Menumbuhkan Budaya Gotong Royong dalam Hidup Bermasyarakat

Dulu di tahun 90-an, masyarakat Indonesia semakin bersatu-padu dalam semangat kebersamaan. Sebuah kalimat “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh” telah mengikat mereka dengan cinta kebersamaan, cinta bangsa, dan cinta tanah air. Sebuah kalimat pendek, namun memiliki makna yang sangat “tajam” dalam cita-rasa kebersamaan. Sayangnya, kalimat tersebut nyaris tidak lagi menggema, dan bahkan mulai hilang dari peredaran kehidupan bermasyarakat saat ini. Padahal, gotong royong (Goro) ini sebagai perwujudan nyata semangat persatuan, yang selalu digemakan oleh para pejuang dalam membangun bangsa ini sejak dulunya.
The Founding Father, Ir. Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia (RI) yang pertama, pada sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945 pernah menyatakan bahwa Goro merupakan jiwa masyarakat Indonesia. Namun sangat disayangkan budaya Goro saat ini seakan-akan sudah hilang ditelan masa. Padahal, Goro merupakan salah satu wujud masyarakat yang berpancasila, sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia”, sekaligus juga perwujudan dari Bhineka Tunggal Ika. Makanya budaya Goro ini seharusnya dilestarikan dan wajib diwariskan ke generasi muda, agar sikap pancasilais dan Bhineka Tunggal Ika berbangsa tetap terjaga.


Saya masih ingat betul waktu masih SD, di kampung saya Sungai Lintang yang terletak di daerah Mukomuko Bengkulu sangat kental budaya Goro. Goro di kampung saya kental dengan sebutan “Soyo”. Mungkin pengambilan kata “Soyo” ini karena lebih dekat dengan bahasa Minangkabau yaitu “Saiyo” (seiya) yang bisa diartikan kebersamaan. Dulu, Soyo di kampung saya ini sangat terlihat ketika pada pemindahan rumah seseorang. Maklum, pada waktu itu hampir semua rumah hanya ada rumah panggung yang terbuat dari kayu. Dan masih sangat jarang ditemui rumah yang terbuat dari beton atau semen.
Nah, karena semuanya rumah panggung, banyak masyarakat yang memindahkan atau menggeser rumahnya, baik ke belakang, atau ke samping, dan bahkan memindahkan ke tanahnya yang lain. Maka pada saat situasi inilah Soyo ini bisa disaksikan. Semua lapisan masyarakat ikut serta, dan berpartisipasi membantu. Kaum ibu-ibu biasanya ikut menyiapkan konsumsi, baik makanan atau minuman. Biasanya ibu-ibu sering membuat “kolak” ubi atau bubur kacang hijau, kue, kopi, teh, dan nasi serta lauk-pauk untuk makan siang bersama. Sedangkan bagi kaum laki-laki, mulai dari remaja, pemuda, dewasa ikut dalam mengangkat atau memindahkan rumah tersebut.
Rumah orangtua saya di kampung sekarang ini, salah satu contoh Soyo. Waktu itu harus digeser  ke belakang agar bagian depannya bisa dibangun rumah baru. Dan saya pun pernah ikut Soyo ini beberapa kali. Bukan itu saja, Soyo di kampung saya juga sering dilakukan disaat pembukaan ladang baru, pembuatan rumah di ladang, penanam padi, panen padi, dan sebagainya. Biasanya, pada hari Soyo itu semua masyarakat di kampung berhenti melakukan aktivitas apapun selain ikut Soyo. Begitu besarnya tingkat kebersamaan, dan kentalnya persatuan diantara masyarakat di daerah lokal atau pedesaan. Hanya sayangnya, seiring berjalannya waktu kebersamaan itu hilang begitu saja.
Goro ini bisa juga dipahami sebagai bentuk partisipasi aktif bagi setiap individu dalam berbagai kegiatan positif, sebagai wujud kebersamaan dalam lingkungan masyarakat tertentu. Partisipasi aktif itu bisa dalam bentuk bantuan materi, fisik, keterampilan, pikiran, doa, atau bahkan nasihat. Misalnya dalam kegiatan tolong-menolong dalam rumah tangga, musibah, bencana, keagamaan, perayaan atau pesta, kematian, dan aktivitas pertanian. Kemudian, Goro juga bisa dalam bentuk kerja bakti, seperti membersihkan lingkungan pemukiman atau desa, tempat ibadah, sekolah, dan berbagai tempat untuk kepentingan umum lainnya.
Bahkan dalam perspektif sosiologi budaya, Goro merupakan perwujudan semangat dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan secara ikhlas tanpa mengharapkan balasan. Sebab Goro dilakukan secara bersama untuk kepentingan bersama, kelompok, atau individu tertentu. Makanya Goro ini harus dilestarikan, sebab dengan Goro permasalahan yang sulit bisa dilakukan dengan mudah secara bersama. Nah, Goro inilah salah satu perwujudan pancasila pada sila ke-3 “Persatuan Indonesia”. Jika semuanya bisa bersatu seperti budaya Goro, setiap ada permasalahan akan terselesaikan dengan mudah. Dengan budaya Goro akan menjadikan kehidupan masyarakat Indonesia akan terjalin erat untuk kepentingan bersama dalam mewujudkan pembangunan. 
Budaya Gotong Royong (Goro) merupakan salah satu budaya kebanggaan Indonesia sejak dulu, dan patut diacungi jempol. Budaya Goro ialah contoh budaya yang berbudi luhu, meskipun saat ini sudah mulai luntur. Tapi di kampung-kampung, atau pedesaan budaya Goro ini masih banyak dipertahankan. Budaya Goro ini mengandung nilai-nilai positif, seperti kebersamaan, persatuan, rasa memiliki, rela berkorban, tolong-menolong, dan hidup bersosialisasi. Apabila nilai-nilai itu diterapkan dalam hidup bermasyarakat, tentu akan menguatkan keadilan, serta memahami hak dan kewajiban masing-masing. Sehingga keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) di NKRI semakin nyata, apalagi adanya Festival HAM 2016 yang semakin menguatkan. 
Nilai Kebersamaan  
Dengan adanya budaya gotong-royong ini, akan mencerminkan nilai kebersamaan tanpa melihat suku, ras, agama, dan warna tertentu. Nilai kebersamaan ini akan tumbuh dan selalu subur dalam lingkungan masyarakat, tanpa iming-iming apapun. Makanya di pedesaan atau di kampung, rasa kebersamaan terasa lebih kental, karena masyarakatnya mau bekerjasama untuk membantu, atau membangun fasilitas yang bisa dimanfaatkan secara bersama. Misalnya pembangunan jembatan, jalan, bahkan membangun rumah secara bersama.

