Pembelajaran Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Teks Sastra


Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini bisa dilihat dari sosiokultur maupun geografis yang sangat luas dan beragam. Sastra multikulturalisme berkaitan dengan perubahan masyarakat global dan lokal menjadi pluralistik. Sastra multikultural berpotensi menjadi media komunikasi internasional dan pendidikan karakter bangsa, siswa, para guru, pemerintah, masyarakat dan tokoh masyarakat mengembangkannya. Selain itu, sastra multikultural mampu melampaui batasan agama, etnis, bahasa, budaya, dan bangsa.
Secara praktis, aktivitas pembelajaran di sekolah atau pun perguruan tinggi bisa menjadi salah satu medium untuk menyosialisasikan nilai-nilai multikultural melalui karya sastra. Artinya, sastra multikultural berpotensi menjadi suatu media yang mempersatukan, dan menggabungkan substansi lokal, nasional, maupun internasional secara damai yang di dalamnya masyarakat, agar bisa hidup dalam harmoni. Hal itu tercantum dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, sebagai ciri khas bangsa Indonesia, yang dapat menjaga keutuhan bangsa di tengah-tengah perbedaan (pluralisme).  

Nilai-nilai Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme berasal dari kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (paham). Secara hakiki, pengertian itu mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Mahfud, 2011:75). Secara hakiki, pengertian kata itu terkandung pengakuan bahwa martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik, baik sejarah, pemikiran, bahasa, etnik, dan kepercayaan. Pendapat lain menyatakan bahwa munculnya multikulturalisme tidak terlepas dari tiga teori sosial yang menjelaskan hubungan antarindividu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang, baik agama, etnik, bahasa, maupun budaya.
Menurut Ricardo L. Garcia (dalam Ali Imron Al-Ma’ruf, 2012:4-5) teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity (individu-individu yang beragam latar belakang seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya, disatukan ke dalam satu wadah yang lebih dominan); (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis (individu-individu yang beragam latar belakang disatukan ke dalam satu wadah baru, identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya asli anggotanya melebur menjadi identitas yang baru; serta (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy (individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budaya secara demokratis dengan tidak meminggirkan identitas budaya kelompok minoritas).
Multikulturalisme menciptakan struktur dan proses yang memperbolehkan ekspresi berbagai kebudayaan, komunitas, dan individual baik laki-laki maupun perempuan. Multikulturalisme mengakui tentang hak individu untuk tetap dan bisa mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang masing-masing, termasuk gender, sebagai esensi dari multikulturalisme dalam masyarakat heterogen. Berdasarkan pemahaman itu, dapat dikatakan bahwa multikulturalisme adalah suatu pandangan, paham, dan sikap untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Sikap seseorang yang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan berani menerima dan memahami pluralitas sebagai takdir hidup yang tidak dapat ditolak.
Multikultralisme adalah suatu kesejatian dalam kehidupan masyarakat modern. Pada konteks ini menurut Dewanto (dalam Ali Imron Al-Ma’ruf, 2012:6) bahwa kita tidak sedang dan hidup dalam aneka dunia yang terpisah satu dengan lainnya, melainkan dalam dunia yang saling bersentuhan, saling pengaruh, saling memasuki satu dengan lainnya. Oleh karena itu, dunia kita bukanlah dunia yang plural melainkan dunia yang tetap saja tunggal tetapi bersifat multikultural, sebagai salah satu jalan yang memungkinkan kita untuk bersikap toleran dan pada gilirannya terbuka untuk memasuki dan juga dimasuki. Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi, mengakui, dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara sosial maupun budaya.
Multikultural adalah suatu bentuk keragaman budaya. Kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan letak geografis dan keadaan sosial yang ada pada suatu wilayah. Menurut Liliweri (dalam Marlinda, 2014) bahwa multikulturalisme pada dasarnya adalah sebuah pemahaman tentang bagaimana kebudayaan yang berbeda-beda itu menerpa kehidupan masyarakat, meskipun sangat kecil dan sangat sederhana, harus kita terima tanpa pertimbangan dan pilih kasih demi mendukung kesetaraan dan keseimbangan dalam kekuasaan.
Liliweri (dalam Marlinda, 2014), melanjutkan bahwa multikulturalisme adalah tentang penyadaran individu atau pun kelompok atas keberagaman budaya, yang pada gilirannya akan mempunyai kemampuan untuk mendorong lahirnya sikap toleransi, dialog, kerja sama, di antara beragam etnik dan ras. Hal ini dapat dilihat ketika sebuah entitas masyarakat tertentu diamati maka akan tampak berbagai bentuk perbedaan tingkah laku budaya yang berasal dari kultur etnis dan entitas tersebut.
Allport (via Mulyana, 2004), menyebut bahwa nilai merupakan keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Lebih jelas, dia mengatakan bahwa nilai terjadi pada wilayah psikologi yang disebut keyakinan. Keyakinan ditempatkan sebagai wilayah psikologi yang lebih tinggi dari wilayah lainnya, seperti hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan. (http://bab2-05210144030.pdf). Pendapat lain,  bahwa nilai adalah inti dari setiap kebudayaan. Dalam hal ini mencakup nilai moral yang mengatur aturan-aturan dalam kehidupan bersama. Moral itu sendiri mengalami perkembangan yang diawali sejak dini. Perkembangan moral seseorang merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak, untuk itu pendidikan moral sedikit banyak akan berpengaruh pada sikap atau perilaku ketika berinteraksi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa nilai-nilai multikulturalisme merupakan suatu pandangan dan sikap untuk melihat keanekaragaman budaya dalam kehidupan masyarakat. Maka dengan cara atau sikap seseorang tersebut mau membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama, dengan menerima dan memahami adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat di lingkungannya.

