian Enam: Sastra Bandingan Nusantara
Pada bagian keenam ini dibatasi
pada pembahasan studi sastra bandingan yang ada di nusantara atau Indonesia. Damono
menjelaskan tentang objek yang bisa dikaji dalam studi sastra bandingan di
Indonesia. Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negeri yang kaya
sebagai sumber bagi penelitian sastra bandingan. Di Indonesia, ratusan bahasa
sebagai kristalisasi nilai-nilai serta norma, dan ratusan kebudayaan etnik yang
menghasilkan kesenian, bahkan telah mencapai bentuk tulis maupun cetak. Indonesia
memiliki kekayaan bahasa yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang
majemuk, meskipun tidak semuanya memiliki aksara. Namun, menurut Damono
berbagai jenis tradisi lisan yang berkembang pun merupakan bahasa yang tidak
akan habis-habisnya dikaji dalam rangka kegiatan penelitian sastra bandingan.
Beberapa bahasa yang
mengembangkan aksaranya sendiri seperti Jawa, Bali, Bugis, dan Batak, dapat
menghasil karya sastra dalam aksara bahasa mereka sendiri, dan disebut sastra
daerah. Sastra daerah di Indonesia biasanya dipengaruhi oleh perkembangan
mitologi, dan kelompok etnik tersebut mengembangkan mitologi sendiri, bahkan
diantaranya mengembangkan agama sendiri. Selain itu, beberapa di antaranya
merupakan pengaruh atau hasil pengolahan kebudayaan lain.
Damono juga menjelaskan
bahawa sastra, sebagai bagian dari kebudayaan, ditentukan antara lain oleh
geografi dan sumber daya alam, yang membentuk masyarakat serta menentukan tata
nilai. Dulu, nenek moyang kita menciptakan berbagai sastra lisan, seperti dongeng,
legenda, dan puisi lisan yang mengandung tata nilai yang dianut oleh masing-masing
masyarakat yang berbeda geografisnya. Contohnya saja, legenda yang diciptakan
oleh masyarakat Sangihe, yang basis kehidupannya laut, tentu sangat jauh berbeda
dengan dongeng yang muncul dalam kebudayaan Bali yang tumbuh dalam kebudayaan
agraris. Corak kebudayaan yang berbeda itu yang akhirnya membuat sastra lisan diciptakan
dalam wujud yang beragam pula. Hal yang serupa juga terjadi pada karya sastra
tulis. Misalnya saja, sastrawan Minang menulis novel dalam bahasa Indonesia,
tetapi belum tentu bisa dipahami oleh pembaca dari Bali, meskipun mereka
mengerti dan bisa berbahasa Indonesia, begitu juga sebaliknya. Hal itu
membuktikan bahwa adanya pengaruh kebudayaan dan pandangan hidup yang berbeda
antara orang Minang dan Bali.
Damono mengutip pernyataan
A. Ikram (1990) berdasarkan konsep oleh Clementes (1978), yang menawarkan studi
perbandingan didasarkan pada karya sastra yang berkembang di nusantara, yakni
(a) genre dan bentuk, (b) periode,
aliran, dan pengaruh, serta, (c) tema dan mitos. Di Indonesia ada beberapa genre yang berkembangan serta bisa
dijumpai dimana pun, salah satunya yaitu genre
wiracarita yang berbentuk syair kidung, kakawin, hikayat, berbagai jenis teater
rakyat, dan penglipur lara. Wiracarita ini biasanya kisah tentang kepahlawanan,
contohnya Hikayat Abdul Muluk hasil kakawin genre
wiracarita dari Arab yang dipentas dalam teater rakyat, disebut sebagai Dulmuluk.
Perbandingan antara kisah kepahlawanan yang muncul dalam berbagai bentuk itu
termasuk kegiatan penting dalam sastra bandingan. Selanjutnya kisah
Maharabharata dan Ramayana, diambil dari India kemudian muncul dalam
berberbagai bentuk atau versi di Indonesia. Kakawin ditulis dalam bahasa Jawa
Kuna, dan Hikayat ditulis dalam bahasa Melayu. Perbandingan antara keduanya
bisa mengungkapkan banyak hal, kendala pertama yaitu bahasa. Sehingga dalam
penelitian sastra bandingan sangat penting penguasaan kedua bahasa asli, baik
kakawin maupun hikayat.
Tokoh-tokoh dalam wiracarita
ditafsirkan secara simbolik atau alegoris, karena bisa memperkaya bahasa dan
sastra. Genre yang berasal dari India
biasanya diambil oleh masyarakat yang mendapat pengaruh budaya India seperti
Jawa dan Thailand, namun seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda. Di
Jawa cerita Ramayana diterima sebagai
kisah kepahlawanan yang mengandung nilai-nilai luhur yang menjadi teladan bagi
para pemimpin, sementara di Thailand ditafsirkan sebagai naskah keagamaan. Tapi
yang jelas, genre wiracarita ini
masih bertahan sampai sekarang, karena pada hakikatnya menggambarkan kisah
hidup manusia yang penuh dengan perjuangan dan pertualangan, bisa berakhir
sedih atau pun bahagia.
Kembali Damono mengutip
pendapat Ikram (1990), yang mengatakan bahwa dalam sastra tradisonal, sastra
didaktik hadir beragam bentuk seperti syair, hikayat, cerita berbingkai,
kidung, sastra tanya-jawab, cerita binatang, yang fungsinya sebagai wahana
memberi nasihat. Tokoh fiksi didaktik dalam sastra klasik dan sastra modern
kadang menggunakan binatang, sebagai tokoh untuk menyampaikan nasihat. Berbagai
jenis binatang diciptakan untuk menyampaikan pesan yang antara lain meliputi
keagamaan, adat, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia,
binatang yang populer sebagai tokoh fiksi didaktik adalah kancil. Sastra Parsi
klasik yang biasa digunakan adalah burung. Sementara khasanah sastra Inggris modern
ada novel George Orwell, Animal Farm,
yang menggunakan berbagai jenis binatang sebagai tokoh fiksi didaktik. Kisah
lain yang menggunakan tokoh fiksi didaktik juga terdapat dalam sastra Jawa
modern seperti Dongeng Soto Kewan
karta Prijono dan dalam sastra Indonesia modern seperti cerita pendek yang judulnya
Kisah dari Negeri Kambing ditulis
oleh A.A. Leo.
Sastra didaktik tidak harus dalam
menyampaikan pesan menggunakan bentuk tokoh binatang dan prosa. Salah satu
contohnya, Gurindam 12 karya Raja Ali
Haji yang ditulis dalam bahasa Melayu, berupa puisi dua larik yang berirama
yang diolah untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan serta etika sosial. Salah satu baitnya “jika anak tidak dilatih,
besarnya nanti ayahnya letih.” Selain itu, pantun tidak hanya untuk bercanda
dan masalah cinta, tapi juga digunakan sebagai sarana menyampaikan pesan yang
mempertimbangkan hakikat agama dan kearifan hidup, yaitu baik dengan
penyampaian secara lugas, terselubung, maupun dengan kelakar.
Sastra sejarah merupakan genre yang ada dimana-mana. Misalnya
dalam kesusastraan Inggris legenda tentang Raja Arthur menjadi bagian penting
dalam sejarah. Drama Shakespeare juga termasuk dalam sastra sejarah karena
banyak mengungkapkan kisah-kisah raja. Di negara Indonesia, kebudayaan Melayu
telah menghasilkan Sejarah Melayu, selain
itu kebudayaan Jawa juga telah mengasilkan sejumlah besar babad, yang juga dianggap sejarah. Maka, sebenarnya sastra sejarah dihasilkan
oleh semua masyarakat yang pernah memiliki kerajaan, sebab dalam satu fungsinya
adalah untuk mencatat apa yang telah dilakukan suatu dinasti dalam menciptakan
kerajaan yang dipimpinnya. Ciri sastra sejarah sebagai alat legitimasi
kekuasaan, sastra sejarah yang panjang dan lengkap menjangkau asal-usul suatu
masyarakat mulai dari zaman prasejarah sampai zaman sejarah. Dalam upaya
merunut asal usul itu sastra sejarah bisa dimulai dengan mitologi yang
menjelaskan asal-muasal suatu bangsa.