Nilai Persatuan
Dengan adanya budaya Gotong Royong akan menjadikan masyarakat terbiasa melakukan apapun secara bersama. Maka kebersamaan inilah akan menjadikan masyarakatnya semakin erat dalam ikatan persatuan. Biasanya, jika ada musibah, bencana, kematian, baik kepentingan umum atau kepentingan individu, persatuannya sangat kental. Nah, disinilah letak persatuannya. Jika salah satu merasa sakit, maka semuanya akan merasa sakit. Begitu pula sebaliknya, jika ada salah satu yang merasa senang, maka semuanya ikut merasakan kebahagiannya.

Nilai Rasa Memiliki
Eratnya nilai kebersamaan dan persatuan, budaya Gotong Royong mampu adanya rasa memiliki satu sama lain dalam masyarakat. Umumnya di pedesaan atau kampung, ibarat satu tubuh yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga apapun permasalahan yang terjadi, semua masyarakatnya akan tahu, dan akan menyelesaikannya secara bermusyawarah, sesuai Pancasila dalam sila ke-4, yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. Dengan Gotong Royong ini akan selalu memupuk rasa memiliki, sehingga adanya saling menjaga satu sama lainnya.
Nilai Rela Berkorban
Budaya Gotong Royong menunjukkan sikap yang tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan balasan. Budaya Gotong Royong mengajarkan kita menjadi pribadi yang tangguh, rela berkorban, serta bertanggungjawab. Biasanya orang atau masyarakat yang terbiasa bergotong royong senantiasa selalu hadir, bahkan mau meninggalkan kepentingan pribadi, baik tenaga, waktu, demi bisa ikut berpartisipasi untuk kepentingan umum. Budaya Gotong Royong ini akan menjadi teladan bagi generasi muda, agar terbiasa berkorban, berjuang, tanpa harus menerima balasan apapun. Maka budaya Gotong Royong ini sebagai sikap Pancasilais sejati demi perjuangan bangsa.