Karakteristik Nilai-nilai Multikulturalisme
Pengertian kultur sangat beragam, tetapi ada beberapa titik persamaan yang dapat diambil untuk mempertemukan keragaman definisi-definisi tersebut. Menurut A. Effendi Sanusi (dalam Rina Hanipah Muslimah, 2010), mengatakan bahwa ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global  sebagaimana direkomendasikan UNESCO pada bulan Oktober 1994 di  Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat beberapa pesan.
Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerjasama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan  kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.”

Penjelasan dari rekomendasi tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa karakter nilai-nilai yang diusung dalam konsep pendidikan multikultural ada empat, yaitu nilai toleransi, demokrasi, kesetaraan, dan keadilan, seperti penejasan singkat di bawah ini.
a)      Nilai Toleransi
Toleransi dipahami sebagai perwujudan mengakui dan menghormati hak-hak asasi manusia dalam hidup bermasyarakat. Kebebasan berkeyakinan dalam arti tidak adanya paksaan dalam hal agama, kebebasan berpikir atau berpendapat, kebebasan berkumpul, dan lain-lain. Toleransi juga bukanlah dimaknai dengan mengakui kebenaran agama mereka, akan tetapi adanya pengakuan terhadap agama mereka dalam realitas bermasyarakat. Selain itu, toleransi bukan berarti kompromi atau kerjasama dalam hal keyakinan dan beribadah. Justru kita tidak boleh mengikuti agama dan ibadah yang orang lain anut dengan alasan apapun, seperti ditegaskan dalam QS. AlKafirun, yaitu; “untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.
b)      Nilai Kesetaraan
Multikulturalisme sebagai paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain sangat penting kita pahami bersama dalam kehidupan masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Hal itu agar tidak terjadi lagi tragedi kekerasan antar kelompok yang meledak secara membabi-buta pada akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan Indonesia, yang menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam bangsa dan bernegara, betapa kentalnya prasangka antar kelompok dan betapa rendahnya nilai-nilai multikulturalisme.
c)      Nilai Demokrasi
Sejarah peristilahan “demokrasi” dapat ditelusuri jauh ke belakang. Konsep ini ditumbuhkan pertama kali dalam praktik negara kota Yunani dan Athena (450 SM dan 350 SM). Tahun 431 SM, seorang negarawan ternama dari Athena, bernama Pericles mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria: (1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung; (2) kesamaan di depan hukum; (3) pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan; dan (4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.
d)     Nilai Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (bahasa Arab), yang mempunyai arti ‘sama dan seimbang’. Pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok dengan status yang sama.
Defenisi yang tidak jauh berbeda, Mahfud (2009:57) menyebutkan bahwa, konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab 3 tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Pernyataan ini bisa disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan multikultural yang terkandung dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 bab 3 pasal 4 ayat 1 adalah sebagai berikut: nilai demokratis, nilai keadilan, nilai toleransi, nilai keagamaan, nilai kultural.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan dan defenisi di atas, bisa disimpulkan bahwa karakteristik nilai-nilai multikulturalisme, yaitu nilai demokrasi, nilai kesetaraan, nilai keadilan, nilai toleransi, nilai keagamaan (religiositas), dan nilai kultural (budaya).

Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Teks Sastra
Karya sastra yang dimiliki suatu bangsa dalam konteks kultural akan memberikan kesadaran tentang perspektif kultural dan sejarah yang terbentang di hadapannya. Karya sastra juga memberikan kesadaran tentang identitas kultural yang melekat padanya, kesadaran tentang pandangan-pandangan dunia tertentu, dan nilai-nilai tertentu yang menjadi karakter bangsa. Semuanya itu disajikan oleh pengarang dalam karya-karya sastranya sesuai dengan orientasi kebudayaannya. Kebudayaan Indonesia yang bersifat bhinneka, merupakan penyambung antara kebudayaan lokal-daerah, nasional-modern, global, maupun universal.
Damono (1984:1) mengatakan bahwa dalam karya sastra tersirat gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Kehidupan itu mencakup (1) hubungan antarmasyarakat, (2) antarmanusia, (3) antarmasyarakat dengan orang-seorang, dan (5) pantulan hubungan orang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Dalam karya sastra tersimpan nilai-nilai budaya, bahkan yang berasal dari masa lalu yang jauh. Nilai-nilai tersebut telah teruji dalam perjalanan waktu baik yang bersifat umum maupun khas berupa pandangan hidup. Karya sastra juga merekonstruksikan tentang pengalaman yang sedang dijalani dalam suatu susunan yang terpahami.
Adapun karya sastrawan yang mengangkat masalah multikulturalisme, misalnya, Y.B. Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung Manyar (1981), Rara Mendut (1983), dan Burung-burung Rantau (1993. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (RDP, 1981-1987; 2003) karya Ahmad Tohari. Drama karya Putu Wijaya berjudul Bila Malam Bertambah Malam, Drama-drama karya Arifin C. Noer, N. Riantiarno, Teguh Karya juga memiliki kandungan nilai multikultural yang baik untuk membentuk karakter kebangsaan peserta didik. Puisi-puisi Ahmadun Yossi Herfanda Sembahyang Rumputan (1996), Sajak Mabuk Reformasi (1998), dan Resonansi Indonesia (1999) yang mengangkat pluralisme budaya, etnisitas, dan religiusitas yang dapat dihayati oleh pemeluk agama apa pun. Demikian pula Abidah El Khalieqy dalam puisi “Perempuan yang Ibu” dan “Aku Hadir” (dalam Rampan, 1997:484-485). Misalnya puisi yang berjudul “Aku Hadir” berikut.
Aku perempuan yang menyeberangi zaman
membara tanganku mengenggam pusaka, suara diam
menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta
raja-raja memecahkan wajah, silsilah kekuasaan

Aku perempuan yang merakit titian
menabur lahar berapi di bukit sunyi
membentangkan impian di lading-ladang mati
musik gelisah dari kerak bumi

Aku perempuan yang hadir dan mengalir
membawa kemudi
panji matahari
Aku perempuan yang kembali
dan berkemas pergi.

