Perlunya Sinergisitas dalam Pendidikan Anak


WAHYUKU- Budaya gotong-royong sudah mengakar pada diri masyarakat Indonesia sejak dulu. Beragam kultur di negeri ini berhasil disatukan dengan gotong-royong. Negara ini merdeka pun juga dengan gotong-royong, dari berbagai etnis, kultur, agama, dan lainnya, hingga kini mampu menjadi bangsa yang besar atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Budaya gotong-royong ini bukan hanya dalam bentuk perilaku, perbuatan, tapi juga dengan pola pikir. Penyatuan pola pikir dengan tujuan yang sama ini berefek besar dalam mencapai cita-cita bersama, atas nama kemerdekaan NKRI. Teringat pepatah lama, “sebatang lidi jika diikat dengan sekumpulan lidi, akan menjadi kuat, bahkan bisa menyapu sampah segunung.”

Dari penting budaya gotong-royong ini, sangat perlu diterapkan di dalam dunia pendidikan masa kini. Pendidikan dinilai masyarakat, sebagai pedoman hidup yang diyakini untuk mengubah masa depan. Bukan hanya mensejahterakan kehidupan keluarga, tetapi juga bangsa yang akan diwariskan kepada anak-anak saat ini, untuk generasi berikutnya. 

Artinya, pendidikan seorang anak yang digadang-gadangkan untuk masa depan bangsa selama ini harus segera dibenahi. Tentu dalam hal ini bukan hanya fokus pada mutu pendidikannya, tetapi juga cara menghasilkan mutu itu sendiri. Pendidikan seoarang anak tidak boleh dipermainkan, apalagi main-main, tetapi mendidik boleh dengan cara bermain.

Artinya, untuk mencapai generasi yang unggul harus ada sinergisitas antara keluarga (orangtua), sekolah (guru), dan lingkungan (masyarakat) disekitarnya, termasuk pemerintah. Tiga elemen inilah yang akan berfungsi penuh untuk membentuk pola pikir atau karakter seorang anak. Orangtua, guru, dan juga masyarakat  harus menjadi “mata” untuk menunjuk arah masa depan anak.

Tugas orangtua di rumah tidak hanya memberi gizi kepada anaknya secara materi, dan jasmani, tapi juga harus mampu memberi gizi dari segi rohani. Betapa banyak orangtua saat ini mampu menuruti segala permintaan anaknya dengan segala kemewahaan, tapi tidak pernah membekali anaknya dengan iman dan ilmu. Akibatnya anak-anak zaman sekarang banyak berperilaku menyimpang.

Maka salah satu cara orangtua membimbing anaknya ialah, dengan mengajak anaknya untuk ikut mengenal Sang Maha Pencipta, dengan cara mendalami ilmu-ilmu agama. Misalnya saja orang Minangkabau zaman dahulu banyak yang sukses, ternama dan banyak yang menjadi orang-orang besar. Semuanya itu hasil pendidikan di surau (masjid).

Orang Minangkabau zaman dahulu, apapun persoalan anak-anak, remaja, atau pemuda wadahnya ialah surau, terutama bagi laki-laki. Mulai dari belajar silat, mengaji, berpidato, diskusi, musyawarah, dan sebagainya belajar di surau. Makanya banyak orang-orang Minangkabau menjadi petinggi, dan berhasil hidup di rantauan. Lihat saja contohnya, Hamka, Sultan Syahrir, Bung Hatta, dan contoh lainnya pernah hidup di surau.

Semua itu, dengan cara budaya gotong-royong. Orangtua mendidik anaknya di rumah, kemudian diantarkan belajar di surau, dan masyarakat lain pun punya mata untuk mengawasi, agar anak yang bersangkutan beradab, dan berprilaku baik. Di sanalah letak kerjasamanya antara orangtua, guru, dan masyarakat.

Lihat saja contoh bagaimana tokoh Hamid dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, salah sedikit saja sangat banyak “mata” yang menilai, dengan hukuman begitu berat, Tapi begitulah orang zaman dahulu menjaga marwah hidup di tengah masyarakat, agar tidak terulang lagi oleh yang lain.


Di zaman sekarang, hendaknya orangtua, guru, masyarakat, dan pemerintah harus benar-benar berperan aktif dalam membimbing, mengayomi, sekaligus mengayomi untuk merevolusi masa depan anak-anak bangsa. Anak berada di tengah-tengah, orangtua, guru, dan masyarakat sharus direvolusi dengan selalu mengontrol, agar jalannya selalu lurus, dan meluruskan jalan-jalan bengkok yang ditempuh anak selama ini. *

0 Comments