I La Galigo merupakan salah satu contoh sastra sejarah, yang berasal
dari Bugis dan babad Tanah Jawi dari
Jawa. I La Galigo mengungkapkan
asal-usul orang Bugis, mulai dari penciptaan manusia sampai ke gambaran
mengenai raja-raja Bugis yang menjadi pahlawan masyarakatnya. Sedangkan Sastra
sejarah babad Tanah Jawi dimulai
dengan penciptaan dunia yang didasari oleh mitologi Hindu, kemudian diteruskan
dengan genesis yang diambil dari kitab suci agama di Barat yang menyebut Adam
dan nabi-nabi lainnya, kembali ke Kahyangan atau kerajaan langit para dewa,
hingga menjelma ke dalam kehidupan dunia menjadi manusia. Maka apabila
ditelusuri lebih jauh, banyak hal yang diungkapkan dalam sastra sejarah. Kita
bisa melihat konsep-konsep berbagai hal, seperti keagamaan, kerajaan,
pemerintahan, pengabdian, dan kerakyatan.
Kemudian, salah satu genre
tradisi lisan di Indonesia yang dimiliki oleh setiap suku bangsa, yaitu mantra.
Genre sastra lisan yang satu ini
biasanya dipergunakan untuk mencapai maksud atau tujuan tertentu. Dalam
masyarakat lama, mantra dipercaya dapat menimbulkan dan menghasilkan berbagai
hal di samping mendukung niat seseorang untuk mencapai tujuan, baik bersifat
positif maupun negatif. Fungsinya mantra tidak ada batasannya, sehingga mantra
bisa dipergunakan untuk apa saja, sesuai tujuan yang diinginkan penggunanya. Setiap
masyarakat menciptakan mantra untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, tentu saja dipengaruhi kondisi geografis dan
budaya yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat. Misalnya, mantra orang
Sangir sangat jauh berbeda dengan mantra orang Bali.
Mantra merupakan sumber
penelitian yang subur dalam penelitian sastra bandingan. Sebab, genre ini bisa ditemukan kapan pun dan
dimana pun, tidak hanya di Indonesia dan tidak pula hanya dalam bentuk sastra
lisan. Jika genre ini diteliti akan
dengan mudah mengetahui watak masing-masing bangsa. Tema, diksi, perbandingan,
dan perlambangan merupakan bahasa studi yang penting dalam penelitian genre ini. Banyak genre sastra dalam tradisi tulis menggunakan anasir mantra dalam
usaha para penyair modern untuk mencapai efek puitik yang diinginkan.
Pengulangannya dan kesejajarannya, kemudian terus dikembangkan dalam sastra modern,
untuk mengungkapkan masalah dan perasaan baru, hingga akhirnya muncullah gejala
ativisme.
Penelitian sastra bandingan
selanjutnya adalah studi mengenai bentuk, meskipun cakupannya tidak seluas
studi mengenai genre. Jawa, Sunda,
dan Bali memiliki bentuk-bentuk tembang yang sama. Namun, perbandingan
bentuk-bentuk tersebut bisa saja menghasilkan pengertian mengenai perkembangan
dan strategi pengembangan dalam bentuk tersebut. Ada beberapa penelitian yang
bisa dilakukan untuk sastra perbandingan mengenai bentuk, yaitu tembang, pantun,
parikan, soneta, sastra tanya jawab dan cerita berbingkai. Sesuai kutipan
Damono (Ikram, 1990:10), bentuk yang sangat digemari oleh para sastrawan adalah
sastra tanya-jawab, seperti bentuk serupa kesusastraan Arab dan Sansekerta.
Selain itu, para sastrawan juga sangat menggemari bentuk cerita berbingkai,
contohnya kisah 1001 Malam. Alasan
para sastrawan menggemarinya, mungkin karena memiliki kelenturan yang
memungkinkannya untuk menampung berbagai masalah didaktik yang berkembang dari
masa ke masa.
Orang tidak akan mau
melakukan sesuatu tanpa ada manfaat yang akan dihasilkan, baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain nantinya. Begitu juga dengan studi sastra perbandingan,
tentunya para sastrawan melakukan penelitian untuk mengetahui asal-usul dan
seluk-beluk karya sastra itu bisa dihasilkan, serta untuk menjelaskan mengenai
upaya transformasi yang dilakukan masing-masing kebudayaan yang ada. Contohnya,
cerita Amir Hamzah yang aslinya berbahasa Arab, kemudian mengalami perubahan
bentuk yang sangat jauh dalam sastra Bugis, Sasak, Melayu, dan Jawa. Cerita
lain yang mengalami transformasi adalah kisah-kisah mistik para Nabi Muhammad yang
terdapat dalam sastra tulis daerah di nusantara, yang serupa dengan kisah-kisah
mengenai para wali. Cerita-cerita seperti itu baik tema dan mitos ketika diolah
dengan kreativitas yang lebih oleh para sastrawan akan menghasilkan wajah baru
dalam dunia sastra modern. Tentu hal ini juga akan memberi pemahaman yang lebih
dalam tentang kesusastraan dan kebudayaan masyarakat.
Bagian Tujuh: Membandingkan
Dongeng
Pada bagian ini
pembahasannya lebih fokus ke dongeng, karena dalam penelitian sastra bandingan,
sebuah dongeng dapat dibandingkan dengan dongeng lain, yang berasal dari
berbagai negara, tentunya dongeng yang mirip. Penelitian ini tidak hanya
mengungkapkan keaslian dan pengaruhnya terhadap yang lain, tetapi lebih
kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan watak suatu
masyarakat. Dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat
dipilah-pilah menjadi mitos, legenda, dan fabel. Contoh untuk menunjukkan
pendekatan perbandingan mitos dalam dongeng adalah kisah Oedipus di Yunani Kuno
yang telah berkembang selama ribuan tahun di masa lampau. Tetapi, di dalam akhir
cerita kisah Oedipus ini terdapat berbagai versi yang berbeda, baik versi
Homerus maupun versi Sophocles. Perbedaan versi inilah yang nantinya digunakan
dalam membandingan dongeng.
Kisah tentang Oedipus sangat
terkenal di berbagai negeri Eropa. Para sastrawan Eropa, seperti Pierre Corneille,
John Dryden, dan Voltaire, berhasil menggunakan tokoh dalam dongeng itu menjadi
sebuah rentetan drama yang panjang. Pada zaman selanjutnya, kisah ini
diungkapkan lagi atas ketertarikan dikalangan dramawan Perancis menjadi bentuk
pertunjukan drama. Pendekatan yang berbeda dilakukan oleh seorang dramawan
Yunani klasik, Sophocles dalam Oedipus
Rex ’Oedipus Sang Raja’ ending
ceritanya berakhir teragis. Kemudian drama tersebut dilanjutkkan oleh Sophocles
dalam drama Oedipus di Kolonus, sang
raja meninggal dalam pengembaraan.
Uraian ringkas di atas
nampak jelas bahwa dalam suatu tradisi kebudayaan yang sama, kisah mengenai
Oedipus ini memiliki versi yang berbeda. Artinya hal ini menjelaskan bahwa
setiap zaman memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan dan menafsirkan masalah
yang sangat hakiki dalam hidup manusia. Tradisi lisan yang beredar di Yunani
Kuno itu ditafsirkan oleh orang Yunani sendiri dan juga kemudian oleh
bangsa-bangsa lain di Eropa yang tentunya mendapat pengaruh dari kebudayaannya.
Salah satu kisah di Indonesia yang bisa dikatakan kisah yang mendapat pengaruh
dari kisah Oedipus adalah kisah Sangkuriang yang berasal dari Priangan-kebudayaan
Sunda, atau kisah Prabu Watu Gunung, dalam kitab Babad Tanah Jawi, yang dikenal sebagai kebudayaan Jawa Klasik. Tradisi lisan tentang kisah
Sangkuriang ini disesuaikan dengan kondisi geografis asal-muasal cerita itu,
dan dikaitkan dengan Gunung Tangkubanperahu.
Dalam perkembangan sastra
Indonesia modern, kisah Sangkuriang pernah dibuat dalam berbagai genre dan versi, yang dilakukan oleh seorang
dramawan, Utuy Tatang Sotani, yang menulis kembali cerita tersebut menjadi
sebuah drama dengan dua versi yang berbeda. Drama-drama yang ditulis itu lebih
merupakan resepsi pengarang atas dongeng itu dan oleh karenanya mengambil serangkaian
peristiwa yang berbeda. Kisah Sangkuriang banyak mengalami perkembangan di Pariangan
dalam berbagai versi. Ditilik dari berbagai segi, perbedaan yang ada antara
versi-versi itu, lisan manupun tertulis, tentu disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu sosial dan budaya. Jadi untuk menemukan dan mengapresiasi makna yang
lebih dalam dapat dilakukan dengan cara penelitian sastra bandingan, baik
penokohan, latar, perlambangan, dan alur, bisa ditelusuri, kemudian menentukan
perbedaan dan persamaannya dalam upaya pemahaman mengenai kebudayaan
penciptaannya.