Sajak di atas merupakan contoh karya sastra yang mencoba melantunkan multikulturalisme terutama dalam menghadirkan” sosok perempuan yang selama ini sering dimarginalkan. Abidah El Khalieqy menyoroti masalah ketidakadilan gender, padahal perempuan memiliki eksistensi yang tidak boleh diabaikan di tengah budaya masyarakat Indonesia yang patriarkal. Hal itu sebagai bukti bahwa adanya tuntutan serta kritikan kaum perempuan dalam kesetaraan gender.
Sastra multikultural dapat diartikan sebagai sastra yang mengandung dimensi-dimensi pluralistik yang menyuarakan spirit multikultural baik dalam genre puisi, novel, cerpen, maupun drama. Gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari karya sastra multikulturalisme. Kultur lokal, nasional, dan global semuanya dapat berinteraksi secara wajar tanpa harus dipertentangkan, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pedoman hidup dan modal dalam bermasyarakat sosial-kultural.
Betapa pun rumitnya permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya sastra harus tetap sebagai karya seni yang menarik, bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Melalui sastra, secara tidak langsung pembaca akan bisa belajar, merasakan, serta menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang. Hal itu pula karya sastra berpeluang untuk dapat membuat pembacanya menjadi lebih arif, terbuka, demokratis, peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, dapat melakukan bukan hanya simpati, melainkan empati kepada orang lain.
Tentunya, untuk menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalam teks sastra, kita harus membaca karya sastra itu terlebih dahulu. Apabila bahasanya terlalu “berat”, hendaknya pembaca harus membacah secara berulang-ulang dan langsung menandai kata-kata maupun kalimat yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme tersebut. Hal itu agar memudahkan dalam melakukan cek dan ricek agar pembaca atau peneliti lakukan tidak terjadinya kesalahan. Apabila langkah-langkah tersebut dilaksanakan dengan baik, nilai-nilai multikulturalisme itu akan ditemukan dengan mudah, baik dari pencerita, penulis, atau percakapan-percakapan antar tokoh yang dituangkan dalam karya sastra tersebut.
Gagasan multikultural pertama yang terungkap dalam novel Burung-burung Rantau adalah munculnya generasi pasca-Indonesia yang berorientasi pada multikulturalisme. Neti, tokoh sentral Burung-burung Rantau, dilukiskan sebagai anak muda yang cerdas, energik, dan suka kebebasan, namun memiliki kepekaan sosial tinggi. Terbukti dengan tekun ia terjun sebagai sosiawati untuk membimbing para anak-anak miskin di perkampungan kumuh. Neti merupakan perempuan terpelajar mampu mengapresiasi berbagai nilai budaya. Baginya, manusia tidak perlu terikat oleh satu nilai tradisi, apalagi hanya satu budaya lokal saja. Neti beranggapan bahwa manusia yang tidak perlu dibatasi oleh sekat-sekat budaya tertentu yang dianggapnya bisa menghalangi ruang gerak. Hal itu pula membuatnya jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang memiliki kepedulian yang sama terhadap persoalan kemiskinan rakyat, yaitu berasal dari Punjab. Nilai-nilai yang membahas tentang kultur (budaya) itu terdapat pada kutipan berikut.
“Kalau aku boleh menengahkan apa yang selalu dikatakan Neti, “sambungnya, “bukan saya memihak memihak Neti, tetapi hanya karena mungkin ini baik kita perhatikan. Neti bilang bahwa bukan-asing-bukan-pribumi itu tidak perlu ditafsirkan negatif. Misalnya si Bowo ini sudah termasuk jenis yang menurut Neti generasi pasca-Indonesia.” (hlm. 111-112).


Multikulturalisme manusia dapat bebas mengaktualisasikan diri dalam kehidupan. Gagasan multikultral itu juga terungkap dalam Burung-burung Rantau adalah upaya generasi muda melepaskan diri dari nilai budaya etnis agar bebas berkreativitas. Generasi masa kini yang sudah mengenal nilai-nilai multikultural dan menyerap pluralitas budaya dari berbagai bangsa dan etnis, nilai-nilai tradisional yang “membumi Indonesia” , apalagi kalau terlalu focus pada satu budaya lokal atau budaya pribumi, dipandangnya terlalu sempit. Generasi masa kini yang sudah akrab dengan kebebasan berpendapat, bersikap, dan berperilaku menganggap batasan orang tua sebagai sesuatu yang mematikan kreativitas. Hal itu, orang tua dianggapnya memiliki sikap sadis, kolonial, bahkan dianggapnya diktator yang suka memaksakan kehendak kepada anaknya. Bukti adanya nilai demokrasi dalam novel BBR terdapat pada kutipan berikut.
“Aduh susahnya punya mami yang terlalu lama menjadi ketua KORISAB plus Darma Perempuan, Drama, Drama Perempuan.”
“Tidak usah banyak omong menyangkut-nyangkut yang bukan urusanmu, pokoknya pilih: mau pakai, atau tidak boleh keluar.”
“Neti kan bukan anak kecil, dikurung macam itu.”
“Bukan dada kecil maksudmu, maka itu, pakai beha, atau tetap di dalam kandang.” “Sadis! Kolonial! Totaliter! Rezim dictator!
“Terserah, mau pakai terima kasih, tidak mau ya tahu sendiri.”
“Mam, Mami, Mami cantik dan baik hati, Cuma sayangnya tidak peka humor.”
“Itu, itu lagi, sudah seribu kali aku mendengar rayuan gombalmu itu.” (hlm. 14)