Nilai Tolong-Menolong
Jika budaya Gotong Royong sudah tertanam dalam diri seseorang, maka bisa dipastikan perilaku tolong-menolong juga tercermin dalam dirinya. Hal ini sangat mudah kita temukan dalam pribadi masyarakat pedesaan atau kampung. Biasanya, jika ada salah seorang atau tetangganya yang merasa susah, pasti semua masyarakat di lingkungannya ikut menolong. Sebab bagi masyarakat desa, budaya tolong- menolong ibarat menanam benih, yang suatu saat merasa susah juga akan dibantu orang lain atau tetangganya. Begitu melekatnya budaya tolong-menolong ini, kebiasaan pinjam-meminjam sudah menjadi hal yang biasa, dan bukan perilaku yang asing lagi. Makanya misalnya seorang anak disuruh memanjat kelapa saja itu sangat gampang, meskipun tanpa diberi upah.

Nilai Sosial
Kita sebagai manusia yang hidup bermasyarakat, tidak akan mampu hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain. Nah, dengan adanya nilai sosial dalam budaya Gotong Royong ini menyatukan nilai kebersamaan, persatuan, rasa memiliki, sikap rela berkorban, saling tolong-menolong. Nilai sosial ini sebagai wujud Pancasila pada sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Budaya Gotong Royong ini mampu mewujudkan keadilan sosial, tanpa memandang agama, ras, suku, dan warna. Apabila seseorang atau ada kegiatan untuk kepentingan umum, apapan latar belakang pribadinya akan berbaur menjadi satu, yaitu sebagai tubuh masyarakat Indonesia. Maka dalam Gotong Royong inilah mereka bisa bersosialiasi, dan berbagi cerita satu sama lainnya.

Dengan banyaknya nilai yang terkandung dalam budaya Gotong Royong (Goro), tentunya akan memberi manfaat yang luar biasa demi terwujudnya masyarakat yang harmoni, sebagai manusia yang agamis, dan pancasilais sesuai cita-cita bangsa selama ini. Dengan Gotong Royong tentu akan mampu meringankan beban pekerjaan, baik individu maupun kelompok. Sehingga Gotong Royong menjadikan pekerjaan lebih cepat selesai, lebih efektif, dan efisien tanpa menghabiskan waktu terlalu banyak.  Kemudian, dengan adanya Gotong Royong akan menumbuhkan perilaku suka rela, tolong-menolong, kebersamaan, rasa memiliki, kekeluargaan, sehingga adanya sikap kepedulian antar sesama, tanpa memandang status yang disandangnya.

Maka, dengan melestarikan budaya Gotong Royong akan selalu memberi warna baru, dan akan menghijaukan kembali semangat persatuan selama ini. Misalnya menjalin hubungan sosial yang baik, dan harmonis antar sesama. Sehingga rasa kebersamaan, berbangsa, dan bernegara semakin solid, kuat, dan tangguh demi terwujudnya cita-cita pejuang bangsa selama ini, yaitu tegaknya Bhineka Tunggal Ika dalam satu bangsa, bahasa, dan tanah air Indonesia.  Tanpa kita sadari, nilai Gotong Royong ini pulalah yang dulunya mampu mempersatukan nusantara, dari Sabang sampai Merauke untuk mengusir penjajah, dan mewujudkan negara Indonesa merdeka seperti yang telah kita hirup udaranya selama ini. Makanya sangat penting budaya Gotong Royong ini tetap hidup dalam kehidupan bermasyarakat.

Misalnya, di pedesaan baik RT/RW/Kelurahan, pemuda, dan seluruh masyarakatnya hendaknya mampu untuk bekerjasama, seperti nilai yang terkandung dalam budaya Gotong Royong, demi terwujudnya pribadi yang agamis, pancasilais, bahkan dalam kedilan penegakan hukum. Jangan sampai hukum “tumpul ke atas, dan runcing ke bawah”. Apapun status seseorang, jika terbukti ia bersalah tentuh harus dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Sikap keadilan ini harus terwujud dalam lapisan masyarakat apapun, termasuk tingkat desa. Siapa lagi yang harus memberi contoh ke generasi muda jika bukan masyarakatnya sendiri, Jika negara tidak mampu, setidaknya tingkat bawah harus mewujudkannya, sebagai bukti masyarakat bernegara yang berlandaskan hukum. Jika HAM tidak mampu berbicara, hati nurani tetaplah bersuara.* Salam Indonesia berbudaya, Gotong Royong budaya masyarakat Indonesia.
________________________________________________________________________________
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Festival HAM

0 Comments