Kisah yang mirip dalam khasanah
sastra Jawa klasik itu juga ditemukan dalam Babad
Tanah Jawi, yaitu sebuah kitab Jawa klasik yang dianggap sebagai sejarah,
mengutip berbagai kisah dari tradisi lisan untuk menentukan asal-usul suku
bangsanya. Di awal buku itu dapat kita temukan alur dan tokoh yang bisa
dibandingkan dengan kisah Oedipus dan Sangkuriang. Kisah Jawa tentang
percintaan dan perkawinan antara anak laki-laki dan ibunya itu sama sekali
berbeda dalam latar, penokohan, dan alur. Sementara dalam kebudayaan Yunani
klasik kisah itu tidak mengaitkan kisahnya
dengan penciptaan dunia.
Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu
Watugunung merupakan tokoh utama dalam kisah yang mirip, yaitu seorang
laki-laki yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya, hanya saja ketiganya hadir
dalam versi yang berbeda. Dalam hal ini, untuk membandingkannya harus
menggunakan pendekatan status sosial
tokoh-tokoh yang berbeda satu sama lain. Sehingga, dengan pendekatan ini
dapat dimuat daftar perbedaan dan persamaan unsur-unsur formal kisah-kisah
tersebut. Selanjutnya, bisa dilakukan penafsiran secara objektif, bahkan bisa
juga dikaitkan dengan faktor sosial, politik, dan budaya yang mendasari
penciptaannya.
Bagian Delapan: Dalam Bayangan Tagore
Rabindranath Tagore, seorang
sastrawan Asia pertama yang menerima Hadiah Nobel bidang kesusastraan, tahun
1913, setahun setelah puisinya dalam versi Inggris yang berjudul Gitanjali diterbitkan. Ia berasal dari
India, karya sastranya dikenal luas di kalangan sastrawan. Sejumlah karyanya
diterjemahkan dalam bahasa asing, Melayu, Jawa, dan bahasa Indonesia. Ia bahkan
menjadi panutan dalam banyak hal bagi para penyair muda pada majalah Pujangga Baru 1930-an. Namun, lambat-laun
penyair-penyair India tidak mengacu lagi padanya, Tagore tidak ada lagi dalam
puisi mereka. Puisi Tagore bergema semangat India Purba atau dalam puisinya
mengembangkan kabut mistisme. Salah
seorang penyair Inggris William Buttler Yast menyatakan bahwa dalam puisi
Tagore perempuan sudah kehilangan arti badaniahnya, kehilangan arti sebagai
perempuan yang nyata.
Hubungannya dengan sastra
Indonesia, puisi Tagore telah diterjemahkan yang diberi judul Tukang Kebun. Keberadaan Tagore dalam sastra Indonesia dianggap terlalu
tua. Namun, Damono di dalam buku ini tidak membenarkan hal tersebut. Bahkan, puisi
Tagore Gitanjali memberikan pengaruh
besar minatnya dalam menekuni kesusastraan ketika remaja, karena Damono juga
mengagumi beberapa karya besar dari Eropa, Cina dan Jepang, yang karya tersebut sudah ada ratusan
tahun sebelum Tagore muncul.
Konon, salah satu ciri
keunggulan karya sastra adalah kemampuannya menerobos pembatas zaman, artinya
karya yang baik akan dihargai dan dihayati dari zaman ke zaman, baik di
negerinya sendiri maupun di negeri asing. Ketika Gitanjali diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Inggris pertamakali
tahun 1912, pembaca Barat menjadi sadar bahwa di zaman modern ada pujangga non-Barat
yang bisa menghasilkan karya agung. Setahun kemudian Tagore menerima Hadiah
Nobel. Ezra Pound menyatakan bahwa ia menemukan Yunani Baru dalam puisi Tagore.
Akhirnya, selama tiga puluh tahun gema karya Tagore, terutama puisi Gitanjali dan Tukang kebun terdengar jelas di Barat, maupun di Timur. Selanjutnya,
sejak itu banyak munculnya sajak-sajak yang bergaya Tagore.
Puncak minat terhadap gaya
penulisan Tagore di Indonesia terjadi pada tahun 1930-an dan 1940-an, seperti Amir
Hamzah, Sanusi Pane, dan Aoh K. Hadimadja, dengan menulis prosa liris yang mirip
seperti gaya penulisan Gitanjali dan Tukang Kebun. Setelah tiga puluh tahun Tagore menerima Hadiah Nobel,
pupularitas Tagore mulai menurun. Hal itu disebabkan tidak ada penyair yang
mencoba dengan sunguh-sungguh untuk mengembangkan gaya penulisan prosa liris Tagore.
Sementara, di India sendiri Tagore sudah menjadi bagian (milik) dari sejarah.
Penyair Indonesia mulai menganggap gaya penulisan Tagore tidak perlu
dikembangkan.
Orang mengenal Tagore
sebagai pujangga Asia pertama menerima Hadiah Nobel, namun tidak banyak yang
tahu tentang Tagore yang telah menghasilkan lebih dari 1000 sajak, lusinan
naskah lakon, novel, kumpulan cerpen, ribuan lagu dan lirik musik, bahkan masih
banyak lagi karyanya yang meliputi kesusastraan, kemasyarakatan, keagamaan, dan
politik. Jadwal kegiatannya sangat padat, sebagai pendidik, pembaharu sosial
dan agama, serta politisi, namun bisa menjadi pujangga besar. Titan, tokoh yang sangat menjulang dan
luar biasa perkasa dalam dunia sastrawan serta budayawan, hanya dalam waktu 60
tahun. Tagore bagian yang tidak bisa terpishakna dalam kesusastraan Indonesia, yaitu
melalui karya-karyanya yang telah diterjemahkan. Buktinya, Amal Hamzah dan
Hartojo Andang Djaja telah berhasil menulis puisi yang indah berdasarkan edisi
bahasa Inggris karya Tagore.
Sejumlah karya Tagore telah diterjemahkan
dalam bahasa Inggris, baik dilakukannya sendiri maupun orang lain. Pada waktu penerjemahan
karya Tagore ke dalam bahasa Inggris dilakukan dan banyaknya jumlah karya yang
dihasilkan, maka bisa berdampak pada mutu karya Tagore yang tidak merata. Pemilihan
yang tidak cermat mengakibatkan karya Tagore yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris terkesan tunggal nada. Damono mengutip pendapat Ghos, bahwa
sajak Gitanjali, Tukang Kebun, telah
menampilkan sejumlah lirik yang terindah. Namun, di sisi lain terungkap bahwa Tagore
sangat sering menulis tanpa adanya dorongan yang kuat, tanpa tegangan tinggi
antara perasaan dan ekspresi. Damono pun mengakui bahwa puisi Tagore enak dan
memikat, hanya saja jarang yang bisa mengharukan dan meyakinkan pembaca.
Pada kutipan Damono terhadap
Ghosh, umumnya kelemahan puisi Tagore lebih tampak dalam terjemahan bahasa
Inggrisnya dari pada aslinya, meskipun ada beberapa sajak yang lebih baik dalam
terjemahan bahasa Inggrisnya. Jika ingin menghayati karya Tagore sebaiknya
membacanya dalam bahasanya yang asli, karena hampir semua terjemahan Tagore
tidak lain adalah rekaman kerangka karya aslinya. Terjemahan itu berupa
ringkasan atau parafrase semi-puitik, bahkan pseudo-puitik. Tagore sering menerjemahkan sajaknya sendiri, sehingga
ia memiliki kebebasan ketika ingin mengubahnya, bahkan menciptakannya kembali.
Akibatnya ada sajak mistiknya Sonar Tari
atau Perahu Kencana, mengalami
reparasi sampai dua pertiga bagian sehingga yang tinggal hanya sepertiga sajak
yang sama sekali tidak mengandung darah hidup versi aslinya.
Dalam menerjemahkan Gitanjali, Amal Hamzah telah berusaha
sebaik-baiknya untuk mengalihkan berbagai gagasan romantik yang mencakup antara
lain kesatuan manusia dan alam, kesenduan, mistisisme, kepurbakalaan, dan
idealisme ke dalam bahasa Indonesia. Amal hamzah termasuk yang ’setia’ dalam
menerjemahkan Gitanjali berdasarkan
interpretasinya; ia tidak menambahkan ataupun mengurangi. Lain halnya Hartojo
Andangdjaja dalam menerjemahkan Tukang
Kebun, dengan menggantikan semua kata ganti orang kedua itu dengan huruf
kecil, kecuali dalam persi bahasa Inggris. Menurut Damono, puisi Tagore sangat
mempesona karena mengandung ketaksaan, atau ketegangan yang muncul karena penafsiran terhadap
hubungan-hubungan yang diungkapkan puisi itu antara Tuhan dan manusia atau antara manusia dan manusia.