Budaya Timur dan budaya Barat merupakan gagasan multikultural yang juga muncul dalam Burung-burung Rantau. Multikulturalisme berpandangan bahwa tidak ada lagi pusat kebudayaan yang dianggap dominan baik lokal, daerah, nasional, dan universal maupun global. Semua kebudayaan berada dalam kehidupan manusia yang heterogen dan pluralistik dapat hidup berdampingan tanpa merendahkan budaya satu dengan lainnya. Bagi multikulturalisme, setiap kebudayaan memiliki eksistensi tersendiri. Semuanya harus saling menghargai dan saling menghormati, toleransi serta adanya kesetaraan budaya yang satu dengan budaya lainnya. Hal itu bisa dibuktikan melalui dialog antara Gandhi, Neti, dan Candra berikut.
“Inilah patungan kebudayaan Barat yang telah berkembang ke arah lain dari bangsaku yang kelak, selain dunia Cina dan Jepang, disebut Timur.” Gumam Gandhi merenung-renung, seolah-olah mendaras kitab-kitab silsilah, seperti ada sesuatu yang ia sesalkan.
“Padahal nenek moyang orantg-orang dan kebudayaan Hellen di Yunani Antik ini sama akarnya: orang-orang Indo-Jerman ras Nordik dari Asia Sentral. ……………….. Yang memberi ketentraman hati adalah jiwa bagaikan angin bambu dan gelagah rawa-rawa yang menyesuaikan diri dengan irama serta nafsu-nafsu alam; sedangkan budaya Hellen, benih Barat, senantiasa haus, tidak pernah puas, petualang-petualang dan pemberontak yang senang kalau menghadapi yang bergerak dan menempuh bahaya misterius yang tidak dikenal..... (hklm. 237).

Selain melalui dialog tersebut, adanya nilai religiositas yang tampak pada perkawinan Bowo dengan Agatha (orang Yunani) sebagai simbolisasi dari kekuatan budaya Barat dengan Timur. Hal itu karena pernikahan merupakan suatu yang sacral, yang erat kaitannya dengan agama. Bowo, pakar Fisika-Nuklir dan Astro-Fisika serta tokoh Candra sang pilot pesawat tempur yang banyak menyerap ilmu di Barat, dapat dimaknai sebagai simbolisasi dari penyerapan sains di Barat untuk menuju pencerahan masa depan bangsa Indonesia yang kuat dengan ketimuran. Prinsipnya menguasai sains dari Barat yang memiliki sifat dinamis, terus bergerak maju, dan tidak pernah puas, namun dilandasi dengan budaya Timur yang menyukai keabadaian (Tuhan), ketentraman, diharapkan bangsa Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang hebat. Nilai-nilai yang membahas religiositas juga terlihat pada kutipan berikut.
“Ya sudah, Mam. Namanya bagus sekali: Gandhi Krishmahatma. Dia lahir pas pada hari ulang tahun Mahatma Gandhi yang dibunuh oleh pemuda Hindu fanatik itu.” (hlm. 189).

Selanjutnya juga adanya pemberian kebebasan pada setiap orang untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan pandangannya masing-masing. Setiap budaya memiliki hak untuk dikembangkan di antara budaya yang lain untuk saling menghargai. Inilah kedalaman hakiki pemahaman multikultural hakiki, yaitu kekayaan wawasan dan pengalaman spiritualnya sebagai rohaniwan, pengarang yang secara halus dan cerdas mengungkapkan esensi multikultural melalui peristiwa dan tokoh-tokohnya. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut.
Hanya Kak Anggi yang rupa-rupanya lebih mementingkan bisnisnya, jarang kelihatan melantai tetapi selalu asyik berbincang-bincang dengan koneksi-koneksinya yang baru. Juga biarkan Kak Anggi ini; bukankah Yunani palungan gagasan demokrasi pertama, tempat setiap pribadi boleh mengembangkan jati diri dan citra dirinya sesuai dengan seleranya sendiri? (hlm. 186).

Kemudian, di dalam novel Burung-burung Rantau ini terdapat perlawanan kaum perempuan yang meminta keadilan atau kesetaraan gender. Perempuan harus dapat mandiri, dapat berperan sebagai aktor yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, bias gender harus ditiadakan dalam kehidupan karena bertentangan dengan asas keadilan. Sudah saatnya, kaum perempuan melepaskan ikatan tradisi atau budaya masyarakat yang membelenggu kebebasan bergerak dan aktivitasnya. Kaum perempuan tidak semestinya dijadikan objek bagi laki-laki. Perempuan harus berjuang demi harkat dan martabat serta harga diri, agar memiliki eksistensi dan dapat berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Inilah salah satu nilai multikultural yang semakin berkembang di kalangan masyarakat modern. Kutipan berikut memperjelas hal itu adanya kesetaraan gender tersebut.

