Rindu dalam Candu


Sruuuupp....” aku menghirup dalam-dalam pada pinggir mug berwarna putih dengan motif bunga. Lalu mengernyit kening, sambil menatap dalam-dalam langi-langit beranda di lantai dua. Sebuah rumah berwarna biru, tempatku menghabiskan separuh waktu di tanah rantau, kota Bingkuang kotanya orang Padang.
Dua gelas sudah kopi kuhabiskan. Demikian pula malam kian larut, pekat, dan menghitam. Aku semakin hanyut dalam kelam dan kenangan masa silam. Otakku masih terkenang masa lalu, ketika pertamakali kau seduhkan segelas kopi untukku. Waktu itu, tepat di atas atap rumahmu langit sedang ditaburi bintang dan cahaya rembulan. Kau tersenyum malu-malu, membuatku semakin lugu dan terlihat bodoh saja waktu itu.
“Minumlah. Cobalah dulu disentuh kopi buatanku. Jika terlalu pahit, nanti aku tambahkan gula,” bibirmu bergetar sedikit parau kala itu memecahkan suasana, disela iringan suara jangkrik yang berdendang di sudut pagar halamanmu.
Aku hanya menggangguk pelan. Kemudian meraih gelas Coffe Cup bertuliskan zodiak Sagitarius. Dan meneguknya seteguk dua teguk. Di depanku kau terlihat semakin cemas dan kaku.
 “Tidak apa-apa, kopinya enak kok,” ucapku menimpali raut mukamu waktu itu.
“Terlalu pahit ya? Maaf!” Ucapmu serius.
“Enak kok.” Kataku mantap.
Kau tahu sayang, aku bukanlah lelaki pecandu kopi, dan aku tidak pula pernah mengerti kriteria kopi yang enak. Tapi waktu itu, aku tetap ikhlas mengatakan kopi buatanmu enak. Dan bahkan, berapa kalipun kau bertanya, aku akan memberi jawaban yang sama. Enak! Meskipun di kerongkonganku pahitnya tertanam. Sungguh, aku tidak ingin membuatmu kecewa. Aku tidak mau kopi sajianmu sia-sia. Bagiku, bersamamu biarlah aku menjadi candu.
Sejak meneguk kopimu malam itu, mataku tetap jalang dan tak mau terpejam sampai matahari datang hingga petang kembali tenggelam. Sungguh berat racun kopi yang kau buat untukku sayang. Bubuk sianida yang kau taburkan hampir sekarat aku dibuatnya. Namun sejak saat itu pula, aku selalu menjelangmu dengan berbagai alasan. Modusku agar bisa meneguk kopi pahitmu. Aku telah menjadi candu padamu.
Kau tahu, semenjak aku mengenal malam, gulita adalah keajaiban. Bagiku, siapa lagi yang menciptakan malam sepekat ini, selain Tuhan. Dan semenjak meneguk kopi pahitmu itu aku semakin tahu, memandangmu ialah suatu keajaiban dari Tuhan. Dengan secangkir kopi hitammu yang memikat. Sianida cintamu, membuat hatiku terikat.
***