Andangjaya membiarkan ketegangan itu lestari dalam terjemahannya, merupakan
hasil terjemahan yang baik, yang telah memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Hartojo tidak tertarik untuk
mengikuti jejak gaya prosa liris Tagore, sedngakan Amir Hamzah dan Sanusi Pane
menaruh minat yang besar terhadap gaya penulisan Tagore. Dalam puisi Amir
Hamzah yang berjudul Doa, terdapat
kemiripan gaya penulisannya dengan Tagore. Jejak teknik penulisan puisi Tagore
bahkan mempengaruhi beberapa sajak ciptaan Takdir Alisyahbana, yaitu seorang
sastrawan yang sering menyuarakan kebudayaan baru dan menyingkirkan segala
sesuatu yang dianggapnya lama. Jika dilihat dari sejarah kehidupannya, Amir
Hamzah dan Tagore sama-sama berasal dari kehidupan yang selalu berkecukupan, bahkan
bisa dikatakan tidak pernah menderita. Hal itu pula yang mempengaruhi
karya-karya sastra mereka. Namun, hanya perbedaannya dengan Amir Hamzah, Tagore
menjalankan berbagai kegiatan sosial dan politik. Perhatiannya pada dunia
pendidikan, Tagore mendirikan sekolah Saintiniketan dan lembaga Viswabharati.
Kebesaran jasa-jasanya di bidang kebudayaan merupakan alasan penganugerahan
gelar kebangsawanan Inggris Sir
kepadanya pada tahun 1915, tetapi empat tahun kemudian Tagore mengembalikan
gelar itu sebagai protes terhadap kekejaman pemerintah kolonial Inggris di
Punjab.
Berdasarkan gambaran ringkas
itu, dapat diambil kesimpulan bahwa studi mengenai seorang tokoh dalam
penelitian sastra bandingan, mampu menghasilkan berbagai jenis tinjauan, baik mengenai
jejak, kritik, penerimaan, maupun masalah penerjemahan karya-karya sastra yang
dihasilkan. Tagore hanyalah suatu contoh, tokoh-tokoh lain akan menunjukkan
bahwa sastra kita merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan sastra dunia. Bahkan karya sastra itu bisa dipahami lebih baik
jika disandingkan dengan karya-karya sastra bangsa-bangsa lain.
Bagian Sembilan: Jejak Romantisisme dalam Sastra
Indonesia
Pada bagian ini akan membicarakan
tentang perkembangan dan perluasan mahzab, yaitu romantisisme di Indonesai
sebelum kemerdekaan. Sastra bandingan menjanjikan pendekatan yang memadai untuk
mengungkapkan berbagai hal yang berkaitan dengan gaya penulisan dan pemikiran
yang menumbuhkannya. Sajak J.E. Tatengkeng berjudul Berikan Aku Belukar, dan sajak Sanusi Pane Mencari, merupakan bukti karya kreatif yang menunjukkan ciri serta
semangat yang mirip satu sama lain, bisa dikelompokkan menjadi sebuah gerakan
atau kesadaran, di dunia Barat disebut romantisisme. Gerakan romantik di Barat
merambat dari satu negeri ke negeri lainnya. Gerakan romantisisme itu menyebar
ke seluruh Eropa bahkan ke seluruh dunia. Sebenarnya di negeri luar Eropa juga
terdapat ciri-ciri Romantisisme yang hadir dalam bentuk tradisi lisan maupun
dalam kitab-kitab klasik dalam berbagai bahasa yang tersebar di seluruh Asia.
Ciri-cirinya romantisisme
yaitu, penekanan pada pembebasan individu dari sikap sosial, politik yang konvensional
dan mengekang. Damono menjelaskan, bahwa pengarang romantik umumnya menaruh
minat terhadap kebudayaan abad pertengahan, yang cenderung percaya kepada iman,
bertentangan dengan zaman pencerahan dan juga logika. Romantisisme lebih
berurusan ke emosi daripada rasionalitas, lebih menghargai individu daripada
masyarakat, lebih menghargai alam daripada budaya. Sehingga, tatanan, konvensi,
dan protokol sosial dianggap sebagai kekangan terhadap kebebasan individu,
kadang emosi sering disampaikan secara berlebihan. Damono mengutip kata-kata William
Wordsworth, seorang tokoh utama gerakan romantik dalam perkembangan puisi
Inggris, spontaneous overflow of powerful
feeling, yang artinya “luapan spontan dari perasaan yang
menggebu-gebu.”
Di Indonesia, gejala Romantisisme
muncul ketika negeri ini berada dalam situasi pergolakan politik, yang
dilandasi oleh rasa kebangsaan pada diri kalangan kaum muda. Jika di Eropa
nasionalisme muncul pada saat yang bersamaan dengan rangkaian keributan politik
dan kesadaran seniman tentang pentingnya kesenian rakyat. Di Hindia Belanda
nasionalisme mulai berkembang di awal abad ke-20 dan puncaknya pada Sumpah Pemuda 1928. Para
penyair secara sadar menulis sajak-sajak tentang makna kebangkitan bangsa,
dengan cara mengungkapkan rasa kebangsaan berapi-api. Contohnya sajak Fantasi oleh Ipih, Bangunlah, O Pemuda oleh Hasjmy, dan drama Bebasi oleh Rustam Effendi.
Seperti yang diungkapkan
oleh Takdir, individualisme menjadi penting dalam gerakan romatik Eropa.
Sebelum abad ke-18, hanya sedikit orang Eropa yang mencoba untuk menjadi individu
di luar “kasta” yang melahirkan mereka. Orang tidak mau keluar dari kelompok
sosial yang telah melahirkannya, seperti bangsawan, petani, dan pedagang. Namun,
individualisme semakin meluas ketika berkembangnya merkantilisme kaum
industrialis menolak untuk mengikuti pola kehidupan mereka sebelumnya. Hal itu
menjadi gagasan yang menarik, sebab mereka bisa berbuat dan menjadikan pasar
sendiri tanpa harus ada aturan dari gereja maupun aristokrasi. Perkembangannya
mencapai ribuan tahun di Eropa, yang membongkar tatanan sosial seiring
terjadinya revolusi.
Napoleon Bonaparte merupakan
tokoh dalam sejarah Eropa yang erat kaitannya dengan gagasan individualisme. Terlihat
ketika telah berhasil dengan kedudukan tinggi di Prancis, ia ingin menguasai
Eropa, di sinilah para tokoh mulai disanjung sekaligus juga dibenci. Seiring
perjalanan waktu pemberontakan mulai bangkit, “menemukan diri sendiri”, bahwa
iman terbaik hanya bisa dicapai dengan menentukan pilihan sendiri. Tugas
pemerintah adalah melayani individu atau masyarakat yang telah memilihnya.
Gagasan yang mengagung-agungkan individu itu yang kemudian harus ditanggung
masyarakat dan tradisi.
Gagasan romantik seperti itu
mulai mempengaruhi pemikiran dan pesona anak-anak muda di Indonesia, dalam
menghadapi situasi sosio-budaya. Sehingga timbulnya pemikiran romantik tidak
hanya timbul dalam kesusastraan, namun juga dalam perjuangan politik pada masa
itu. Sejak 1920-an serangkaian tindakan nasionalisme, idealisme, dan
individualisme muncul dalam berbagai bentuk, salah satunya majalah Pujangga Baru yang diterbitkan
intelektual muda. Damono mengatakan bahwa, Takdir tidak segan-segan menyebutkan
bahwa gagasan itu lahir dari “kaum terpelajar”, karena mereka memang belajar
melalui pendidikan Barat. Rasa yang diagung-agungkan oleh penyair tanah air itu
menjadikan nilai penting juga bagi gerakan Romantik Eropa. Seiring dengan itu,
yakni muncul sentimentalis atau perhatian terhadap perasaan kecil (cengeng).
Kemudian muncul perhatian terhadap segala sesuatu eksotik, yang jaraknya jauh,
tempat dan waktu, juga tidak jarang mempunyai konotatif primitif. Kegemaran
seniman Eropa mengambil objek negeri-negeri jauh, masa lampau, dan nilai-nilai
sederhana yang mereka agung-agungkan dan mereka sebut primitif, tetapi ada
dampaknya juga terhadap gagasan budayawan tanah air waktu itu.