Memang aku perempuan! Puan dan empu, pembela kehidupan, penggendong si lemah! Ya, aku berkacak pinggang dan jari-jari mengepal! Jangan coba-coba main-main, kusepak anumu sampai kau menjerit-jerit kesakitan! Ya, aku punya harga, dan tinggi hargaku! Bukan kecantkan modalku! Itu yang kau mau. Tetapi aku bukan bahan gerabah yang dapat kaubentuk menurut kehendakmu! Ya, aku ada! Apa? Kausebut ini tidak pantas itu tidak menurut adat? Aku, ya akulah yang menentukan sendiri mana pantas, mana adat! Bukan kamu! Dan bukan ibuku sekalipun! (hlm. 254)
.


Dengan demikian terlihat bahwa dalam Burung-burung Rantau, melalui tokoh-tokoh generasi pasca-Indonesia, merupakan ekspresi pengarang dalam menyuarakan gagasan multikultural dan refleksinya mengenai budaya global yang makin berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dengan kekayaan wawasan dan pengalamannya, pengarang mengetengahkan dimensi multikultural yang menjadi realitas dalam kehidupan masyarakat modern yang pluralistik.

Implikasi Nilai-Nilai Multikulturalisme dalam kehidupan Sehari-hari
Karakteristik merupakan sifat-sifat yang perlu diteliti berkenaan dengan kekhasan yang membedakan seseorang dengan orang lainnya. Hal ini dilakukan agar dapat menyesuaikan cara-cara membujuknya. Menurut H.A.R Tilaar, pendidikan multikultural biasanya memiliki ciri tujuanya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan "masyarakat berbudaya (berperadaban)". Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai kebangsaan, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural). Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis). Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Masyarakat multikulturalisme akan dapat terwujud dan mampu mengelola keragaman sebagai suatu potensi kesejahteraan bersama, jika masing-masing anggotanya bersedia menghormati dan menghargai anggota lain. Keberagaman itu adalah sebuah keniscayaan yang harus dirayakan oleh semua pihak, dengan cara berusaha mendorong terbangunnya tradisi hidup setara, termasuk setara dalam berbagi peran kehidupan berdasarkan jenis kelamin, fisik maupun sosial. Masih banyak orang yang kurang sedia memahami persoalan ini, yakni membedakan mana peran jenis kelamin secara fisik dan secara sosial, sehingga membangun stigma tertentu terhadap jenis kelamin. Nurgiyantoro dan Thobroni, (dalam Marinda, 2014).
Semboyan yang masih terkuat tertulis di pikiran orang Indonesia ialah “Bhineka Tunggal Ika” meskipun berbeda-beda, baik pulau/daerah, agama, suku, budaya, etnik, pendidikan, strata sosial, sesungguhnya tetap satu, yaitu Indonesia; satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air. Hal ini harus di tanamkan dalam-dalam di dalam dada para pendidik sebelum dia mendidik. Tentu saja karena sebelum mengajarkan sesuatu pada orang lain, haruslah dimulai pada diri sendiri dulu. Apalagi bagi pendidik atau calon pendidik kesusastraan. Hal ini karena di dalam karya sastra sangat banyak memuat tentang nilai-nilai yang mencerminkan perilaku manusia, termasuk nilai-nilai multikulturalisme.
Seorang sastrawan harus bisa menjadi sastrawan sejati, komitmen, serta konsisiten. Artinya, ketika mengajarkan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra, seorang sastrawan harus mendalami apa nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Misalnya dalam mengaplikasikan atau mengajarkan nilai religiositas kepada siswa, mahasiswa, atau orang lain, haruslah bersikap sebagai sastrawan, bukan seperti seorang guru agama atau pengajar agama. Begitu pula dengan nilai-nilai multikulturalisme lainnya, seperti nilai demokrasi, toleransi, religiositas, keadilan, kesetaraan, maupun niali budaya.
Guru yang multikulturalis dituntut harus mampu merealisasikan tujuan akhir dari pendidikan multikultural yaitu menjadikan peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai mata pelajaran yang dipelajarinya, tetapi juga diharapkan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Lebih lanjut, guru harus mampu memanfaatkan sekaligus mengimplementasikan strategi pendidikan yang menegakkan dan menghargai nilai-nilai multicultural, pluralisme, demokrasi dan humanisme yang menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, kepedulian humanistik, keadilan, dan kejujuran berprilaku sehari-hari. Pada akhirnya, diharapkan dimasa mendatang guru yang multikulturalis ini akan menghasilkan “generasi multikultural” yang memahami dan memiliki karakter kuat yang dapat menghargai perbedaan yang ada ditengah kehidupan masyarakat.