Sampai kini, aku masih ingat satu hal tentang kepekatan itu. Tentang pekatnya segelas kopi yang pernah kau letakkan di atas lantai depan rumahmu. Ingatkah kau, disitu dulu kita berselonjor kaki sambil merangkai sajak cinta. Sekali-kali menghirup kopi pahitmu, yang hitam, kental, dan menggigit. Sambil menatap rembulan, kau bilang kopi itu sengaja kau racik dengan anggun oleh jemari lentikmu. Ditabur sedikit rindu, dan tanpa gula. Ya, itu kopi terakhir darimu. Sebelum kau pulang, membenam segala rasa di kampung halamanmu.
Sekali lagi aku katakan, dulu aku bukan pecandu kopi. Aku penikmat teh dan susu. Jika tidak ada teh dan susu, aku hanya meneguk air putih. Orang bilang, dan dari beberapa artikel yang pernah aku baca hasil searching di google, katanya air putih lebih sehat. Sebab itu pula, aku lebih memilih air putih dibanding kopi. Aku takut seperti Abah di kampung. Umurnya belum begitu tua, meskipun tak lagi muda. Tiap malam ia meraung-raung, mengaduh menahan sakit, dan tubuhnya semakin ringkih. Tak jarang, ketika aku pulang kampung seringkali memijat badannya, terutama bagian betisnya. Sambil meraung-raung pula ia menahan sakitnya. Aku tak tega. Sungguh!
Dokter bilang, itu akibat candu kopi. Jika tidak menghirup seseduh kopi saja, akan membawa rasa sakit pada bagian tubuh. Syukurnya, lambat-laun Abah tidak lagi menikmati kopi. Sudah diganti dengan teh dan susu. Ia pernah bilang, minuman teh dan susu tidak berasa. Demi kesehatan, ia hilangkan rasa candu yang dulu.
Abah pernah bilang; “Buyung, jangan kau tiru perangai Abah. Jaga kesehatan kau sebelum datang sakit. Manfaatkan waktu muda sebelum tua seperti Abah,” tanpa melirikku disela batuknya.
Kini apa dayaku. Candu kopimu memperdayakanku. Lupa aku tentang nasihat Abahku itu. Setiap detak jam berdetik, ingin rasanya semakin sering aku bertandang ke rumahmu. Sekedar menyapamu, melihat sekilas senyum, dan menunggu segelas kopi darimu. Sebab, sudah terlanjur. Canduku pada kopimu, ibarat selera semut pada gula. Semesta pun tahu, sukaku pada kopimu, diumpamakan rindu sepucuk daun pada hujan, menunggu ia jatuh meskipun penantian demikian panjang.
Kau bisa ingat, atau sudah lupa hari itu. Sabtu malam, di penghujung tahun yang lalu. Langit berwarna hitam, gendang gemuruh mulai bertalu-talu, dan kilat berkembang api. Pertanda hujan lebat akan turun, menyirami bunga-bunga di halamanmu. Aku tak surut sedikitpun menghirup kopi pekat buatanmu. Tapi bibirmu, tiba-tiba seayun dengan suara langit yang akan menjatuhkan hujan. 
“Besok aku akan pulang. Tunggu aku kembali membawa kopi spesial untukmu. Kopi Bubuk cap Kapal Tanker dari Batam-Tanjung Pinang,” katamu menatapku dengan janji harapan.
Tiba-tiba langitpun urung menghujamkan bumi, dan langit pelan-pelan cerah seketika. Entah pertanda apa. Aku bingung. Bintang di langit pun sedemikian terang.
***