Kebetulan adanya persamaan
mendalam terhadap kaum miskin dan tertindas, terutama akibat revolusi industri.
Indonesia pada masa kolonial Belanda juga merasakan penderitaan. Pada masa itu
Belanda membangun pabrik gula, kina, teh
untuk perdagangan internasional, akibatnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat, karena menggusur sawah
dan ladang para petani. Sama halnya romantisisme Eropa, para penyair saat itu
juga mengungkapkan rasa simpati atas kesengsaraan rakyat sebagai kaum
tertindas, akibat situasi ekonomi yang merosot, dengan sebutan malaise. Sajak-sajak
Ali Hasjmy, A.M.D.G Myala, dan M.R. Dajoh mengungkapkan simpati itu. Salah satu
sajak M.R. Dajoh yang berjudul Perempuan
Menumbuk Padi. Hal itu mengingatkan kita pada sajak seorang penyair
Inggris, William Blake yang berjudul London
sepenuhnya juga ungkapan simpati penderitaan rakyat yang mewakili sejumlah
besar sajak zaman Romantik karena penderitaan akibat industrilisasi. Blake
dalam sajaknya The Chimney Sweeper, menegasan
simpati terhadap anak-anak yang bernasib malang. Dajoh juga menciptakan sajak
yang menggambarkan penderitaan anak-anak, dengan judul Pekerjaan Anak.
Sikap penyair terhadap alam
di kalangan penulis Pujangga Baru juga
mengingatkan pada sejumlah sajak kaum Romantik Inggris yang menggunakan
berbagai jenis burung sebagai lambang kebebasan. Romantisisme mengagungkan alam
liar, karena manusia juga bagian dari alam, alam adalah suatu keutuhan. Artinya
mengagungkan dan penggambaran alam sejatinya merayakan alam, termasuk manusia
itu sendiri, seperti sajak Wordsworth dengan judul To The Cuckoo, dan sajak Shelley To The Skylark. Ciri-ciri Romantisisme bisa dilihat dalam sejumlah
cerita rekaan yang diterbitkan pada masa itu. Namun yang jelas jika ingin mengetahui
dan mendapat pemahaman serta gambaran yang lebih jelas, tentunya kita harus memperhatikan
dan menguraikan perbedaan serta persamaan kecenderungan yang ada pada
kesusastraan Indonesia terhadap perkembangan kesusastraan Eropa abad ke-17 dan
ke-18. Langkah ini tidak terbatas pada gerakan Romantik, tetapi juga gerakan
mashab, zaman, dan angkatan lainnya.
Bagian Sepuluh: Gatoloco:
Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Kesussatraan modern sangat cenderung
meminjam dan memanfaatkan segala sesuatu yang bersumber pada khasanah tradisi
dan kitab klasik sangat kuat. Sajak Goenawan Muhammad yang berjudul Gatoloco, sama judulnya dengan kitab
suluk. Perbedaannya bisa dilihat dari penulisan kata Kau yang bisa diartikan dengah Tuhan, sedangkan kau merupakan manusia biasa, begitu juga
dengan kata Aku. Atas dasar itu sajak
tersebut dikaitkan hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga menjadi tema penting
dalam berbagai jenis kesusastraan dalam berbagai kebudayaan. Damono
mengungkapkan, ada lima jenis hubungan yang menjadi masalah utama manusia;
hubungannya dengan Sang Pencipta, alam, masyarakat, manusia lain, dan dirinya
sendiri. Hal yang paling rumit ialah yang dikatakan pertama diantaranya, yang
sering menjadi teka-teki dan tak pernah ada jawaban. Contohnya, tertera dalam
ungkapan sajak Goenawan Muhammad;
Oke.
Kini aku mencoba mengerti. Ternyata Kau tetap
Ingin
mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
Argumentasi.
Ta[i mengapa Kau tetap di sini?
Damono mengatakan,
argumentasi memang hanya milik manusia, dan hanya bisa dipergunakan dalam
hubungannya dengan manusia lain, tidak dalam hubungannya dengan Tuhan. kehadiran
Kau selalu membawa teka-teki, kemudian memancing persona untuk memecahkan. Dilanjutkan
dengan jawaban;
“Jangan cemas,” gurau-Mu, “Aku tak,’kan menembakkan pistol
Ke pelipismu yang tolol.”
Kematian selalu dikaitkan
dengan kehadiran Kau. Ketegangan dalam sajak ini berkisar tentang masalah
manusia yang hakiki. Pertanyaan makna kehadiran Tuhan dalam hidup manusia,
mungkin saja untuk mengingatkan, atau menggugat atas manusia yang selama ini
menekankan pentingnya tindakan atau penghayatan. Terlihat jelas sekali,
pernyataan tersebut pembahasannya masih seputar hubungan manusia dan Tuhan. Jika
sajak Goenawan Muhammad dikaitkan dengan kitab suluk dengan menggunakan
pendekatan sastra bandingan, makna tersirat akan bisa lebih mudah dipahami. Kaitannya
sangat jelas masalah religiusitas manusia di zaman modern. Kemudian, latar,
metafor, lambang, dan segala piranti puitik yang digunakan penyair modern
sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Perbandingan yang dilakukan
akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik, sekaligus sikap yang ada dalam
masyarakat tertentu di Jawa mengenai hubungan manusia dan Tuhan. Goenawan telah
berhasil meminjam dan memanfaatkan kitab Gatoloco
untuk mengungkapkan posisi manusia di hadapan Tuhannya.
Bagian Sebelas: Alih Wahana
Alih wahana adalah perubahan
dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Karya sastra selain dapat
diterjemahkan, juga bisa dialihwahankan menjadi jenis kesenian lain. Cerita
rekaan bisa diubah menjadi tari, drama, atau film; sedangkan puisi bisa lahir
dari lukisan atau lagu. Sebaliknya bisa juga terjadi novel ditulis berdasarkan
film atau drama. Membandingkan benda budaya yang beralih wahana itu merupakan
kegiatan yang sah dan bermanfaat bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai
hakikat sastra.
Pada tahun 1950-an, di sudut
alun-alun kota Solo, tokoh Romeo dan Juliet bisa masuk dan dimainkan masuk
dalam lakon ketoprak. Kasus seperti ini dalam penelitian sastra bandingan,
pertama kali yang perlu diuraikan adalah bahwa lakon Shakespeare itu telah
menyeberang bagitu jauh, baik waktu dan tempat. Ia pun diterima oleh masyarakat
banyak dalam perjalanan yang selama ratusan tahun. Kisah-kisah seperti cerita Romeo-Juliet ini pun telah dihadirkan
kembali dalam bentuk cerita novel, terus diubah menjadi skenario sampai menjadi
sebuah film. Sebenarnya, antara karya sastra dan film didasarkan sejumlah unsur
strukturnya. Misalnya tokoh, latar, alur, dialog, dan sebagainya, harus diubah
sedemikian rupa sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain, untuk bisa
dinikmati.
Sebenarnya sah-sah saja
karya sastra diubah tampilan baru menjadi karya lain dalam bentuk sebuah film. Proses
perubahan karya sastra menjadi film disebut ekranisasi. Pada teori film,
dipergunakan sejumlah jargon yang bersumber dalam teori sastra. Tata bahasa
sangat dibutuhkan bagi sutradara dalam menyusun bahasa yang dipergunakannya
untuk pembuatan film. Perbedaannya, kalau dalam fiksi penciptanya hanya seorang,
sedangkan dalam pembuatan film yang bekerja melibatkan orang banyak. Misalnya,
novel Sitti Nurbaya, ketika selesai dijadikan film, kemudian ditentukan oleh
pilihan sutradara, dengan berusaha memilih aktor yang tepat yang mencirikan
penggambaran atas tokoh Sitti Nurbaya.
Unsur penting dalam
ekranisasi ini yaitu dialog. Film tidak memungkinkan adanya dialog yang panjang
seperti yang di dalam novel. Dialog yang diambil dari novel seperlunya saja
untuk kepentingan film. Jika dialog itu hilang atau perannya dikurangi, makan novel
Mh. Rusli akan muncul sebagai suatu karya seni yang amanatnya berbeda.
Perbedaan itu merupakan objek penelitian penting dalam sastra bandingan. Jika
diangkat ke panggung ketoprak, susunan dialognya tentu akan berbeda pula dengan
film.