Telah menjadi sebuah realitas sosial bahwa heterogenitas dengan segala diversitas sosial, ekonomi, gender, kultur dan sebagainya adalah fenomena yang tak terbantahkan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, ia telah hadir seiring dengan kelahiran ummat manusia. Oleh karena itu, pemahaman multikulturalisme lewat jalur pendidikan menjadi urgen adanya dalam usaha mereduksi kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan akibat perbedaan tersebut yang dapat menimbulkan konflik horizontal yang lebih luas. Dalam hal ini, figur guru sebagai insan pendidik memiliki peran yang sangat vital.
Sebagai pendidik, guru semestinya memahami perbedaan kultur yang terdapat dalam peserta didik untuk kemudian menjadikannya sebagai landasan berfikir dan bertindak dalam memberikan perlakuan yang tidak diskriminatif kepada mereka. Tentu, hal ini bukanlah tugas yang sederhana. Untuk itu, seorang guru dituntut memiliki beragam spesialisasi yang dapat menjadikannya sebagai pendidik yang professional dan multikulturalis. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa belum semua guru memahami posisinya sebagai pendidik dengan segala kompleksitas tugas dan tanggung jawabnya.
Buktinya saja, Indonesia merupakan sebagai contoh kongkrit negara yang memiliki agama yang multireligius. Perkembangan agama-agama di negeri ini tidak terlepas dari masalah politik. Masuknya Hindu dan Budha misalnya, menimbulkan dampak terancamnya pranata sosial lama yang terbentuk melalui kepercayaan animisme dan dinamisme. Demikian juga, ketika Islam masuk dan berkembang di nusantara ini juga menimbulkan reaksi dari peganut agama-agama sebelumnya. Seorang guru, dosen, atau pendidik lainnya harus “memaknai” tugas mendidik bukan hanya sebagai transformasi ilmu pengetahuan ke peserta didik, namun juga penanaman nilai-nilai luhur yang menghargai sebagi orang yang berkehidupan sosial, ekonomi, gender, kultur dan sebagainya. Tentunya guru juga harus memberikan perlakuan yang adil dengan tidak mengabaikan perbedaan-perbedaan yang cenderung merampas hak-hak asasi (HAM) dengan memaksakan “keseragaman” dalam ”keragamanpeserta didik. Hal ini sebagai tanggungjawab pendidik untuk memahami karakter dan kompetensi yang dimiliki belum sesuai dengan nilai-nilai luhur dari multikulturalisme diterapkan.
Setiap daerah memiliki “pepatah-petitih” tersendiri dalam menunjukkan berkehidupam dalam kelompok pluralisme. Di daerah Minangkabau, ada pepatah “sadantiang bak basi, saciok bak ayam”, ada juga ringan samo di jinjiang, barek samo dipikua”, dan “ka bukiak samo mandaki, ka lurah samo manurun”. Ketiga “pepatah-petitih” itu menunjukkan adanya kebersamaan, kekompakkan, atau adanya nilai saling tolong-menolong satu sama lain di daerah Minangkabau. Apabila ini benar-benar diterapkan, tentunya kerukunan antar masyarakat akan tercipta, kedamaian akan nyata. Tapi, akhir-akhir ini sangat banyak pemberitaan yang tidak sedap didengar, bahwa nilai-nilai tersebut semakin hilang dari praktek kebudayaan masyarakat. Hal ini pula tanggungjawab sebagai seorang pendidik, untuk mengarahkan peserta didik atau orang lainnya kembali “cinta” dengan semboyan yang telah dibentuk oelh orang-orang terdahulu, untuk menciptakan hidup berbangsa, bernegara, serta kehidupan sosial yang lebih harmoni.

Simpulan
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Berdasarkan penjelasan dan defenisinya, meskipun banyak pendapat yang berbeda, namun penulis menyimpulkan bahwa terdapat beberapa nilai-nilai multikulturalisme, yaitu nilai demokrasi, kesetaraan, nilai keadilan, nilai toleransi, nilai keagamaan (religiositas), dan nilai kultural (budaya).
Hal itu juga terdapat dalam karya sastra, baik puisi, novel, cerpen, maupun drama. Sesuai pendapat Norton & Norton (dalam Nurgiyantoro, 2010: 45, melalui sastra dapat dijumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan budaya suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang lain). Pemberian berbagai macam bentuk sastra ayang bisa memberikan pemahaman yang beragam pula kepada siswa maupun pembaca lainnya. Hal ini penting sebagai tolak ukur agar tidak menimbulkan sikap lebih mementingkan kepentingan bersama dalam menciptakan kehidupan yang rukun dan damai antar sesame, tanpa adanya melihat perbedaan.