Oh Ulfah, setangkai bunga dari kepulauan. Membawa temu di tanah rantauan. Sayang! Lama sudah kopimu menghilang, sejak waktu semakin bergulir hingga berganti musim. Kini kabarmu tak pernah lagi berkirim angin. Aku di ranah Minang memegang erat siluet wajahmu di Pantai Padang. Menanti aroma kopimu yang hitam. Sayang!
Gila aku pada kopimu. Bahkan, ketika melihat iklan kopi di Televisi saja, aku sudah terkenang kopimu. Melihat gelas ketika minum pun, aku kembali mengingat zodiakmu. Bahkan, ketika hujan datang aku merasakan karakter kopimu. Pekat hitam langit malam, mengingat aku tentang warna kopimu. Begitu aku mengenang kopimu, merindu raut wajahmu. Sayang!
Begitu gilanya aku pada kopimu. Bahkan waktu sebelum kau pulang, aku pernah bertanya, perihal racikan kopi buatanmu. Aku terima jawabanmu, “hanya dengan hati”. Sesederhana itu jawabanmu. Padahal, waktu itu aku berharap menerima jawaban satu sajak darimu. Sayang!
Ulfah, kuharap kamu masih ingat, tentang kenangan yang pernah kita taburkan pada segelas kopi. Meneguk, seteguk-dua teguk kopi yang kau buatkan. Menghisap dan menghirup pekat segelas kopi berdua. Kau masih ingatkah? Kita di satu-dua jam, atau bahkan beberapa jam pada bulan sebelum kau pulang, satu meja, satu laptop, buku dan pena. Kita memegang segelas kopi bersama, sambil merangkai dan mengeja tentang cinta, pantai, hujan, bunga, dan rembulan. Waktu itu kulihat alangkah bahagianya kau, begitupun juga aku.
“Biarkan semesta tahu. Biarlah kita tetap selalu bersama, sampai kita tenggelam bersama pekatnya kopi ini,” bisikmu di daun telinga. Dan kau peluk aku dengan manja.
“Semoga hujan tetap dalam takdirnya. Semoga kita di dalam takdir doa kita pula” aku membalas doamu.
Pada doa-doa itu aku percaya pada janji Tuhan semesta alam. Aku pun percaya, karena kita penggemar sastra, dan mengoleksi karya-karya ternama. Hanya saja, aku juga suka bicara tentang dunia politik, terutama kebijakan pemerintah dan polemik para pemimpin saat ini. Sebaliknya, kau tidak. Kau hanya asyik dan tidak bisa berali dengan dunia sastra dan filsafat.
Sayang! Aku hanya ingin bertanya. “Ada apa?” Entahlah, sebabnya beberapa bulan terakhir ini kau mulai suka dengan dunia politik. Kau bahkan membeli buku-buku politik. Aku tdak tahu maksudnya. Kau tidak pindah haluan bukan? Sejak kau suka politik itu pula, aku tidak pernah lagi mencicipi dan bahkan menghirup aroma kopimu. Kau hanya asyik bersenda-gurau dengan politikmu. Kau pun mulai candu pada dunia pemerintahan, dan pejabat yang dulu kau benci itu.
Sayang! Dunia kini memang aneh dan rada edan. Kenapa kau ikut-ikutan pula. Duniamu tidak bisa lagi kutebak kemana arah dan tujuannya. Kau perempuanku yang hilang. Sesuatu yang semula kau benci, kini kau pertuhankan. Dan kini aku, yang kau titipkan harapan dulu seakan-akan amnesia di dunia nyata. Kau begitu benci sayang. Kau semakin hilang akal. Kau begitu muak ketika gelas kopimu kugenggam kembali. Bukankah kau yang pertamakali menyuguhkannya?
Ulfah, sayang! Aku sedemikian candu pada kopimu. Terkapar oleh sianida rasa rindu, memabukkan sayang. Nyatanya, kau berlalu begitu saja. Kini dengan lantangnya kau berkoar,“ politik itu perlu, agama saja mengajarkan kita berpolitik,” tantangmu dengan lantang.
Padahal setahuku, kau sangat anti dengan dunia perpolitikan. Dulu, segala yang berbau pejabat kau laknat. “Pejabat sekarang tidak becus, tetapi rakus, seperti tikus-tikus got yang yang selalu merongrong di kolong. Setelah mendapat jatah, uang rakyat dimakan dengan sumpah-serapah,” koarmu. Spontan aku ikut mengangguk, setuju. Sebab, aku sangat suka membahas dunia politik yang semakin berbau pesing di lapisan masyarakat ini.
Sungguh pilu dan haru sayang. Sejak jarak kita semakin jauh, dan tangan tak bisa menjangkau disebabkan batasan pulau. Hatimu mulai garang, rindumu renggang, dan cintaku semakin gersang. Mimpi kita, tidak lagi seperti sastra dan politik. Ya, pada keduanya saling hidup dan menghidupkan, serta memainkan tokoh cerita. Namanya saja berbeda, tapi isinya melekat pada keduanya. Ya, tetap saja berbeda bagimu. Sebab, diseberang kau telah berubah haluan. Kau menyukai teh, bukan lagi kopi.
“Aku lebih suka teh, lebih sehat dibanding kopi,” ucapmu tanpa bisa memberiku alasan yang lebih logis. Menurutku, kopi juga banyak mengandung manfaat, seperti caffeine di dalam kopi sebagai senyawa psikoaktif, yang bersifat stimulan mampu memberikan boost untuk meningkatkan semangat kerja. Ya, ibarat semangatku ingin melihat senyummu lagi.
Ulfah, aku terlanjur telah kau beri candu yang begitu pekat dan menikam. Doaku kini, ingin menghirup kopimu lagi, sembari memegang gelas berukir zodiakmu. Bila tak sudi kumeneguk pelukmu, biarlah pada kopimu saja. Aku tunggu di meja tamu, dengan bahan sastra dan politik darimu. Sajikan juga rindu dalam kopimu. Aku terlalu candu, dan biarkanlah aku membunuh rindu padamu. Atau cukuplah pada langit-langit rumah berwarna biru mataku bertemu.***

Padang, 29/08/2016

0 Comments