Di Indonesia sudah ada usaha
untuk membukukan film, yaitu mengubah film menjadi novel. Prosesnya, novelis
berusaha memindahkan bahasa gambar ke bahasa verbal dan dibantu dengan skenario
film itu sendiri. Contohnya, cerpen Melly Goeslaw yang berjudul Tentang Dia, sempat dijadikan film oleh
sutradara Rudy Sujarwo, kemudian ditulis kembali menjadi sebuah novel oleh
Moamar Emka. Perbedaan dan persamaan yang terjadi dalam proses tersebut bisa
dijadikan sebagai bahan studi sastra bandingan. Adegan, dialog, penokohan, dan
latar bisa dibanding-bandingkan untuk mengusut ideologi apa yang ada di balik
perubahan-perubahan tersebut.
Dalam pementasan ketoprak
dan drama Shakespeare, para pemainnya tentunya harus profesional, hal ini agar mereka
bisa menafsirkan yang tertulis dalam teks. Kemampuan menafsirkan inilah yang
menarik untuk dibahas dalam sastra bandingan. Apabila menonton dan merekam
pementasan ketoprak atau drama Shakespeare, kita akan memperoleh uraian tentang
apa saja yang akan bisa dibandingkan. Contohnya, meskipun alurnya tidak jauh berbeda,
namun amanat dalam Romeo-Juliet bisa saja
jauh berbeda dengan pementasan ketoprak, begitu juga sebaliknya.
Sebenarnya, tentang alih
wahana ini, sangatlah banyak dan sering terjadi. Misalnya saja tokoh-tokoh ciptaan
Milne, di zaman sekarang mengalami alih wahana. Selain bukunya berubah menjadi
film kartun, kemudian mereka rubah lagi menjadi barang dagangan seperti tshirt,
tas, boneka, hingga mainan anak-anak lainnya, yang kini terpajang di toko-toko
di seluruh dunia. Hal ini sangat menarik dalam studi sastra bandingan. Namun,
permasalahan yang bisa diuraikan adalah tentang tokoh-tokoh yang berupa
rentetan kata berubah menjadi gambar animasi dan boneka hingga dalam berbagai
film.
Kasus selanjutnya, misalnya
epos Ramayana dan Mahabhrata diangkat ke film, pasti
diketahui juga perbedaan dalam penggambaran fisik tokoh sekaligus dalam
beberapa karakternya. Citraan tokoh Arjuna yang difilmkan di India dan
Indonesia tampak ada berbeda, karena dalam kebudayaan Jawa, Sunda, dan Bali
diciptakan tokoh-tokoh yang tidak terdapat di dalam sastra India. Hal ini tentu
saja dilakukan agar sesuai dengan kebudayaan masing-masing daerah. Studi sastra
perbandingan tentang perbedaan atau persamaan Ramayana dan Mahabbarata
yang sudah menjadi milik Indonesia akan memberikan perspektif baru tentang pengembangan
kebudayaan.
Di Indonesia ada istilah
musikalisasi puisi, yakni perpaduan antara puisi dan musik. Artinya jika karya
sastra diperlakukan secara kreatif akan mampu menghasilkan karya yang lebih
indah, yaitu dengan cara memadukan puisi dan musik, dalam bentuk nyanyian. Salah
satu contoh, grup musik populer Bimbo yang menggunakan sajak-sajak Taufiq
Ismail, seperti Sajadah Panjang, juga
sajak Ramadhan K.H., dan Wing Kardjo menjadi lirik lagu yang indah dinikmati.
Kajian yang dapat dilakukan sastra bandingan mengenai musikalisasi puisi ini, antara
lain tentang proses suasana dan jiwa puisi terekam dalam lagu, pengaruh nada
dalam memahami puisi. Selain itu, sastra bandingan juga bisa meneliti hubungan
antara anasir bunyi dalam puisi dan lagu. Kekayaan bunyi dalam puisi bisa
dianalisis berdasarkan konsep-konsep yang ada dalam bidang seni musik, hal ini
dilakukan agar hubungan antara makna dan anasir bunyi dalam karya sastra bisa
lebih dipahami.
Pada bagian terakhir pembahasan
tentang alih wahana ini, Damono menjelaskan kasus alih wahana yang terjadi pada
kesusastraan Jawa. Dalam sastra bandingan ada suatu prinsip penting yang
menyatakan bahwa karya sastra yang sudah diterjemahkan atau disadur berubah
statusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sastra bahasa sasaran dan
bukan lagi menjadi milik sastra bahasa sumber. Dengan demikian, karya sastra
Jawa yang bersumber dari sastra asing yang diperoleh melalui proses terjemahan,
saduran atau pinjaman, secara sah telah menjadi bagian sastra Jawa. Cara
mengalihkan sastra asing ke sastra Jawa itu, antara lain sebagai berikut.
Penerjemahan karya sastra ke
bentuk yang sama dengan sumbernya, puisi menjadi puisi, prosa menjadi prosa,
tanpa melakukan perubahan atas unsur-unsurnya. Kemudian, penyaduran karya
sastra ke bentuk yang sama dengan sumbernya, melalui proses penyesuaian dalam
unsur sastra agar sesuai dengan tuntutan kebudayaan yang akan menjadi induknya.
Selanjutnya, penyaduran karya sastra ke bentuk yang berbeda dengan sumbernya,
puisi menjadi prosa, atau sebaliknya, tanpa melakukan perubahan terhadap
beberapa unsurnya, seperti latar, alur, dan penokohan. Terakhir, dengan
penyaduran tradisi lisan ke karya sastra dengan mempertahankan beberapa unsurnya,
baik latar, alur, dan penokohan.
Damono juga menekankan bahwa
alih wahana merupakan peluang yang tidak ada habisnya bagi para penelitian
sastra bandingan. Penelitian sastra selalu melibatkan pancaindra yang pada
dasarnya membanding-bandingkan apa yang dilihat melalui pancaindra. Terlebih di
era perkembangan teknologi modern, bisa
dijadikan media dalam membahas sastra bandingan, hal ini dilakukan agar sastra
bandingan dapat dikaji lebih luas dan dalam lagi.
Bagian Dua
Belas: Penutup
Pada
bagian penutup ini Damono menguraikan secara ringkas langkah-langkah dalam
melaknasanakan penelitian sastra bandingan. Sesuai prinsip-prinsip Clements,
yang mengatakan bahwa setidaknya ada lima pendekatan yang dilakukan untuk
melakukan penelitian sastra bandingan, yakni tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan
bidang seni atau disiplin ilmu lainnya.
Tema/Mitos: langkah-langkah dalam
penelitian ini yiatu, usahakan menggunakan bahan perbandingan naskah asli,
yakni baik ditulis bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, jika membicarakan
mengenai stilistika hindari karya terjemahan.
Genre/Bentuk: dalam hal ini bisa
pembicaraan yang dikaji bisa apa saja, misalnya cerita detektif sebagai genre-nya. Hal yang diungkapkan bisa
perbedaan dan persamaan dua karya sastra, atau satu karya dari daerah/bangsa
yang berbeda.
Gerakan/Zaman: ini pembicaraannya
mengenai Romantisisme “modern”, yang berawal dari Eropa. Gerakan mashab lain
seperti realisme, eksistensialisme, dan absurdisme bisa menjadi pokok bandingan
yang berharga untuk menyusun sejarah dan pemahaman sastra.
Sastra dan Bidang Seni serta
Disiplin lain: jenis pendekatan ini tentu saja menuntut adanya penguasaan atas kedua
seni yang dibandingkan. Misalnya puisi dan musik, langkahnya dengan jenis pertanyaan
yang sama tetapi berdasarkan jargon yang berbeda-beda, yang ada kaitannya
dengan musik.
Sastra sebagai Bahan
Pengembangan Teori: mengkaji teori resepsi dan tanggapan pembaca, misalnya mengungkapkan
bagaimana suatu karya sastra berubah bentuk, ketika diterima oleh kebudayaan
lain, dan perubahan bentuk karya sastra itu sendiri.
KOMENTAR
Hakikatnya sastra bandingan merupakan
salah satu studi yang mengkaji dunia sastra dengan membanding-bandingkan antara
karya sastra satu dengan karya sastra lainnya, yang berada dalam lingkup atau
kerangka supranasional. Buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono sebenarnya sudah
memberi gambaran cukup jelas tentang kajian sastra bandingan. Di dalam buku
tersebut dijelaskan hampir semua pengetahuan tentang sastra bandingan. Namun
perlu diingat, jika ingin memahami secara mendalam tentang isi buku tersebut,
hendaknya harus dibaca berulang-ulang. Hal itu karena cara pembahasan yang
dilakukan Damono dalam bukunya bukan sepenuhnya teoritis, tetapi lebih pada
bentuk kepenulisan karya sastra. Kemungkinan karena latar belakang Damono juga
sebagai sastrawan atau penyair, sehingga banyak bercerita, kadang-kadang dengan
gaya penulisan sastra daripada penjelasan secara teoritis. Namun, apabila
dibaca berulang-ulang secara tuntas, dengan cara bab per bab, akan mudah
memahami, juga dengan mudah menarik kesimpulan maksud yang disampaikan Damono
dalam bukunya.