Implikasi dalam Pembelajaran
Pendidikan merupakan salah satu faktor kemajuan bangsa. Bangsa bisa maju karena didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Maka dari itu diperlukan upaya untuk menciptakan dan mengembangkan pendidikan guna menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Pendidikan berkualitas dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh setiap individu. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bidang kesusastraan adalah; 1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 2) peserta didik menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya intelektual manusia Indonesia. Tujuan itu bisa dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, dan menulis sastra.
Sesuai dengan tujuan pembelajaran di atas, telihat bahwa peserta didik haruslah mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk  memperluas wawasan. Tujuan ini berhubungan dengan pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik yang sejalan dengan sistem pembelajaran di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik, diperlukan campur tangan dari berbagai pihak, terutama pendidik. Pendidik diharapkan mampu mendidik, memberi arahan, membimbing, dan mendukung peserta didik agar menjadi kepribadian yang baik.
Pembentukan suatu kepribadian dapat dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada peserta didik. Pendidik dapat memberikan pembelajaran dengan memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pembentukan karakter jugadapat dilakukan dengan pengenalan saatra kepada peserta didik. Dengan mengajarkan sastra pada peserta didik, diharapkan peserta didik mampu menyerap nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Tetapi pendidik haruslah cermat dalam menentukan karya sastra mana yang bisa dijadikan pembelajaran di sekolah, karena setiap bacaan yang dibaca dapat mempengaruhi perkembangan setiap individu yang membacanya. Oleh karena itu, pendidik harus pandai dalam memilah dan memilih bacaan mana yang tepat dan mengandung nilai-nilai positif untuk diberikan pada peserta didiknya. Salah satu karya yang cocok dan dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah karya dari Abidah El-Khalieqy. Ia merupakan sastrawan yang dalam setiap karyanya mengandung nilai-nilai religi, moral, sosial dan budaya.

Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis:
a.       Diharapkan Guru dan mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra hendaknya dapat memaksimalkan penggunaan bahan pembelajaran sastra. Salah satunya novel Burung-burung Rantau karya Y.B Mangunwijaya, dijadikan sebagai pembelajaran sastra di sekolah atau perguruan tinggi dalam menerapkan nilai-nilai multikulturalisme.
b.      Pembaca karya sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif dalam karya sastra yang telah dibacanya dalam kehidupan di masyarakat, seperti dalam novel Burung-burung Rantau karya Y.B Mangunwijaya.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Maruf, Ali Imron. 1995. “Signifikansi Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Pembangunan Bangsa” dalam Transformasi Budaya (Maryadi dan Abdullah Aly, Ed.). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991” dalam Prisma No. 10 Tahun XX, Oktober 1991.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosilogi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas.
            Jakarta: Depdikbud.
Garcia, Ricardo L. 1982. Teaching in a Pluralistic Society: Consepts, Models, Strategies. New York: Harper & Row Publisher.
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Burung-burung Rantau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marinda, Rulita. 2014. Multikulturalisme dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany. Program Studi Sastra Indonesia FBS. Universitas Negeri Padang: Lkis Pelangi Aksara. (Online), (http://books.google.co.id/books?id=d1wkwwyMiFAC&pg=PA55&dq = multikulturalisme+dan+pluralisme). Diakses 11/02/2014.
Nurgiyantoro Burhan. 2010. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadhah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada.
Nurgiyantoro, Burhan. Muhammad Thobroni. 2010. Multikulturalisme dalam Cerita Tradisional Yogyakarta. Jurnal Penelitian Humaniora. (Online), Jilid II Nomor 2 Halaman 154-169. (http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/662 /5.%20muhammad%20thobroni.pdf?sequence=1). Diunduh 26/06/2013.
Rampan, Korrie Layun. 1997. Wanita Penyair Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_________________________________________________________________
Tulisan ini sebagai Tugas Akhir Matakuliah Sastra Terapan di Magister FBS UNP, diampu oleh Prof. Dr. Hasanuddin WS, M.Hum.

_________________________________________________________________

0 Comments