Selain itu, jika dicermati
dengan teliti di dalam buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan masih banyak kosakata yang kurang jelas, ejaan
yang salah, susunan kalimat yang kurang tepat. Contohnya; pada bagian sepuluh,
didaftar isi tertulis Gatotkoco, tetapi dipembahasannya tertulis Gatoloco,
keselahan-keslahan seperti itu masih banyak ditemukan dalam buku ini. Demi
menambah wawasan serta khasanah tentang kajian penelitian sastra bandingan,
penulis memberikan penawaran bagi peneliti sastra, khususnya sastra bandingan
untuk membaca atau pun memiliki buku Metodologi
Penelitian Sastra karangan Dr. Suwardi Endawarsa, M.Hum. Buku ini diterbitkan
oleh penerbit CAPS di Yogyakarta tahun 2013, dengan ISBN (10) 602-9324-26-8,
serta ketebalannya 204 halaman. Buku ini ada karena adanya rasa keprihatinan
pengarang terhadap perkembangan penelitian sastra yang masih kekurangan
metodologi untuk berpijak dalam melakukan penelitian. Oleh sebab itu, tidak ada
salahnya buku ini dipakai sebagai referensi dalam metodologi kajian sastra
nantinya. Buku ini sengaja dihadirkan untuk para peneliti, agar bisa menentukan
dan memilih metode yang sejalan, cocok, atau sesuai dengan hal yang akan
diteliti, termasuk dalam penelitian sastra bandingan.
Buku Metodologi Penelitian Sastra karangan Dr. Suwardi Endaswara, M.Hum.
ini membahas berbagai macam metodologi penelitian sastra. Ada empat belas jenis
penelitian sastra yang disajikan dan disertai metodologinya di dalam buku ini.
Salah satu di antaranya adalah bagian 13 yang membahas Penelitian Sastra Bandingan. Pembahasan pada bagian ini disajikan
dalam enam sub bagian. Bagian buku yang membahas penelitian sastra bandingan
ini merupakan lanjutan dari buku Damono yang membahas sastra bandingan secara
luas.
Sub bagian pertama membahas Konsep Sastra Bandingan, yang berisi penjelasan tentang hakikat
kajian sastra bandingan dan ilmu sastra bandingan. Pada sub bagian ini Suwardi juga
menjelaskan bahwa istilah sastra bandingan dan sastra perbandingan merupakan
dua hal yang mempunyai implikasi yang sama. Menurut Suwardi (2013:128), sastra
bandingan adalah sebuah studi across
cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak
memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Penjelasan
tentang konsep sastra bandingan yang dikemukakan Suwardi dan Damono lebih
kurang sama, sastra bandingan merupakan studi perbandingan antar suatu karya
sastra dan karya sastra dengan bidang lain yang terikat pada periode dan
wilayah geografis yang berbeda. Selain itu, pembahasan ilmu sastra bandingan
terkait dengan perkembangan sastra bandingan yang juga bermula di Eropa.
Sub bagian kedua membahas Intertekstual dan Sastra Bandingan, yang berisi pembahasan tentang
orisinal teks dan pokok kajian interteks. Orisinal teks dan pokok kajian
interteks yang dibahas dalam sub bagian ini sama halnya dengan pembahasan
mengenai Asli, Pinjaman, Tradisi yang
dijelaskan oleh Damono dalam bukunya. Hanya saja interteks lebih sempit
dibanding sastra bandingan. Munculnya studi interteks ini lebih banyak pengaruh
pembuatan sejarah sastra. Kegiatan pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra yang
satu dengan yang lain, yang dilakukan sastrawan hingga melahirkan sebuah karya
transformasi.
Sub bagian ketiga membahas Sastra Bandingan, Sastra Nasional, dan Sastra Dunia. Sub bagian ini
penjelasan tentang peranan sastra nasional terhadap sastra bandingan dan
perbedaan sastra dunia dengan sastra bandingan. Menurut Suwardi, sastra bandingan
bandingan adalah sastra dunia (world
literature), atau ada juga yang menyebutnya sastra universal. Sedangkan
sastra dunia adalah sastra yang memuat pandangan-pandangan universal atau
mendunia.Sementara Damono dalam bukunya tidak terdapat yang menjelaskan
pengertian sastra dunia secara langsung, namun pembahasan tentang sastra
bandingan yang dikemukakan juga tentang pandangan secara universal atau
mendunia.
Sub bagian keempat membahas tentang Ruang Lingkup Sastra Bandingan. Sub
bagian ini berisi penjelasan tentang pengaruh dan kesamaan, ruang lingkup
sastra bandingan dan penggolangan sastra bandingan ke dalam empat bidang utama.
Pada sastra bandingan ada dua hal yang dicari; pertalian/persamaan, dan
pengaruh. Ruang lingkup sastra terdiri atas tiga hal, yaitu perbandingan antara
karya pengarang satu dengan lain, pengarang sezaman, antargenerasi, pengarang
yang senada, dan sebagainya; membandingkan karya sastra dengan bidang lain; dan
kajian bandingan yang bersifat teoretik, untuk melihat sejarah, teori dan
kritik sastra. Sedangkan penggolongan sastra bandiangan menurut Suwardi ada
empat, yaitu kajian bersifat komparatif, bandingan historis, bandingan
teoritik, dan antardisiplin ilmu. Pembahasan sub bagian ini sama seperti yang
disampaikan Damono dalam bukunya mengenai meninjau Romantisisme, Rabindranath
Tagore dan alih wahana.
Sub bagian kelima membahas Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan. Sub bagian ini berisi
penjelasan mengenai kaitan antara karya yang terpengaruh dengan karya
sebelumnya. Pembahasan sub bagian ini sama dengan penjelasan Damono dalam
bukunya mengenai Asli, Pinjaman, Tradisi,
alih wahana, atau istilahnya penyaduran dari karya lain.
Sub bagian keenam
membahas Metode Sastra Bandingan. Sub
bagian ini berisi penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan dalam
studi sastra bandingan. Pada sub bagian ini, Suwardi sengaja mengkhususkan
pembahasan mengenai metode sastra bandingan, agar bisa dipahami dengan cermat.
Sementara penjelasan tentang metode dan pendekatan dalam penelitian sastra yang
dikemukakan Damono dalam bukunya, terdapat dalam bagian kedua yaitu Beberapa
Pengertian Dasar. Damono mengatakan bahwa metode perbandingan adalah yang
utama. Artinya, bahwa perbandingan sebenarnya merupakan salah satu metode yang
juga dilaksanakan dalam penelitian, karena sastra bandingan berlandaskan azas
banding-membandingkan. Hal yang serupa juga diungkapkan Suwardi, bahwa metode
sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan kritik sastra, yang objeknya lebih
dari satu. Artinya juga banding-membandingkan sesuai pernyataan Damono. Hanya
saja Suwardi mengelompokkan metode sastra bandingan menjadi dua, yaitu metode
perbandingan diakronik, dan metode perbandingan sinkronik.
Berdasarkan uraian tersebut
perbedaan antara buku Metodologi
Penelitian Sastra karangan Dr. Suwardi Endaswara, M.Hum. dengan buku Sastra Bandingan karangan Sapardi Djoko
Damono, terletak pada struktur dan gaya penulisannya saja. Sebab kita tahu,
bahwa setiap orang mempunyai ciri khas yang berbeda-beda dalam menulis. Perbedaan
lainnya yaitu bahasa yang digunakan Suwardi lebih mudah dipahami, dibanding
Damono. Hal itu karena buku Suwardi lebih bersifat teoritis, sederhana dan
kurang mendalam kajiannya. Sedangkan bahasa yang digunakan Damono masih banyak
ejaan dan susunan kalimatnya masih banyak dipengaruhi ejaan lama. Ia sering
menggunakan kata-kata yang perlu dianalisis lebih dalam. Selain itu, pembahasannya
cenderung lebih luas dan tajam, sehingga tidak bisa dipahami jika hanya dibaca
secara sepintas.
Dengan demikian, bagian buku
Metodologi Penelitian Sastra yang
membahas penelitian sastra bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi
pendukung atau tambahan terhadap buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan. Hal
itu bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai sastra bandingan. Akan tetapi,
buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
karangan Sapardi Dojoko Damono memiliki penjelasan yang lebih lengkap dan
lebih luas mengenai sastra bandingan jika dibandingkan dengan buku Metodologi Penelitian Sastra pada bagian
penelitian sastra bandingan. Tentu saja karena buku Damono benar-benar khusus diciptakan
untuk mengkaji tentang sastra perbandingan.
Buku kedua sebagai
pembanding buku Pegangan Penelitian
Sastra Bandingan karya Prof. Dr. Saparji Djoko Damono, adalah buku Sastra Bandingan yang dikarang oleh Yosi
Wulandari, M.Pd., buku ini baru terbit pada tanggal 1 September 2014 yang lalu,
oleh Jagat Abjad di Kadipiro-Solo, ketebalannya 212 halaman: 14x20,5 cm, yang bernomor
ISBN 978-979-1032-971. Saya yakin, bahwa kehadiran buku ini tidak lain dan
tidak bukan hanyalah untuk menambah rentetan pedoman kita dalam penelitian
sastra, khusus sastra bandingan. Di dalam buku Sastra Bandingan ini terdapat tujuh bab yang pembahasannya tentang
sastra bandingan. Setiap bab, memiliki beberapa sub-sub bab yang pembahasan dan
jumlah yang berbeda.
Sebenarnya, jika kita membandingkan
buku Sastra Bandingan karya Yosi
Wulandari ini dengan buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan karya Saparji Djoko Damono, dilihat dari segi isi
dan pembahasannya mayoritas tidak jauh berbeda, karena di dalam buku Yosi
sendiri mayoritas merujuk atau mengutip dari buku Damono, bahkan kutipan dari
pendapat Damono langsung. Salah satu bukti, pendapat Remak tentang definisi
sastra bandingan, yaitu; Defini sastra
bandingan selanjutnya dinyatakan oleh Remak (dalam Damono, 2005:2), yaitu
kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara
sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni. Selain
itu, pendapat Endraswara juga menjadi ladang kutipan oleh Yosi. Artinya, buku karya
Yosi kurang lebih, bahkan bisa dikatakan isinya sama dengan buku karya Saparji
Djoko Damono dan buku karya Suwardi Endraswara.
Hanya saja, mungkin yang
membedakan buku Yosi pembahasannya lebih mudah dipahami dan lebih bagus
keteraturannya, karena buku terbitan baru yang banyak mempelajari dari
buku-buku sastra bandingan lainnya sebagai referensi. Sehingga hasil karyanya
lebih apik, tapi tetap saja sebagai referensi tambahan, karena pijakan para
peneliti masih pada buku Damono. Kemudian, dilihat dari segi kepenulisannya
kesalahan ejaan aku agak kurang, karena terlihat tidak ada pengaruh ejaan lama
atau ejaan Melayu. Sehingga bahasa yang dilontarkan agak ringan, mungkin itu
pula yang mempengaruhi beberapa penyusunan kalimat menurut saya ada juga yang
kurang tepat, atau editor dan layoutnya kurang teliti, sehingga susunannya
banyak terlihat acak dan terlalu berjarak.
Sejauh hasil perbandingan,
perbedaan yang tampak hanyalah fisiknya. Misalnya bentuk sampul, ketebalan, jenis
dan ukuran font yang dipakai, dan hal-hal lain yang serupa. Hanya saja, yang
lebih membedakan ialah di dalam buku Sastra
Bandingan karya Yosi Wulandari, ada beberapa contoh-contoh hasil studi
perbandingan sastranya, sedangkan di buku Suwardi Endraswara dan Saparji Djoko
Damono, contoh seperti itu tidak ditemukan. Sehingga buku ini bisa juga
dijadikan rujukan tambahan bagi peneliti dalam melakukan penelitian nantinya. Buku
Damono tetap menjadi rujukan yang utama, karena pembahasan lebih kompleks
meskipun susah dipahami sebelum dibaca lebih cermat dan berulang-ulang.
Berdasarkan uraian di atas,
dapat kita simpulkan bahwa bagian buku Metodologi
Penelitian Sastra karya Suwardi Endraswara dan buku Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari yang sama-sama membahas
penelitian sastra bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi pendukung
terhadap buku Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan karya Saparji Djoko Damono. Hal itu bertujuan untuk menambah pemahaman
mengenai sastra bandingan. Akan tetapi, buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karangan Sapardi Dojoko Damono
memiliki penjelasan yang lebih lengkap dan lebih luas mengenai sastra bandingan
jika dibandingkan dengan dua buku pembandiang pada bagian penelitian sastra
bandingan.
PENUTUP
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono
merupakan buku yang berisi penjelasan tentang sastra bandingan secara khusus.
Buku Pegangan Peenelitian Sastra
Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini terdiri atas dua belas bagian. Bagian
pertama; Pendahuluan, kedua; Beberapa Pengertian Dasar, ketiga; Perkembangan Sastra Bandingan, keempat; Asli, Pinjaman, Tradisi, kelima;Terjemahan, keenam; Sastra Bandingan Nusantara, ketujuh; Membandingkan Dongeng, kedelapan;
Dalam Bayangan Tagore, kesepuluh;
Jejak Romantisisme Dalam Sastra Indonesia, kesebelas;
Gatotkoco; Kasus Peminjaman Dan Pemanfaatan, kesebelas; Alih Wahana, dan terakhir kedua belas; Penutup.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini
dibandingkan dengan dua buku. Buku pertama berjudul Metodologi Penelitian Sastra karya Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., materi
tentang sastra bandingan terdapat pada bagian 13 Penelitian Sastra Bandingan. Bagian ini terdiri atas sub bagian
tentang konsep sastra bandingan; intertekstual dan sastra bandingan; sastra
bandingan, sastra nasional, dan sastra dunia; ruang lingkup sastra bandingan;
konsep pengaruh dalam sastra bandingan; dan metode sastra bandingan.
Buku pembanding yang kedua
berjudul Sastra Bandingan karya Yosi
Wulandari, M.Pd., buku ini terdapat tujuh bab yang pembahasannya tentang sastra
bandingan. Setiap bab, memiliki beberapa sub-sub bab yang pembahasan dan jumlah
yang berbeda. Namun isi serta pembahasannya tidak jauh berbeda dengan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
karya Sapardi Djoko Damono dan buku Metodologi
Penelitian Sastra karya Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., yang membedakan
hanya tampilan fisik buku, serta adanya hasil studi perbandingan di dalamnya.
Dengan demikian dapat
simpulkan bahwa, pada dasarnya antara buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan yang membahas sastra bandingan, Metodologi Penelitian Sastra yang juga
membahas penelitian sastra bandingan, begitu pula dengan buku Sastra Bandingan dari segi isi tidak
terlihat adanya perbedaan. Hanya dari segi susunan penulisan dan bentuk fisik
buku yang membedakannya. Bahkan buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan dianggap sudah mencakup kedua buku pembanding
tersebut.
Manfaat yang diperoleh dari hasil
laporan bacaan ini yaitu pembaca bisa menambah ilmu pengetahuan mengenai sastra
bandingan. Sastra bandingan sebenarnya studi yang menarik untuk dipelajari. Maka
dibutuhkan buku yang secara lengkap membahas sastra bandingan. Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya
Sapardi Djoko Damono ini sebenarnya tidak sulit untuk dipahami, namun butuh
waktu saja memehaminya. Buku ini bisa dianggap sebagai pengantar untuk memahami
sastra bandingan secara luas dan mendalam. Jadi, buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini
bisa dijadikan sebagai pegangan untuk mengkaji sastra bandingan di Indonesia,
sehingga khasanah studi sastra bandingan di Indonesia nanti semakin mendalam
kajiannya.
DAFTAR RUJUKAN
Damono, Djoko Sapardi. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: CAPS.
Wulandari, Yosi. 2014. Sastra Bandingan. Solo: Jagat Abjad.
-----------Saparji Djoko Damono. http://profil.merdeka.com/indonesia/s/sapardi-
djoko-damono/. Diunduh 10
September 2014.
-----Saparji Djoko Damono. http://id.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono. Diunduh 10 September 2014.
_________________________________________________________________
Tulisan ini sebagai Tugas Mata
Kuliah Sastra Bandingan di Magister FBS UNP, diampu oleh Prof. Dr. Hasanuddin WS, M.Hum.
(Guru Besar Bidang Sastra UNP).
0 Comments
Jika bermanfaat tolong sebarkan dengan mencantumkan sumber yang jelas. Terima Kasih !